Di pagi yang cerah dan menyilaukan Kinan terbangun dari mimpi indahnya. Lagi dan lagi, sama seperti pagi hari sebelumnya alasan dirinya terbangun selalu sama.
"KINAN! CEPETAN BANGUN!" teriak Dion dari arah Dapur.
Nah kan, baru saja Kinan membicarakannya, orangnya sudah berteriak nyaring, "Iya Kinan udah bangun!" balas Kinan berteriak.
Dengan malas Kinan memaksa dirinya bangun dari kasur empuknya walaupun iblis di dalam raganya terus menghasutnya agar tetap bergelung manja di bawah selimut.
Hanya membutuhkan sekitar empat puluh menit, bagi Kinan untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Ia menatap sejenak penampilannya di depan cermin lalu segera keluar dari kamar dan menuju meja makan.
"Tumben diteriakin doang udah bangun, biasanya juga kamar kamu digusur dulu," ejek Dion, namun dihiraukan oleh Kinan, "Gimana sama sekolah kamu? baik?"
Kinan mengangguk pelan sambil mengambil roti bakar yang belum diolesi selai itu.
"Serius? nggak ada yang ganggu kamu?"
Pertanyaan Dion itu membuat Kinan tersedak, mengapa Dion terus bertanya soal sekolahnya? mana mungkin kan, Kinan mengatakan bahwa dia menjadi bulan-bulanan Sella di sekolahnya.
"Di sekolah aman kok, aku banyak temannya," bohong Kinan, dia berusaha mengontrol mimik wajahnya agar tetap santai.
"Bagus kalau gitu, kakak nggak mau dengar di sekolah ada yang ganggu kamu!" ujar Dion tegas, ia menekan kata 'ganggu' di akhir kalimatnya.
Tamat lah, riwayat Kinan, jika ketahuan bohong, Dion akan lebih dulu memutilasinya dari pada pelaku yang menindasnya.
***
Perasaan gelisah terus menyelimuti setiap satu langkahnya memasuki sekolah. Kinan tau bahwa Sella pasti tidak akan tinggal diam setelah apa yang ia lakukan kemarin.
Ketika sampai di depan kelasnya, anak-anak kelas memperhatikan Kinan dengan tatapan aneh, mereka seolah menunggu sesuatu dari Kinan yang membuat gadis itu semakin gelisah saja.
Kinan menghela napas berat sebelum mendorong pintu yang terbuka setengah, entah apa lagi yang menunggunya di dalam sana.
Byurr
Kinan mematung berdiri ditempatnya merasakan cairan dengan bau menyengat melumuri seluruh tubuhnya.
Anak-anak kelas sontak menertawakan Kinan dan pelaku yang membuat Kinan basah kuyup menghampirinya.
"Hay ladies," suaranya menyapa.
Dia? dalam hati Kinan berdecih, ia pikir pelakunya adalah Sella ternyata kali ini ia salah.
"Ini hadiah dari red card," bisik Langit di dekat telinga Kinan.
Kinan termangu menatap Langit, memikirkan bagaimana cara dia harus membalas pria kurang ajar ini, namun sepertinya dilihat dari sudut mana pun tidak ada celah untuk Kinan membalas Langit.
Langit mendorong bahu Kinan hingga menubruk tembok, "You stupid girl!" ujarnya mengumpati Kinan tepat di depan wajahnya.
Kini Kinan merasa terpojok, hembusan napas dari Langit membuatnya sulit bernapas di tambah mata elang yang menatapnya tajam. Kinan yakin, jika tatapan Langit sebuah pedang mungkin sejak tadi tatapan itu sudah menghunus tembus tubuhnya.
Langit tidak pandang bulu, siapapun itu orangnya yang pasti hukuman harus sampai di tangan orang yang berani mengusik ketenangannya.
"Aku nggak tau apa kesalahan aku tapi tolong jangan ganggu aku!" Kinan memberanikan diri menatap kedua mata tajam itu.
"Tiga! kesalahan lo ada tiga!"
Kepala Kinan rasanya pening, tidak ada interaksi antara dirinya dan Langit namun entah mengapa kesalahannya bisa jadi tiga.
"Lo emang nggak tau atau pura-pura bego? di sekolah ini nggak ada yang berani natap mata gue!"
Kinan tertawa mendengar penuturan Langit, sekarang ia tau apa saja kesalahannya. Sungguh alasan yang begitu childish.
"Kenapa ketawa?!!" bentak Langit dengan rahang mengeras.
"Kenapa? nggak boleh?"
Jordan, Dilan, dan Septian yang sejak tadi hanya menonton cukup speechless melihat keberanian Kinan. Mereka saja tidak ada yang berani mengeluarkan suara ketika aura Langit sudah semenakutkan seperti ini.
"Bisa minggir emm..." Kinan menyipitkan matanya membaca name tag Langit. Kaca matanya yang buram membuatnya sedikit kesulitan, "Langit... Arsenio Rajendra?"
"Urusan kita belum selesai!" Langit melepaskan Kinan dan berjalan dengan tatapan lurus ke ujung koridor tanpa mempedulikan kanan kiri yang dipenuhi para gadis yang memandangnya kagum setengah takut.
Selepas kepergian Langit diikuti para sahabatnya, Kinan segera pergi menuju toilet. Anak-anak yang berlalu lalang disekitar koridor menatap Kinan sambil berbisik. Kinan tau mereka pasti sedang membicarakan dirinya, tentunya bukan hal yang baik mereka bicarakan.
Sesampainya Kinan di toilet, ia segera membersihkan seluruh tubuhnya. Kinan tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan dirinya barusan. Tidak disangka dia dapat bermasalah dengan orang yang bernama Langit itu.
"Nan! lo ada di dalam?"
Kinan membuka pintu wc setelah mendengar teriakan Lia.
"Ya, ampun Kinan! kan, udah gue bilang jangan cari gara-gara sama Langit!" oceh Lia yang menatap perihatin sahabatnya.
"Siapa yang cari gara-gara?"
"Udah nggak usah banyak cencong! nih, pake seragam gue dulu," Lia menyodorkan sebuah seragam cadangannya kepada Kinan.
Kinan tersenyum, "Makasih Lia."
"Kek sama siapa aja pake makasih segala! udah sana buruan ganti seragam lo keburu bel masuk bunyi," suruh Lia mendorong Kinan masuk kembali ke dalam toilet. Walaupun Lia ini sedikit cerewet dan bawel tetapi dia tidak pernah absen ketika Kinan dalam kesusahan. Lia selalu di garda terdepan untuk menolongnya.
***
'Langit Arsenio Rajendra, pikiran dan sifatnya yang begitu kekanak-kanakan! Tingkahnya yang--'
"Selamat siang anak-anak, silahkan siapkan kertas selembar dan pulpen. Buku tugas dan catatan kumpul di meja saya, kita akan ulangan harian."
Belum sempat Kinan selesai menorehkan unek-uneknya terhadap Langit yang menumpuk di pikirannya, kini guru biologi datang dengan membawa beban baru yang menambah pikirannya.
Semua murid mendadak diam tanpa bersuara, hanya terdengar suara gesekan-gesekan kertas.
"Kinan tadi malam lo belajar biologi?" pertanyaan Lia mendapat anggukan dari Kinan.
"Nanti bagi contekan ya!"
"Hmm."
"Kalau lo udah dapat jawaban langsung kasih ke gue."
"Iya."
"Awas jangan lupa!"
Kinan menggeram kesal, "sssttt, diam Lia! nanti bakal aku kasih!"
"Oh ok!" Lia kembali ke tempat duduknya semula, Kinan kira Lia akanmendengarkannya dan benar-benar diam, namun Lia tetaplah Lia.
"Kinan lo bakal ngasih gue jawaban kan?"
"IYA LIA IYA! BISA DIAM NGGAK?!" teriak Kinan frustasi, melupakan keberadaan Pak Jaedi yang sudah menatapnya intens.
"Kamu yang duduk di pojok barisan ke dua! keluar dari kelas saya sekarang juga dan berdiri di lapangan sambil hormat ke bendera sampai jam mengajar saya habis!"
Kinan terperajat yang baru menyadari keberadaan Pak Jaedi, "Saya Pak?" tunjuk Kinan pada dirinya sendiri.
"Siapa lagi kalau bukan kamu!"
Kinan mengangguk patuh lalu berjalan keluar kelas menuju ke tengah lapangan.
"Mendung? syukur deh, aku gak perlu panas-panasan."
Dengan ogah-ogahan Kinan mulai mendongak menatap bendera dan mengangkat tangannya untuk hormat. Setidaknya siang ini, terik matahari tertutup dengan awan mendung yang membuat hukumannya sedikit ringan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments