Satu jam telah berlalu, jam mengajar Pak Jaedi juga sudah habis yang menandakan masa hukuman Kinan telah habis juga.
Sejenak Kinan membungkuk, memegang kedua lututnya untuk menopang tubuhnya yang terasa lelah. Merasa terik matahari yang awalnya mendung perlahan-lahan memperlihatkan wujud aslinya yang semakin membakar kulit, Kinan segera melenggang pergi dari lapangan tersebut.
Namun di sepanjang jalan, entah mengapa Kinan merasa seluruh pasang mata tertuju ke arahnya dengan sinis.
"Lihat deh, dia yang bermasalah sama Langit kan?"
"Halah palingan dia caper doang sama Langit!"
"Pasti dia sengaja cari gara-gara sama Langit biar di notice."
"Sok polos emang dia!"
Dan masih banyak lagi. Kinan terima semua cacian tersebut dengan lapang dada. Menerima perkataan kasar yang bahkan sudah bisa dikatakan bully itu, sudah menjadi makanan sehari-hari di sekolah ini. Tak mengelak ataupun tak menolak. Menanggapi mereka hanya akan menambah masalahnya saja.
"Pelan-pelan, itu sakit."
"Sssttt diam!"
Samar-samar Kinan mendengar dua orang yang tengah bercengkrama dari arah gudang. Seketika langkahnya terhenti dan melangkah mendekati asal suara tersebut.
"Udah gue bilang jangan banyak gerak."
Kinan mengintip dan matanya langsung membola melihat dua remaja dengan keintiman yang sangat dekat.
Seorang gadis yang tidak Kinan ketahui namanya duduk di atas meja dengan tubuh tidak menggunakan pakaian. Kedua tangannya memeluk mesra leher seorang pria yang tak asing bagi Kinan.
Dia terlihat seperti...
'Langit?!'
Dan adegan selanjutnya membuat nafas Kinan memburu. Dia mencengkram kuat roknya dengan mata melotot, tidak memperdulikan kaca matanya yang sudah merosot ke ujung hidungnya. Adegan terakhir adalah adegan yang pertama kalinya Kinan lihat selama Tujuh belas tahun dia hidup. Tanpa ba bi bu Kinan segera pergi dari tempat itu.
"Cewek yang lo bully itu namanya Kinan kan?" tanya Draco setelah Langit mengoleskan salep pada luka babak belurnya di wajah dan tubuhnya.
Langit menoleh menatap Draco, pria yang memiliki perawakan preman karena memiliki rambut gondrong padahal mereka masih sekolah. Draco juga salah satu teman satu tim basketnya.
"Noh lari kejer kayak habis liat setan," tunjuknya yang masih dapat melihat punggung Kinan.
"Setannya lo berdua bego!" sahut Jordan yang berada di ruangan tersebut. Bukan hanya dia, ada banyak siswa di gudang ini. Bagi mereka, ini adalah tempat nongkrong.
Tempat ini seperti sarang berandalan sekolah, termasuk Langit dan kawan-kawan.
"Kinan ngeliatin lo berdua, mungkin dia ngiranya Langit lagi ***** sama cewek," Dilan ikut menimpali.
Semua tertawa mendengar guyonan Dilan. Kecuali Langit yang melempar asal kapas bekas mengobati Draco. Ada rasa tidak terima dalam dirinya jika Kinan salah paham tentangnya, namun apa pedulinya? Seharusnya ia tidak peduli jika cewek itu mau berpikir apa pun tentangnya.
***
'Teruntuk kamu, anak laki-laki dengan wajah tampan namum berotak mesum, aku tulis puisi ini untuk kamu, Langit. Kamu seperti sampah yang tidak bernilai. Kamu seperti tanah yang selalu kotor. Kamu seperti hewan yang tidak berakal sehat!'
Kinan menulis lembar demi lembar puisi yang lebih tepatnya sumpah serapah itu untuk mendeskripsikan Langit. Kejadian di gudang tadi masih membekas di pikirannya.
Dia meletakkan pulpennya dan menutup bukunya yang bersampul biru itu, buku yang sudah ditandai untuk mencurahkan isi hatinya namun sekarang sudah ternodai karena dua halamannya sudah terpakai untuk menulis nama Langit.
Pikirannya melayang pada sosok kakaknya yang dua tahun terakhir ini telah mengambil peran sebagai sosok ayah sekaligus ibu untuknya. Dua tahun yang lalu ibunya meninggal karena mengidap penyakit jantung, sedangkan ayahnya entah kemana perginya. Kematian kedua orangtuanya hanya berselisih dua bulan saja.
Kinan dan Dion bisa dibilang bukan dari kalangan miskin namun juga tidak bisa dikatakan dari kalangan orang kaya. Apapun yang Kinan mau masih bisa dia dapatkan walaupun tidak langsung, harus membutuhkan waktu untuk mengumpulkan uang.
Dulu ketika orang tuanya masih ada, Kinan selalu dimanjakan dengan kasih sayang dan materi yang seimbang. Kinan yang dulu dan Kinan yang sekarang berbeda.
Dan inilah sosok Kinan yang sekarang yang lebih memilih style cupu dan menjauh dari keramaian.
"Kinan! lo ngeselin ih! gara-gara lo gue ulangan biologi sendirian!" Lia tiba-tiba datang merengek membuat lamunan Kinan buyar seketika.
"Coba tadi kamu bisa diam aku pasti nggak bakal dihukum!"
Lia tersenyum tanpa raut bersalah, "Ya maaf, kan, gue cuman mastiin lo bakal ngasih gue contekan atau nggak."
"Udah lah, nggak usah dibahas lagi, mending kita pesan makan--"
BRAKK!
Belum sempat Kinan menyelesaikan kalimatnya, suara gebrakan meja tiba-tiba saja menyalibnya.
Seluruh pasang mata memandang ke arah sudut kantin di mana Langit dan ketiga temannya duduk. Dan pemicu dari gebrakan meja yang tak lain dan tak bukan adalah Langit.
Langit menatap tajam seorang pria yang menunduk takut. Dengan ringan, kakinya yang panjang itu mendorong perut pria itu secara kasar sehingga terjerumus ke dasar lantai yang dingin.
"BERSIHIN SEPATU GUE!"
"Ma-maaf Langit, g-gue gak sengaja," jelas pria itu namun sepertinya Langit tidak mau mendengar alasan apapun yang dikeluarkan dari mulut pria itu.
"LO TULI?! GUE BILANG BERSIHIN YA BERSIHIN!!"
Kinan memperhatikan mereka dari kejauhan, bagaiman pria malang itu mengelap sepatu Langit dengan sudut seragamnya.
"Yang nyuruh lo pake baju, siapa? Jilat!"
Merasa Langit sudah keterlaluan membuat hati kecil Kinan bergerak ingin menolong. Perlahan Kinan melangkah mendekati mereka namun dengan cepat Lia menahan tubuhnya, "jangan macam-macam Nan!"
"Lepas Lia, aku mau bantu dia, Langit udah keterlaluan."
"Bantu? lo kesana bukannya membantu malah mempersulit dia, jadi lo diam di sini aja."
Kinan pasrah, ia memalingkan wajahnya, tak ingin melihat lebih jauh perlakuan menjijikan Langit. Kinan harap, kejadian tadi pagi adalah pertama dan terakhir kalinya ia berurusan dengan Langit Arsenio Rajendra.
***
'Langit Arsenio Rajendra. Selain mesum ternyata dia juga nggak punya hati. Bisa-bisanya dia nyuruh orang buat jilat sepatu kotornya.'
"Kinan! ada Lia!" panggilan itu membuat Kinan menunda aktivitasnya yang lagi-lagi kembali mencurahkan rasa tidak sukanya pada Langit.
Kinan segera menutup buku itu dan beranjak keluar dari kamarnya, berjalan menghampiri Lia yang sudah duduk anggun di depan tv.
"Kenapa Lia? tumben datang malam-malam gini ke rumah."
"Nggak apa-apa, cuman kangen sama lo," jawab Lia menanggapi pertanyaan Kinan namun matanya hanya memandang lurus ke arah Dion dengan senyum tidak pernah pudar.
Kinan memutar malas matanya, perkataan Lia barusan tidak bisa di percaya, semuanya bohong! Kinan yakin, temannya itu datang ke rumah hanya untuk melihat Dion dan dirinya hanya dijadikan sebuah alibi.
"Kinan lo pasti belum makan kan? nih, gue bawain sate kambing ke sukaan lo."
"Tapi aku nggak laper,"
"Lo pasti malu kan? ambil aja, nggak usah malu-malu sama gue," Lia memaksa Kinan mengambil sate tersebut dengan mata yang terus mengode.
Kinan yang mengerti segera beranjak meninggalkan sahabatnya yang sedang kasmaran itu berduan dengan Dion. Sudahlah, anak polos sepertinya tidak pantas menjadi obat nyamuk.
Lagi pula ada pepatah yang mengatakan jika ada dua orang dalam satu ruangan maka ketiganya adalah setan dan Kinan tidak ingin menjadi setannya.
"Bagaimana di sekolah?" tanya Dion mulai membuka pembicaraan selepas kepergian Kinan.
"Nggak baik, makin hari Kinan makin menyindiri, terus tadi siang dihukum sama guru biologi," lapor Lia secara rinci namun tidak lengkap, ia tidak melaporkan tentang Kinan yang bermasalah dengan Langit.
Inilah tugas Lia yang selalu melapor semua aktivitas Kinan kepada Dion. Lia rela membuang waktu melakukan ini demi bisa bertemu dengan Dion. Sesuka itu dia dengan cowok itu.
"Bukan Kinan, maksud aku, kamu."
Mendengar itu Lia segera menoleh ke arah samping menyembunyikan rona merah di pipinya dengan bibir bergetar menahan senyum.
Dion terkekeh, ia merasa gemas melihat Lia yang salah tingkah, "Kamu lucu ya."
Lia memukul pelan bahu Dion dengan sedikit centil, "Ih, Kak Dion bisa aja, btw Kakak mau punya anak lucu? kalau iya, bikinnya sama aku aja Kak, kan katanya aku lucu."
"Iya lucunya kamu beda, bukan bikin ketawa tapi bikin sayang."
Akibat penuturan Dion kini Lia sudah tersenyum lebar, walaupun Dion mengatakannya tanpa ekspresi namun tetap saja membuat jantungnya berdetak tak karuan.
"Kenapa kamu lucu?" tanya Dion.
"Ya... nggak tau lah Kak, coba deh tanya orang tua aku."
"Nanti ya, kalau aku udah berhasil jadi Kakak yang baik buat Kinan, aku pasti datang ke rumah tanya orang tua kamu."
Lia segera menoleh dramatis dan menatap Dion, "Loh, kenapa harus nunggu Kinan dulu baru datang ke rumah aku?"
"Aku mau jadi Kakak yang baik baru jadi suami yang baik buat kamu."
"ALLAHUAKBAR KINAN! GUE MAU DI AJAK KAWIN SAMA KAKAK LO!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments