Hanya butuh satu peristiwa bagi dua orang yang sebelumnya akrab menjadi saling bersiteru. Namun bila mengkaji ulang, kiranya Nayya yang paling dominan. Laki-laki yang fokus mengoreksi lembar-lembar ulangan harian siswa ini cenderung bersikap tenang dan tidak peduli akan status perkawinan. Aksa tetap dirinya yang biasa, tidak terpengaruh oleh keberadaan Nayya yang sekarang adalah istrinya.
Permasalahan yang mendera tidak sesederhana hukumannya menginput nilai siswa. Bukan pula Nayya membenci Aksa, sejatinya dia mengalami perang batin untuk sekadar melukai pria itu demi bisa menjauhinya. Bagi Nayya, Aksa seperti kakak, sahabat sekaligus ayah yang menjaga dan mengajarkan banyak hal baik padanya, meski terkadang pula disertai tingkah menyebalkan yang tidak mencerminkan sikap dewasa.
Lantas mana sanggup dia memaksa diri melihat Aksa sebagai lelaki yang menikahinya. Sebagai suaminya?
Takdir memang suka membercandainya. Tetapi percayalah, harta kekayaan Aksa tidaklah sebercanda hidup yang dijalaninya. Mumpung jadi istri, alangkah baik jika dia memanfaatkan uangnya. Lagi pula, siapa yang tidak suka uang? Punya suami kaya raya bukankah mubazir bila disia-siakan? Walau dia bukan kaum hedonis, namun jika Aksa memberikan Lexus yang terparkir di garasi rumah padanya secara cuma-cuma, Nayya yakin takkan menolak begitu saja.
Membicarakan tentang kekayaan, Nayya jadi bertanya-tanya perihal Aksa yang tiba-tiba vakum dari dunia hukum. Ada apa gerangan hingga pria itu memilih guru sebagai profesi, terlepas dari posisinya yang hanya sementara? Keheranan Nayya tidak sampai di sana, ada satu hal paling krusial yang perlu dipertanyakan. Yakni, bagaimana kronologis pria itu mampu mengantongi sertifikat profesional berupa lisensi mengajar, sedangkan dia bekerja di firma hukum dan bukan pengajar?
Lirikan sangsi menyorot pada si pria yang tampak serius membuka lembar demi lembar. “Kak Aksa, aku pengin tanya.”
Tanpa mengalihkan pandang, Aksa merespons, “Apa?”
Ingin sekali Nayya mendengkus dan mengolok betapa juteknya si pria. Padahal kan Aksa memang lagi sibuk dengan kertas-kertas yang menumpuk di atas meja. Mana bisa dia bersantai sebelum terbebas darinya.
“Kak Aksa kenapa sih mau jadi guru? Udah bagus tau jadi pengacara banyak duitnya.” Di mata manusia pecinta uang seperti Nayya, pekerjaan Aksa tentunya sangat menggiurkan untuk tidak ditinggalkan.
Pria itu malah tersenyum. “Bosen lah gue banyak duit. Bingung gimana cara ngehabisinnya.”
Mendapati jawaban yang tidak diharapkan, Nayya mendengkus geram.
“Ih, aku nanya serius loh ini!” ungkapnya gregetan.
“Lah, gue udah serius. Elo juga gue seriusin, kan? Buktinya gue nikahin lo kemarin.”
Nayya memelotot tajam. Dia mengerti laki-laki di sampingnya ini hanya berkata asal. Tapi bukan merasa terkesan, Nayya justru panik dan lekas menyapu pandang ke sekeliling ruang. Kekhawatirannya tak tertampik. Bagaimana jika ada orang di kantor guru dan mendengar ucapan Aksa yang lebih horor dari hantu?
“Kak Aksa! Kan aku udah bilang jangan bahas pernikahan di sekolah. Gimana kalau ada yang denger, ha?!” desisnya buncah.
Perkataan sang gadis selayaknya jam weker yang tidak pernah lelah membangunkan Aksa di subuh hari. Bahkan masih terngiang mulut bawel itu yang tak henti mengumandangkan rentetan peringatan padanya untuk lebih berhati-hati.
Kak Aksa pokoknya nggak boleh kasih tau siapa-siapa kalau kita udah nikah! Kak Aksa harus sembunyiin ini, terutama dari temen-temen aku di sekolah! Kak Aksa ... Kak Aksa ... dan bla bla bla.
Aksa menghela napas. Berat menghadapi manusia paranoid macam istri ciliknya yang hobi mengacau dan tak bisa tenang barang sebentar. “Saran gue, lo nggak usah terlalu panik. Gerak-gerik lo yang begini entar malah dicurigai. Take a chill pill, okay? Selama kita diam dan nggak ada yang bocorin, semua bakal aman.”
Tepat sasaran, bahkan Nayya membenarkan dalam hati. Pendapat Aksa jarang meleset dan selalu mudah dipahami. Maka tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa dia diterima menjadi guru pengganti, terlebih dia punya lisensi. Nayya mempoutkan bibir dengan telapak tangan menekan pipi, lalu ikut-ikutan menarik napas panjang demi menekan gelebah yang menerjang.
“Habisnya kak Aksa pakai bahas-bahas segala sih. Aku kan jadi gugup. Janji deh bakal tenang, tapi kak Aksa juga harus kooperatif. Oke?”
“Hmm.”
Dehaman panjang tersebut tahu-tahu memukul ingatan Nayya perihal tanya yang nyaris terabaikan.
“Ah iya. Back to the topic, dong. Kak Aksa belum jawab pertanyaan aku loh. Kenapa sih nerima posisi guru pengganti, padahal profesi Kakak udah mentereng tau?”
Laki-laki itu tak langsung menyahut. Jemarinya yang menggenggam pena masih menari-nari di atas kertas. Sudah jelas kan betapa hecticnya dia. “Harus banget ya gue jawab?”
Menyaksikan ketidakacuhan Aksa, pikiran Nayya pun berkelana, yang kemudian muncul bermacam spekulasi di kepala. Seraya memicingkan mata, dia menukas, “Jangan bilang kak Aksa bikin onar di pengadilan terus diskors? Atau kak Aksa dikeluarin karena udah merusak martabat pengacara? Atau ... atau, klien Kakak bermasalah terus kak Aksa ikutan kena? Karena itu kak Aksa milih kabur ke sini biar bebas dari hukuman?”
Aksa gedeg mendengar penuturan-penuturan Nayya yang selalu mengarah ke hal-hal negatif dan menjurus pada fitnah. Gadis ini kapan sih otaknya bisa berpikir waras? Kalau tidak merundung ya menuduh.
“Sembarangan. Semua klien gue emang bermasalah kali. Makanya mereka minta bantuan gue biar masalah cepet kelar. Tugas gue sebagai penasihat hukum ya begitu, mendampingi, membela dan ngasih bantuan hukum seadil-adilnya,” paparnya, menyuarakan pembelaan terhadap diri sendiri. Diliriknya si penuduh yang tampak khidmat menyimak tanpa berkedip pun menyela.
“Lo tanya, kenapa sekarang gue di sini? Sederhana aja, saat lo ngerasa jenuh dan pengin ada perubahan dalam hidup lo, bukannya lo harus berani melangkah maju dan mencoba hal-hal baru, biar lo nggak selalu terpaku di satu tempat yang sama? Nah, dunia kan luas, lo bisa ngelihat dari sudut manapun yang lo mau,” pungkasnya ringkas. Sejatinya alasan paling inti adalah untuk meningkatkan value diri.
“Nggak nyambung.”
Aksa berdecak. “Ambil kabel tuh, terus colokin ke otak lo biar nyambung.”
“Kok jahat.” Nayya meruncingkan bibir, mendumal sebal pada si pria yang menghinanya dengan brutal. Ya, beginilah mereka jika bersama, kalau tidak saling membully, ya menghina. Apalagi kalau sudah diperbudak dendam, pasti akan berakhir jadi jelmaan setan.
Di tengah-tengah kedongkolannya, mendadak perut Nayya berbunyi. “Kak Aksa, udahan yuk, entar aja lanjut di rumah, aku udah lapar nih,” mohonnya sembari mengedip-ngedipkan mata, mencoba bernegosiasi dan berharap masa hukumannya diamputasi.
“Hah, lo belum makan?”
Entah betulan terkejut atau hanya berpura-pura. Aksa tampak berpikir sebelum kemudian membuka ritsleting ransel bagian depan, lalu memungut sesuatu di sana. Nayya yang duduk di sampingnya turut mengintip, penasaran apa yang hendak dikeluarkan.
Dan Ta-Da! Aksa menggenggam sebungkus cokelat bermerk dan terbeken di dunia. Nayya sudah ngiler hanya membayangkan menyicipi rasa dan aromanya. Betapa nikmat jika cokelat itu meleleh di mulut. Namun belum tuntas turun ke lambung, tiba-tiba Aksa menarik kembali harapannya.
Sial, laki-laki ini malah menghabiskannya sendiri tanpa membagi secuil pun padanya. Padahal kan dia sudah berangan-angan setinggi bintang. “Kak Aksa, kok dimakan sendiri sih? Aku mana?”
Dengan tampang sok polosnya, laki-laki itu malah bertanya, “Eh, lo mau?”
Ya, iyalah, Markonah! Wah, hebat sekali, kelinci ini malah mempermainkannya!
“Ish, kak Aksa jangan main-main gitu dong.” Nayya sangat kesal dan hampir menangis, tapi beruntung peluh-peluh itu tidak sampai menyebabkan gerimis.
“Hm. Tadi lo juga main-main waktu gue ngajar di kelas,” sambut si pria. Meledek balik dengan menjulurkan lidah runcingnya seperti yang dilakukan gadis itu tadi siang terhadapnya.
“Oh, jadi kak Aksa balas dendam?” Nayya sudah berdiri dan berkacak pinggang. Menatap sengit Aksa yang penyakit julidnya mulai mengambang ke permukaan.
Pria itu menyunggingkan senyum mengejek. “Nggak fair dong kalau nggak balas dendam.”
Bibir Nayya menipis dan lamat-lamat mengerut sadis. “Hih! Nyebelin tau nggak!”
Reaksi marah sang gadis justru memicu tawa mengalir dengan harmonis. “Oi, mau ini nggak?” Aksa menggoyang-goyangkan sebelah tangannya yang menggenggam sebatang cokelat yang masih baru.
Secepat kilat Nayya mengangguk. Anehnya, wajah bengis itu perlahan melunak dan timbul senyuman manis yang bikin mabuk. Iya, saking mabuknya, Aksa jadi ingin muntah.
“Pokoknya yang itu buat aku!”
“Yap! Silakan ambil kalau bisa,” tantang Aksa. Karena ia telah memutar kursinya menghadap Nayya yang berdiri, maka dengan jelas ia bisa melihat binar terang di matanya.
Segala sesuatu yang berharga memang tidak mudah didapat, termasuk cokelat yang berada di tangan Aksa. Nayya yang tidak mau menyerah pun melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. Demi cokelat tercinta, dia rela meminggirkan harga diri dan rasa gengsi. Pokoknya dia harus menang. Tidak peduli tangannya sudah menyentuh-nyentuh dan menggelitiki tubuh sang pria, Nayya tetap konsisten pada tujuannya.
Hingga pada satu detik tak terduga, tiba-tiba Nayya hilang keseimbangan dan ambruk menimpa sosok di bawahnya. Sepersekian sekon jantung keduanya berkejaran, terlebih posisi mereka yang saling menempel dan bibir yang hampir bersentuhan. Dengan tidak tahu malunya, AirPods di telinga malah menyanyikan lagu Beautiful yang dicover oleh Doyoung NCT. Aduh, kenapa jadi drama gini ya?
Namun sejatinya, tidak ada yang lebih mampu memacu adrenalin, kecuali suara nyaring benda terjatuh yang kemudian disusul oleh pertanyaan,
“P-pak Aksa sedang apa?”
.
.
.
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments