Chapter 4 | My Teacher, My Husband

Waktu tengah hari merupakan fase awal ketika tubuh manusia mengalami gejala enam L, yakni lemah, letih, lesu, lunglai, lelah dan lapar. Pada kondisi demikian, otak sukar menerima rangsangan, terutama terhadap pelajaran yang sedang berlangsung di depan. Tidak ada yang salah dengan materi yang diterangkan, kesalahan hanya terletak pada Nayya yang perutnya keroncongan.

Siku tangannya menyangga meja untuk menopang pipi. Kelaparan juga berdampak pada kedua mata yang terasa berat dan sulit berkonsentrasi. Namun anehnya rasa mengantuk itu tak bertahan lama begitu irisnya bersirobok dengan milik seseorang yang berdiri, siapa lagi kalau bukan pak guru bergelar suami. Seketika Nayya menarik satu sudut bibirnya tinggi. Inilah saatnya untuk menjalankan misi.

Tanpa menunggu lagi, Nayya mengeluarkan senjata dari dalam tasnya. Semencolok mungkin menarik atensi dengan suara berisik kala meletakkan buku dan memasang AirPods di telinga. Bibirnya menyenandungkan lagu Korea. Telunjuknya tak luput mengetuk-ngetuk keras permukaan meja. Kegaduhannya tersebut tak ayal mengundang beberapa pasang mata mengintip ke arahnya, tak terkecuali Aksa.

Ayo, ayo, datang dan marah lah padaku. Come to mama, Tokki (kelinci). Seruan kalbu menggaung di kepala. Nayya tersenyum sinis begitu mendengar irama sepatu yang mengikis jarak antara mereka. Rencana tak boleh gagal, pokoknya dia harus membuat siluman kelinci itu tidak betah dan memilih kabur darinya. Nayya sangat menantikan itu, ketika Aksa menyerah atas pernikahan mereka dan mengemis perceraian padanya.

“Nayyara.”

Nayya mengangkat kepala, mengerjap polos berpura tak tahu apa-apa. Perubahan raut wajahnya yang sempurna sangat mendukung untuk bersandiwara. “Ya?”

“Sedang mengerjakan apa kamu?”

Pria itu berdiri tepat di sisinya. Kendati tubuh menghadap whiteboard, namun mata memandang lekat manik coklatnya. Dengan sebelah tangan yang tersimpan saku celana, aura intimidasi begitu kuat menguar dalam diri seorang Aksa. Meski demikian, Nayya tak gentar, semangatnya bahkan lebih membara dari kobaran api yang menyala-nyala. 

“Menggambar, seperti yang Bapak lihat.”

Menghidu napas dalam. Aksa tampak menahan geraman. “Apa itu bagian dari mata pelajaran saya?”

Nayya menggeleng. “Bukan sih.”

Tatapan Aksa lurus ke depan, sebelum kemudian membalik tubuh dan mengedarkan pandang ke seluruh penghuni ruangan. “Saya tidak menolerir bagi siapa saja yang mengerjakan tugas lain ketika pelajaran saya sedang berlangsung. Itu peringatan.”

Anak-anak kompak terdiam, sebagian mencuri pandang pada dua orang yang bersitegang. Adapun teman sebangku Nayya yang tampak meringis ketakutan. Sejatinya Aksa jarang menunjukkan kemarahan, dia lebih dikenal sebagai sosok yang ramah, santun dan menyenangkan.

Etika baiknya yang membuat murid-murid merasa segan. Maka ketika dia mengekspresikan raut kaku disertai ancaman, tak satu pun yang berani melawan. Tidak peduli netranya terlapisi kacamata setebal album kenangan, tatapannya tetaplah seram dan tidak sedap dipandang.

“Tidakkah kamu memperhatikan dan mendengarkan ketika saya sedang menjelaskan?” tanyanya, memusatkan atensi pada sang terdakwa.

Nayya yang sesaat lalu menunduk kini telah mendongak. Wajahnya yang berhadap-hadapan dengan si pria, tak ayal meledakkan tawa. Hal itu sungguh tak disengaja. Salahkan saja si kelinci yang bertampang humor dan nggak ada seram-seramnya. Aksinya tersebut sontak mengundang penduduk kelas berbondong-bondong menggempurnya dengan sorot waspada.

Akting memang sulit, itulah sebabnya Nayya mundur dari ekskul drama. Toh segala hal yang berbau drama hanya akan menambah beban hidup dan bikin sengsara. Seperti contoh, posisi Nayya yang kini terancam dituntut dengan pasal berlapis atas sikap tidak terpujinya. Tapi tak mengapa, pun dia paham apa itu makna bermain api berikut konsekuensinya.

“Materi kita hari ini adalah Hakikat Perlindungan dan Penegakan Hukum. Saya punya satu pertanyaan, ini terkait pelanggaran, sanksi apa yang pantas diberikan bagi seseorang yang telah melanggar peraturan? Adakah dari kalian yang bisa menjawab?”

Semarah apa pun jam mengajarnya dicuri, Aksa jarang menggunakan nada kasar pun tinggi. Terdidik sejak muda di bidang advokasi, ia terlatih untuk mengontrol dan menjaga keseimbangan emosi. Jangankan kriminal kecil seperti ini, penjahat sekelas Plankton yang kerap merencanakan pencurian resep rahasia Mr. Krabs saja dia sanggup menghadapi.

Berikutnya, seorang siswi tampak mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Saya, Pak!” Bersamaan dengan anggukan Aksa, siswi tersebut melirik penuh cela pada Nayya. “Dihukum di depan kelas, Pak. Pelaku kejahatan harus dihukum setimpal supaya tidak mengulangi perbuatannya.”

Meski disampaikan secara implisit, Nayya paham maksud terselubungnya. Sebagaimana majas metafora yang merujuk dua hal berbeda namun memiliki satu tujuan sama. Maka gadis tersebut juga menunjuk Nayya bukan sekedar pelaku kejahatan, tetapi menudingnya serta sebagai perebut pacar orang. Begitulah kiranya konflik yang melatarbelakangi dua orang saling bermusuhan.

Dunia memang aneh dan sarat kepalsuan. Dahulu sekali mereka adalah kawan, hanya karena cowok yang ditaksir berujung mengajaknya pacaran, gadis bersumbu pendek itu serta-merta memutuskan pertemanan. Identitas mereka kini adalah musuh bebuyutan. Yep, musuh yang hobi membully di setiap kesempatan. Seperti detik ini, ketika secara terang-terangan mata itu memelototinya penuh dengki.

“Oke, saya terima jawaban kamu. Untuk meminimalisir kasus pelanggaran, Nayyara memang harus dihukum.” Aksa berjalan sambil sesekali melirik Nayya, kemudian berhenti persis di belakangnya. “Nayyara, majulah ke depan. Jelaskan kembali materi pelajaran kita hari ini.”

Beginilah Aksa ketika di sekolah, dia akan bertransformasi menjadi sosok yang adil, tegas dan berwibawa seperti mana seorang pengacara alias konsultan hukum bekerja.

Nayya menghela napas panjang. Nyatanya dia memang tak memperhatikan saat proses belajar-mengajar berlangsung akibat lapar melanda. Namun, bukan Nayya jika dia mengaku kalah dari sang pria. Semboyannya adalah; semakin Aksa marah, maka semakin dekat pula celah kemenangan. Ini masih mengacu pada satu masalah; pernikahan yang harus dihentikan.

Kendatipun sadar dia tidak mampu menguraikan secara rinci materi pelajaran, Nayya tetap berdiri di depan. Dengan penuturan seadanya, dia merepetisi penjelasan sebelumnya. Selain tidak fokus ketika diajar, kapasitas penyimpanan memorinya pun tidak seluas Einstein. Jika ada yang deg-degan, maka ada pula yang memberinya sorakan.

Aksa masih mengawasi di posisi semula dengan tangan bersedekap dada. Namun begitu Nayya menurunkan pandangan dan tak berkata-kata, dia melangkah ke arahnya. Berada di sisi Nayya, dia berujar, “Lain kali hargailah saya sebagai guru. Tapi jika hal itu memberatkanmu, cukup hargai mata pelajaran saya. Sekarang kembalilah ke tempat duduk.”

Seiring pengusiran tersebut, Nayya mencuri kesempatan memeletkan lidahnya pada Aksa sebagai bentuk pembalasan. Kemudian dia buru-buru pergi sebelum pria menyebalkan itu membalasnya lebih kejam.

Menjadi guru bagi murid sebandel Nayya memang perlu kesabaran ekstra. Aksa sudah mempelajari itu sejak lama.

“Baiklah. Sebelum jam pelajaran berakhir, mari kita bahas kasus pelanggaran tata tertib sekolah.” Tatapannya kontan membidik satu murid perempuan di sana. “Seperti yang kita tahu, pelanggaran merupakan bentuk ketidakpatuhan seseorang terhadap peraturan. Penyebabnya ada dua, pertama melanggar aturan sudah dianggap kebiasaan, dan yang kedua karena pelanggar meremehkan peraturan yang berlaku.”

Jeda sejenak, sebelum akhirnya dia berkata lagi, “Apa contohnya?” Seringai tipis terpahat. “Tidak memperhatikan ketika guru menjelaskan materi pelajaran di depan kelas,” ungkapnya penuh tekanan dan sindiran. Tak jauh dari pandang, sosok yang dibicarakan tampak mencibir dengan muka julid persis yang kerap dia tunjukkan.

Aksa buru-buru melanjutkan, “Lantas partisipasi apa yang perlu diterapkan untuk mengurangi pelanggaran?” Perlahan ia meneliti satu persatu murid didiknya. Pemahaman seperti ini memang perlu disampaikan untuk mengurangi sikap tidak hormat siswa terhadap gurunya. “Cukup sederhana. Memperhatikan penjelasan guru dan mengikuti pelajaran sesuai dengan jadwal yang berlaku. Hanya itu,” pungkasnya mutlak, tanpa bantahan.

Selanjutnya, pandangan mata menyisir dan berhenti di satu titik akurat. “Dan kamu Nayyara, temui saya di kantor guru setelah jam terakhir,” perintahnya yang langsung dibalas cebikan bibir.

Mengetahui waktunya telah habis, Aksa segera merapikan buku-buku dan meja, dia lantas berpamitan, “Saya tutup pelajaran hari ini. Sampai jumpa di pertemuan berikutnya. Selamat siang.” Tepat ketika lonceng berbunyi, Aksa meraih ransel dan bergegas keluar kelas sebelum gadis di ujung sana kian memprovokasi.

Di tempat duduknya, teman Nayya berbisik, “Kamu tumben ngajak ribut pak Aksa? Kamu lagi ada masalah sama dia?”

Wajar gadis ini bertanya, sebagian murid pun sudah tahu dia dan Aksa bertetangga, bahkan sejak perkenalannya di depan kelas untuk pertama kali, laki-laki itu telah menyebutkan posisi demografi rumah mereka.

Nayya berdecih. “Si Pennywise tuh yang bikin gara-gara.”

“Ha? Kalian berantem?”

“Lebih dari itu!”

.

.

.

To be continued.

He is my man and inspiration ㅋㅋㅋㅋ

He is Mr. Aksa as known as Kim Doyoung of NCT 127

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!