Chapter 3 | Scary Nightmare

Mimpi Nayya terlalu indah sampai dia lupa pada mimpi buruk yang menyatroninya belakangan. Saking menghayati peran, dia tak mau bangun untuk kembali ke kenyataan. Menyaksikan wajah Jaemin yang tampan dan menawan adalah anugerah Tuhan. Tapi kenapa ya, suara Jaemin menjadi lain? Ini bukan jenis bariton yang berat, tepatnya khas tenor yang lembut, cerah dan hangat laksana musim semi. Pokoknya tipe-tipe penyejuk rohani.

“Oi! Nay, bangun. Lo nggak papa?”

Kenapa pula suara itu semakin familier saja? Apa ini efek karena ia terlalu sering mendengarnya? Kelopak mata tahu-tahu berkhianat dan meninggalkan Jaemin di suatu tempat. Nayya berkedip, menemukan wajah siluman kelinci yang menatapnya lekat. Mimpi buruk yang sejatinya telah pergi, mendadak kembali hadir menggerayangi memori. Satu persatu peristiwa kemudian berputar seperti roda.

“Udah baikan? Mau minum nggak?”

Nayya menggeleng-geleng lemah. Bukan menolak tawaran minum, melainkan menepis mimpi buruk yang senantiasa membayang pikiran.

“Kak ... Aksa.”

Gumaman lirihnya mengundang Aksa lekas menyahut, “Kenapa?”

Nayya perlahan bangkit, pandangannya linglung pada sekeliling, namun segera tersadar begitu menemukan ciri khas kamarnya yang berupa poster Jaemin. Bayang-bayang mengerikan tatkala namanya terlisan dalam ijab kabul berangsur-angsur memenuhi kepala. Nayya menarik kaki dan mendekapnya erat hingga menyentuh dada.

“Aku ... barusan aku mimpi buruk.”

“Tenang, ya,” bisik Aksa, merasa prihatin menyaksikan gurat ketakutan yang tergambar di wajah sang gadis. “Mau minum? Biar lebih enakan.”

Gadis itu tidak menjawab, tak pula menolak segelas air yang tersuguh di depan mata. Alis tipisnya berkerut-kerut begitu rasa segar melewati kerongkongan. Kendati merasa lebih baik setelah minum, pikiran Nayya sukar mengusir kilas-kilas mengerikan. Atensinya kemudian beralih pada sosok laki-laki yang duduk di sampingnya. Rasa terkejutnya barangkali sangat terlambat, tapi tetap lah, dia merasa terkejut melihat kehadiran Aksa di kamarnya.

“Omong-omong, kak Aksa kok di kamar aku?” Suaranya mulai normal saat pertanyaan itu keluar. Nayya menyipitkan mata, curiga.

“Tadi lo pingsan, jadi gue yang mindahin lo ke sini,” balas pria itu.

Terdiam sejenak. Otaknya merangkai sebuah teori. Mungkinkah benar, kenyataan buruk yang dialaminya beberapa waktu lalu, hanya mimpi? Bukankah laki-laki ini bilang dia pingsan, artinya semua itu sebatas mimpi, kan? Lagi pula, mana mungkin pernikahan itu sungguhan terjadi bila dia berada di sini? Keyakinan itu mempengaruhi suasana hati yang semula gelap gulita menjadi gembira tiada tara. Tersenyum semringah, Nayya seolah baru keluar dari zona bahaya.

“Yokatta ne! (Japanese; Syukurlah). Aku lega banget loh, Kak, karena kita nggak nikah beneran,” ungkapnya bersuka cita. Lengkung bibir tak luntur membingkai parasnya.

Aksa berkerut dahi dengan satu alis terangkat tinggi. “Lah, kan tadi kita emang nikah.”

Dan penuturan tersebut bagaikan bom yang melenyapkan seluruh kebahagiannya. Seketika Nayya merasa seperti telah dihancurkan berkeping-keping hingga menjadi serpih debu yang menusuk mata. Kaki yang sudah menginjak bulan, tiba-tiba terdorong hingga jatuh ke jurang. Gadis itu membeku nyaris tak mampu berkata-kata.

“A-apa?” Mata berbinar-binarnya kini berubah nanar. “Nggak, nggak, ini pasti salah. Aku pasti masih mimpi,” bantahnya keras.

Ya, Nayya yakin belum sepenuhnya bangun dari tidur panjangnya. Menikahi seorang Aksa adalah ketidakmungkinan terbesar dalam hidupnya. Kesangsian itu pula yang akhirnya mencetuskan sebuah ide cemerlang menyinari otaknya. Demi pembuktian kebenaran atas doktrinnya, Nayya menjepit lengan berdaging sosok di hadapan dengan sekuat tenaga.

“Hei! Hei, kenapa gue dicubit hei?!” Aksa melotot seraya mengusap-usap kulit lengannya yang terasa perih dan sakit sekali. Gadis itu sungguh tidak kira-kira saat melakukan penyiksaan terhadapnya.

Tiada rasa bersalah yang meliputi, Nayya justru bertanya, “Sakit, Kak?”

Yang tentunya tidak dijawab oleh Aksa dengan kata-kata, melainkan tampang menyalang seperti banteng kesurupan. Nayya menciut, tak berani menatap masa depan. Perasaan gelisah pun lambat-laun brutal menyerang.

Dengan ragu dan disertai suara tertahan, ia berbisik perlahan, “Ja-jadi ini nyata? Aku sama kak Aksa beneran nikah? Ini bukan mimpi?”

Konfirmasi Aksa yang melalui dengkusan seketika menyulut teriakan. “Aaaaaaaa! Eng-enggak mungkin. Enggak mungkin!”

“Shut up your mouth,” peringat Aksa yang pengang mendengar suara nyaring menerjang gendang telinga.

Nayya melompat turun dari ranjang, dia memandangi dirinya sendiri yang telah berganti pakaian. Seingatnya hal terakhir sebelum tidak sadarkan diri, dia masih mengenakan baju pengantin yang super ribet dan tidak nyaman. Melihat hanya ada Aksa di kamarnya, kepanikan pun melanda.

“Terus, terus siapa yang gantiin aku piama? Bukan kak Aksa, kan? Jangan-jangan kak Aksa udah grèpe-grèpe aku, ya?!”

Nayya pening membayangkan segala rangkaian adegan dalam kepala. Yang dari segi pandang Aksa, tingkah gadis itu sungguhlah berlebihan bak perempuan yang habis dipéŕķòśá. Dan apa itu, menuduh-nuduhnya segala dengan pikiran tercela. Jika tidak mengasihani kondisinya yang amat memprihatinkan, maka tak segan dia akan menyentil keningnya dengan tanpa ampunan.

“Bisa nggak sih, nggak suuzan gitu sama gue? Bu Farah yang tadi gantiin lo baju.”

Meski samar-samar ia mulai tenang setelah mendengar klarifikasi Aksa, hati Nayya tetap gundah dan marah karena pernikahan itu benar-benar terlaksana. Tatapan kesalnya kemudian memanah sosok menyebalkan di hadapannya.

“Ini salah kak Aksa! Pokoknya salah kak Aksa! Aku benci kak Aksa, benci banget! Hih!” amuknya, gondok sekali, apalagi jika me-rewind memori ketika pria itu hanya bungkam dan tidak mendukungnya berdemontrasi.

“Kenapa kak Aksa membiarkan semua ini terjadi? Kenapa enggak cegah Akung, kenapa malah pasrah dan nurutin kemauannya! Kenapa?!” teriaknya makin tak terkendali. Napasnya ngos-ngosan, merasa jengkel dan sedih tak terperi.

Bukannya menenangkan jiwa yang kerasukan, sebaliknya Aksa merespons kemarahan itu dengan tenang, “Lagian Eyang bener, kan, Nay? Kita emang berzina.”

“Zina apaan?!” sambut gadis itu berapi-api.

“Gue ngaku salah, Nay. Maaf, gue udah bawa lo di posisi sulit kayak gini,” sesal pria itu, tampak benar-benar menyesal. Ya, tidak seharusnya dia berinisiatif menggendong sang gadis hingga tertidur di kamarnya. Ya, itu adalah kesalahan terbesarnya. “Tapi gue ngerasa gue harus tanggung jawab sama lo.”

“Kak Aksa ngomong apa sih? Tanggung jawab apaan? Kayak kita udah ngelakuin hal berdosa aja!” Kendati nadanya menyala-nyala, namun Nayya tak dapat menampik rasa merinding yang menggelitik jiwa.

“Nay, zina tuh nggak cuma ngelakuin hubungan suami-istri di luar pernikahan. Zina banyak macamnya. Lo pernah denger nggak ada ustadz bilang gini, zina mata menengok, zina mulut bicara, zina tangan menyentuh, zina telinga mendengar, zina hati dan pikiran berimajinasi.”

Aksa menjeda perkataan panjangnya, memperhatikan Nayya yang bergeming tanpa melirik padanya.

“Pada intinya gue bersalah. Menurut pandangan agama kita udah berzina, Nay, meskipun secara fakta kita nggak sampai sejauh itu.”

Kelopak mata Nayya terkatup, mencoba meredam emosi yang meletup-letup. “Terus kenapa kak Aksa tidur di kamar aku kalau tau itu bakal jadi zina?” Lirikan penuh curiga melayang pada sosok Aksa yang tampak tercekat oleh pertanyaannya. “Kak Aksa sengaja ya biar kita digrebek Akung terus dinikahin? Kak Aksa sengaja jebak aku soalnya kak Aksa takut nggak punya jodoh? Kak Aksa takut nggak laku karena udah setua ini belum nikah. Iya, gitu?!”

Tuduhan demi tuduhan yang dimuntahkan seketika mengubah raut Aksa yang pasi menjadi cengo dan melongo. “Nay, gue tau gue salah, dan gue minta maaf. Tapi gue nggak sepicik itu kali.”

Gadis itu mendelik sengit, bibir tipisnya pun ikut meruncing seperti celurit. Masa bodoh laki-laki itu bicara apa, hatinya kini sudah diliputi bara api yang menyala-nyala. Kemudian, tergesa-gesa dia berderap ke meja belajarnya, mengambil sebuah kertas dan pena.

“Kak Aksa cepetan ke sini! Kita bikin surat perjanjian!” instruksinya galak.

Aksa menarik napas panjang. Meskipun dia tidak marah atas sikap semena-mena istri ciliknya, namun dalam benak ingin sekali dia menumpahkan segala umpatannya. Lantas dia berdiri, berjalan menghampiri Nayya yang terduduk dan tampak fokus menulis sesuatu yang tidak lain adalah perjanjian pascanikah.

“Gini nih akibatnya kalau lo sering baca fanfiction, jadi lebay kan, pakai nulis perjanjian-perjanjian nikah segala,” cibir pria itu.

“Ya ini kan buat keselamatan dan kesejahteraan aku selama menjadi istri Kakak. Siapa tau kak Aksa khilaf!”

Aksa berdecak. “Rempong.”

“Ish! Buat jaga-jaga!” sahut gadis itu seraya menyerahkan kertas berisi tulisan tangannya pada Aksa. “Seenggaknya ada hitam di atas putih! Nih kak Aksa kalau mau nulis juga, silakan!”

Pria itu menggeleng mendapati kelakuan Nayya yang amat kekanakan. Bolpoin yang diacungkan padanya pun dia terima meski terpaksa. Gadis itu bahkan dengan galak memintanya membubuhkan tanda tangan di sana.

“Sekalian gih pakai materai, atau mau gue panggilin notaris juga biar sah, hm?” ledeknya, menyeringai.

“Nggak perlu. Aku percaya, kak Aksa nggak bakal melanggar perjanjian kita. Iya, kan?”

Aksa berdeham. “Lihat aja nanti.”

Jawaban Aksa yang demikian enteng, memancing praduga liar berkeliaran di benaknya. Kok mencurigakan ya?

.

.

.

To be continued.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!