Tidak ada hal lain yang memaksa Nayya bersimpuh di kaki Eyang, kecuali memohon ampunan. Air mata berderai seperti rinai, Nayya menangis dramatis. Padahal sebelum datangnya Eyang, Nayya sudah merancang sambutan manis demi membuktikan dirinya cucu berbakti. Dan bila saja Mama mengizinkannya ikut ke bandara, kesalahpahaman ini mungkin tak pernah terjadi.
“Akung, maafin Nayya, Kung. Tolong dengerin Nayya. Nayya dan kak Aksa sama sekali nggak berbuat hina. Apa yang Akung lihat itu nggak sesuai realita. Aku bersumpah, aku sama kak Aksa betulan nggak ngapa-ngapain. Please, Akung, aku mohon, aku masih anak-anak, aku masih sekolah, aku nggak mau nikah. Aku malu, Kung. Kalau temen-temenku tau gimana? Mereka pasti bakal ngejauhin aku dan aku nggak bakal punya temen lagi.”
Ucapan Nayya yang amburadul menunjukkan betapa ia berputus asa. Yang benar saja, Eyang mengultimatumnya untuk menikah dengan Aksa cuma gara-gara terpergok tidur berdua. Pembelaan apa pun yang keluar, takkan mampu menggoyahkan hati Eyang yang sekeras baja. Nayya tidak mengerti harus melakukan apa lagi. Kalau boleh bersujud, akan dia lakukan. Tapi, kan manusia tidak boleh bersujud pada manusia lain.
“Bapak, apa nggak sebaiknya ini dibicarakan baik-baik dulu? Kasihan Nayya, dia belum cukup umur untuk nikah. Dia masih kecil. Bapak, tolong dipertimbangkan lagi ya.”
Ibunda Nayya tak kalah semangat membujuk Eyang yang masih saja bungkam. Sorot tajamnya pun sesungguhnya sudah cukup mewakili segala ucapan.
“Mama bener, Kung. Nayya nggak mau nikah sekarang. Nayya masih pengin sekolah. Nayya juga pengin masuk perguruan tinggi,” pinta gadis itu mengiba. Namun sang Eyang tetap bergeming dan enggan menatapnya.
“Bapak, tolong kasihani Nayya, dia akan malu kalau nikah mu—”
“Lebih malu dan kasihan mana kalau anak kamu ini hamil di luar nikah dan nggak ada bapaknya?!” sanggah Eyang bernada sinis. Sebongkah kalimat yang langsung bereaksi seperti aliran listrik yang menyengat hati. Betapa maklum jika alasan berikut yang melandasi sang pria tua, kaku akan prinsip. Situasi ini sungguh tidak mengguntungkan bagi Ibunda Nayya. Hatinya betulan tertohok karenanya.
“Akung, tapi aku sama kak Aksa beneran nggak berzina. Itu cuma kesalahan yang enggak disengaja. Demi Tuhan, Akung cuma salah paham.” Tak ada kata menyerah bagi seorang Nayya yang keras kepala. Dia harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Kalau pun habis, kan masih ada bank darah.
“Halah! Sekarang nggak melakukan apa-apa, lalu bagaimana besok-besok?” Gigi Eyang yang masih utuh sampai bergemelutuk saking geramnya. “Kalian ini bukan suami istri, bukan mahram. Berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram itu dilarang, lantas kenapa kalian tidur seranjang?” Eyang tampak menggeram. “Bagaimanapun bentuknya, zina tetaplah zina! Seandainya kalian hidup di zaman Rasulullah, sudah dirajam kalian!”
Tangis Nayya mengeras seiring suara Eyang yang meninggi. Membayangkan dihukum dengan cara dilempari batu sampai mati membuat Nayya tak sanggup menopang diri. Meskipun ibadah Nayya tidak pernah bolong, tapi jika sudah menyangkut azab Tuhan, dia takut setengah mati.
Hati yang dilanda bimbang, membuat sang ibunda menelan kasar ludah di tengah kegugupan. Wanita itu menyapa bahu sang putri, memberinya ketenangan kendatipun diri sendiri dipenuhi kekalutan. Pun ia tak berharap putrinya menikah belia, tetapi ia tak punya kata untuk melawan sang ayahanda. “Nayya, sekarang nurut dulu sama Akung ya, Nak.”
Mata sang gadis yang berlinang air, membola, bergetar menatap sang Mama. “Nggak bisa gini, Mah.”
Tidak. Nayya tidak bisa terima keputusan mereka. Ini sungguh malapetaka baginya. Detik itu juga ia melempar pandang pada sosok yang patut dilabeli tersangka, siapa lagi kalau bukan Aksa? Nayya heran sekali, bagaimana bisa laki-laki itu malah menikmati kesengsaraannya? Bukannya membantu, sosok itu malah diam membatu. Memangnya dia pemain sirkus yang menghibur penonton dengan akrobatnya?
“Kenapa kak Aksa diem aja? Ngomong dong! Jelasin supaya nggak ada kesalahpahaman!”
Namun bukan jawaban Aksa yang ia dengar, sebaliknya suara sang ibu yang mengalun rendah mengisi telinga.
“Mas Aksa, kalau saya boleh tau, Mas Aksa sekarang punya pacar nggak?”
Lalu disahuti enteng oleh sang pria yang duduk di hadapan mereka, “Enggak, Bu Farah, saya nggak punya pacar.”
Wanita yang dipanggil Farah, menghela napas. Memang berat, namun ia harus mengutarakan niat. “Mungkin ada perempuan yang lagi deket sama Mas Aksa?”
Nayya betul-betul meradang mendengar semua itu. Dia menoleh bergantian ke arah ibu dan laki-laki terkutuk yang duduk di sofa empuk. Berharap menemukan titik terang untuk masalahnya, namun pada detik ketika si kang julid berkata, “Enggak, Bu Farah, saya nggak deket sama siapa-siapa,” sambil menyengir kuda, Nayya semakin berang dibuatnya.
Hidungnya yang kembang kempis merupakan wujud emosi batin yang sudah tak terbendung. Ingin sekali dia memaki Adhyaksa Andaru sialan itu! Ditambah kini ultimatum kesekian Eyang yang nyaris membuatnya meraung kesetanan.
“Bagus! Lebih cepat kalian menikah maka lebih baik! Dan kamu anak muda! Segera hubungi orang tuamu, kita adakan pertemuan keluarga, secepatnya!”
Musnah sudah harapan Nayya yang setinggi himalaya. Membangunnya saja bersusah payah, begitu dijatuhkan, remuk lah sudah tubuhnya.
.
.
.
Hari sakral itu benar-benar tiba. Aksa duduk tenang di hadapan penghulu yang juga akan menjadi wali hakim calon istrinya. Betapa aneh jika menyebut gadis cilik itu adalah calon istri. Ini memang aneh, dan terasa sangat aneh sejak awal. Aksa bertanya-tanya, kenapa saat itu dia tidak membantah sedikit pun, ya?
Pakaiannya pun cukup rapi untuk kondisi hatinya yang tak terdefinisi. Aksa bahkan mematuhi dan menyelesaikan semua tepat waktu. Dari hal paling pokok, seperti membantu Bu Farah meminta dispensasi untuk Nayya di pengadilan Agama, hingga meminta restu keluarga. Ah, jika mengingat yang terakhir, daun telinganya seketika ngilu luar biasa.
Bayangan itu kemudian bergentayangan di benak. Terlebih setelah matanya melirik sang ibu yang tampak anteng-anteng mengerikan, Aksa semakin gencar mengusap-usap kuping yang merah padam.
“Mi, ampun, Mi, ampun!”
“Nggak ada ampun ya buat kamu!”
“Mi, please, sakit ini.”
“Makanya kamu itu jangan ceroboh. Hati-hati kalau mau berbuat apa-apa. Udah kejadian gini baru minta ampun. Kamu apakan itu anak orang, hm?”
“Sumpah, Mi, nggak diapa-apain.”
“Kalau nggak diapa-apain kenapa keluarganya minta tanggung jawab kamu?!”
“Percaya sama aku, Mi. Aku masih perjaka. Serius. 100%!”
“Dasar anak nakal!”
Aksa tercekat, meneguk ludah terasa seperti menelan besi berkarat. Wow, perumpaan macam apa itu? Yang jelas kini Aksa gugup tak terkira. Hukuman maminya sungguh membikin jera. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin itu adalah karma karena ia telah mengabaikan permintaan Nayya. Omong-omong tentang gadis itu, bagaimana ya kabarnya di dalam sana?
Tentu saja Nayya sangat ingin minggat dan meninggalkan semua lelucon yang sangat ingin membuatnya tertawa. Namun apa daya? Dia justru membeku dan tak melakukan apa-apa. Bahkan ia hanya melamun tanpa takut akan kemasukan lelembut yang hobi menjaili manusia, terutama pada golongan yang kosong pikiran seperti dirinya.
“Mama minta maaf, Sayang, karena kesalahan Mama, Akung bersikeras menikahkanmu. Maafkan Akungmu, Nak. Dia terlalu sayang kamu, makanya dia takut kalau apa yang terjadi sama Mama terjadi juga sama kamu.”
Genggaman ibunya begitu hangat, namun tidak dengan paru-parunya yang terasa sesak. Nayya menghirup udara keras-keras, mencoba melonggarkan hatinya yang terbelenggu amarah. “Mah, aku dan kak Aksa sama sekali nggak berbuat seperti itu. Mama tau itu, kan? Mama percaya sama aku?”
Sembari menghapus jejak air mata, Farah memeluk putrinya. “Mama percaya kamu, Nak. Sangat percaya. Tapi Akung, dia ... dia nggak bisa dibantah. Dosa Mama yang bikin Akung berkeras hati. Mama salah, Nak. Maafin Mama, maafin Mama yang nggak bisa bujuk Akungmu.”
Tangisnya tak tertahan hingga kulit wajah ikut tertarik-tarik membentuk lipatan. Pada akhirnya Nayya melepas rengkuhan sang Mama. Tak kuat atas perasaan yang mendera, ia mendadak kalap dan ingin meluapkannya. “Itu dosa Mama, kan, kenapa aku harus ikut nanggung dosa yang sama sekali nggak aku perbuat?! Ini nggak adil! Ini nggak adil buat aku, Mah!”
Tanpa adanya kontak mata, Nayya tahu Mama tengah menatapnya nanar berikut raut menyesal. Bertambah pula rasa bersalah dalam diri begitu tersadar bentakannya telah melukai sang Mama. Namun Nayya enggan meminta maaf. Dia meyakini bahwa ia hanya remaja tantrum yang butuh pengertian dan ketenangan atas ketidakadilan yang dia dapatkan.
Sementara di luar, seseorang mengetuk pintu dan mengingatkan akad nikah akan segera dimulai. Pak penghulu dan yang lainnya sudah menunggu. Dengan hati yang teramat berat, Nayya menerima uluran tangan sang ibu yang telah disakitinya berdetik-detik lalu. Status Nayya pun kontan berubah menjadi istri seorang Adhyaksa Andaru setelah pria itu mengikrarkan kabul dengan lancar dan fasih dalam suasana syahdu.
“Saya terima nikah dan kawinnya Nayyara Shanum ...”
Telinga Nayya berdengung, dan kata SAH adalah yang terakhir kali ia dengar sebelum tiba-tiba ia jatuh pingsan di pangkuan Aksa.
.
.
.
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments