Memory

Tanpa terasa senja pun datang menghampiri, walaupun hanya sesaat. Namun,  membekaskan memori bagi siapa saja yang mendamba kehadirannya.

Ah, tapi itu tak berlaku bagiku. Semuanya sama saja. Baik tadi ataupun kini, aku masih merasa patah hati.

Motor klasik kesayanganku kembali aku lakukan. Berlalu pergi setelah perbincangan menyebalkanku dengan Rio yang sedikit meredakan rasa sakit hati. Meski hanya sedikit.

Menyusuri jalan yang sudah menggelap, dengan begitu banyaknya lampu-lampu jalan yang menghiasi serta menerangi gelapnya malam. Namun tak mampu menerangi gelapnya suasana hatiku saat ini.

Ce ileh! Masih galau aja diri ini.

Ya Tuhan ... sampai berapa hari rasa patah hati ini akan terus berlanjut?

Haduh, pikiranku sudah seperti orang sakit saja. Tapi, memang benar 'kan kalau aku memang sedang sakit.

Sakit hati, pastinya.

''Ah, sial! Lagi-lagi aku terkena sindrom patah hati. Menyebalkan! Dua kali aku merasa sakit hati karena hal yang sama," gumamku saat aku masih melajukan motor klasik kesayanganku dengan kecepatan sedang.

Tiba tiba saja diri ini teringat kembali kejadian dua tahun yang lalu, saat usiaku masih menginjak tujuh belas tahun.

Saat itu, aku yang masih remaja jatuh cinta pada seorang wanita dewasa bernama tante Meta. Aku juga bingung harus bagaimana menjelaskannya. Aku yang masih remaja, jatuh cinta pada wanita dewasa berusia dua puluh sembilan tahun. Usia yang sudah matang untuk seorang wanita masih berstatus lajang. Pikirku saat itu.

Seorang pria yang baru saja menginjak usia remaja, jatuh cinta kepada seorang wanita dewasa bernama Meta.

"Tante, apa Tante mau menjadi pacarku?" ungkapku dengan sungguh-sungguh. Aku bahkan sampai berlutut sambil menyodorkan sebuket bunga mawar merah untuk menunjukkan kesungguhanku.

Sedikit lebay aku mengingat akan hal itu. Tapi, jika di pikir pikir, aku gentle juga ya, waktu itu.

Kulihat rautnya bingung. Wajahnya terlihat tak karuan. Namun, tak mengurangi sedikitpun kecantikannya.

Oh, aku. Mengapa aku begitu mendamba dan memujanya waktu itu.

"Tante mau kan jadi pacarku?" ucapku lagi bertanya dengan nada memohon, semoga saja ungkapan cintaku ini di terima oleh tante Meta. Namun, tante Meta malah membelalakkan mata, dengan ekspresi wajah yang tak terduga. Ia terdiam dengan berbagai pertanyaan yang berseliweran dipikirannya.

Seperti itu aku melihatnya.

"Jawab tan, aku serius. Jangan bikin aku broken heart ya tan?" kataku saat itu, dengan wajah serius yang semakin menambah ketampananku yang masih belum matang.

Haduh! Sepede itu aku dulu.

"Apa Tante tahu?" tanyaku yang tentu saja langsung mendapatkan gelengan kepala dari Tante Meta. Tahu apa? Mungkin seperti itu pikirannya. Aku juga tak tahu, karena hanya menduga saja.

"Tante Meta adalah cinta pertamaku, hehe,"  jujurku yang berhasil membuat Tante Meta tersedak tanpa sebab. 

Uhuk! Uhuk!

Segelas air putih kusodorkan ke pada Tante Meta, yang langsung ia teguk sampai airnya habis tak tersisa.

"Tante gak papa 'kan?" tanyaku mulai khawatir. 

Hening!

Tidak ada jawaban sama sekali. Sedari tadi, Tante Meta tak mengeluarkan suaranya. Hanya suara batuknya saja yang aku dengar, karena ia tersedak akibat ulah pertanyaanku tadi.

Menunggu Tante Meta mengeluarkan suara, membuat aku bimbang. Apakah cintaku ini akan di tolak mentah-mentah olehnya?

Oh, tidak! Jangan sampai hal itu terjadi. Aku bisa patah hati karena hal ini.

Kembali Tante Meta menatapku dengan tatapan mata yang sulit untuk aku artikan. Apakah ia akan menerimaku, atau bahkan menolakku. Namun, hal di luar dugaan terjadi.

"Ya sudah deh, Tante terima!" ucap Tante Meta yang sudah mengambil keputusan untuk menerimaku.

Walaupun aku tak tahu, apakah keputusannya itu murni karena ia juga memiliki perasaan yang sama sepertiku atau karena ia merasa kasihan kepadaku.

Namun, aku tak peduli dengan alasan dibalik keputusan Tante Meta yang mau menerimaku sebagai kekasihnya. Yang kupedulikan adalah, aku senang. Kini, aku sudah tak jomblo lagi.

"Serius Tan? Tante serius 'kan menerima cinta Reno?" tanyaku memastikan kembali apakah yang barusan kudengar itu nyata atau hanya bercanda. Dan lagi-lagi, Tante Meta menganggukkan kepalanya seraya tersenyum begitu manis. Bahkan, manisnya jus alpukat di hadapanku, sudah terkalahkan oleh senyuman itu.

'Ah. Manis sekali! Apa aku boleh mencicipinya?' pikiran kotor tiba-tiba saja datang sebelum waktunya.

**

Tiga bulan berlalu tanpa terasa. Hubungan antara aku dan tante Meta berjalan lancar sebagaimana semestinya. Tapi itu menurutku. Tidak tahu jika menurut Tante Meta. Yang aku tahu, tante Meta sering menghabiskan waktunya bersamaku di sela-sela kesibukannya.

Lagi lagi, enam bulan telah terlewati. Aku yang baru saja menerima raport kenaikan kelas dari sekolah, berinisiatif untuk menemui sang tante kesayangan di kantornya. Namun, belum sempat aku keluar dari gedung sekolah. Aku sudah mendapati sang tante kesayangan keluar dari dalam mobil, dengan gaun merah menyala yang tampak seksi saat Tante Meta mengenakannya.

Apalagi ia berjalan sambil membawa sebuket bunga mawar merah yang senada dengan warna pakaiannya. Menambah kesan seksi dan berani yang terpancar jelas dalam diri Tante Meta.

Langkahnya semakin mendekat ke arahku. Wajahku semringah. Aku tersenyum bahagia, karena wanitaku, sudah rela dan mau menyempatkan waktunya untuk memberikan ucapan selamat untukku yang baru saja mendapatkan raport kenaikan kelas. Namun, ada yang mengganjal dalam penglihatanku.

'Siapa pria itu? Kenapa sedari tadi dia mengikuti Tante Meta?' pikiranku yang mulai bertanya-tanya tentang sosok pria di samping Tante Meta yang tak pergi juga saat Tante Meta mendekatiku.

Hap!

Sosok tinggi semampai dengan kulitnya yang halus serta aroma rambutnya yang wangi, membius ku hingga aku membelalakkan mata. Bagaimana tidak, saat ini tante Meta tengah memelukku dengan cukup erat. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang baru datang satu kali seumur aku berpacaran dengan tante Meta, aku pun membalas pelukan tersebut tak kalah erat.

Hingga, tiba-tiba saja suara deheman yang bersumber dari sosok pria yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Menyudahi pelukanku dan tante Meta yang terasa hangat kurasa.

"Sayang, apa kamu akan terus-menerus membuatku cemburu?" ujar pria itu tiba-tiba, membuatku mengernyitkan dahi dan melebarkan telinga, 'apakah benar apa yang aku dengar barusan?' tanyaku dalam hati.

Mendengar apa yang pria itu katakan. Tante meta menutup mulutnya dengan sebelah tangan, tertawa ceria dengan gaya yang anggun. Dan itu membuatku semakin curiga. 'Ada apa ini sebenarnya?'

"Ternyata benar ya, kata kamu!" kata pria itu yang berbicara dengan pandangan mata yang terus menatap Meta, "dia ini sangat tampan dan manis," lanjutnya tiba tiba, diiringi dengan tawa renyah dari bibirnya.

Tante Meta ikut tersenyum mendengar ucapan dari pria itu, sedangkan aku? Aku hanya mengernyitkan dahi, tanda tak mengerti.

"Kalau aku tahu dia setampan ini, aku pasti akan sangat cemburu sejak awal kamu jadian dengannya!"

Deg!

Perasaanku mulai terusik.

"Apa maksud anda Om?" tanyaku yang meminta penjelasan atas ucapan pria yang sama sekali tidak aku kenal.

"Reno?" panggil tante Meta. Suara yang manis nan lembut itu mampu mengalihkan pandanganku yang semula tertuju pada sosok pria di sampingnya, kini menatap tante Meta dengan tatapan yang selalu sama. Hangat!

"Apa kamu akan mendengarkan semua penjelasan Tante?" kata Tante Meta yang tatapannya terasa sedikit berbeda kali ini.

Penjelasan? Penjelasan apa maksudnya? Aku jadi bingung sendiri kan sekarang.

Belum sempat aku mengatakan sesuatu pada tante Meta. Tiba-tiba saja tangan tante Meta sudah mengeluarkan sebuah benda mudah robek yang terbungkus pita berwarna gold, membuatku yang tadinya hendak berkata, kini mengurungkan niatku.

Deg!

Hawa dingin mulai menjalar di tubuhku. Rasa sesak di dada juga kian terasa, saat tangan tante Meta menyodorkan sebuah benda berpita gold tersebut padaku.

"Apa ini Tan?" tanyaku penasaran. Dengan tangan gemetar, aku memberanikan diri untuk mengambil benda tersebut. Namun, bukannya jawaban yang aku dapatkan, tante Meta malah tersenyum sebagai jawaban atas pertanyaanku barusan.

Berdebar debar aku menerima benda tersebut. Dan saat benda itu sudah berada di tanganku.

Duarr!

Tubuhku langsung lunglai. Petir seakan  menyambar seluruh tubuh dan hatiku di siang bolong seperti ini. Hatiku hancur berkeping keping, saat melihat benda tersebut, ternyata adalah sebuah undangan pernikahan yang bertuliskan nama, Meta Amelia dan Radit Nugraha.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!