Patah hati pertama.

Gemetar gemetar tangan dan seluruh tubuhku, saat mengetahui bahwa benda yang berada ditanganku saat ini adalah sebuah undangan pernikahan tante Meta dan pria bernama Radit Nugraha.

Bibirku tiba tiba saja terasa kelu, seakan susah untukku mengeluarkan sepatah katapun dari anggota tubuh yang selalu memuji-muji tante Meta tersebut.

"Reno?" panggil tante Meta padaku. Namun, aku seakan tak mampu untuk sekedar menjawab sebuah panggilan dari tante Meta yang biasanya selalu membuat hati semangat setiap kali ia memanggil namaku. Namun kali ini berbeda. Tidak seperti biasanya.

"Reno?" panggil tante Meta sekali lagi, sedangkan aku masih saja terdiam, tidak percaya dengan apa yang telah terjadi saat ini.

Apakah aku sedang patah hati? Hah! Jangan di tanya lagi. Sudah pasti aku sedang patah hati.

Dan, apakah seperti ini rasanya patah hati itu? Tentu saja. Pasti seperti inilah rasanya patah hati.

Mungkin saja.

"Kenapa?" tanyaku akhirnya. Keluar juga sebuah pertanyaan dari bibirku. Walaupun dengan suara gemetar dan ragu yang menyeruak menjadi satu dalam dada.

"Kenapa Tan?!" Teriakku yang sudah tak tertahankan lagi. Amarahku sudah menggebu, dan siap untuk segera di luncurkan.

"Reno? Maafkan tante Ren, tante akan menikah dengan calon suami tante. Orang yang sangat tante cintai."

Bulsyit!

"Orang yang tante cintai?!" aku menyunggingkan sebelah bibirku ke atas. Sebuah pertanyaan lagi muncul dari bibirku. Tepatnya, aku sedang mengejek. Entah mengejek Tante Meta. Atau mungkin mengejek kebodohanku sendiri.

"Lalu aku? Tante anggap aku ini apa?!" Kutanya lagi sembari menatap lekat tante Meta, yang dihiasi dengan senyum getir saat menatapku.

Jangan so iba begitu. Aku takut tak bisa melupakanmu untuk waktu yang lama.

"Reno, tolong mengertilah," pintanya pelan. Sebelah tangannya hendak meraih tanganku. Namun, dengan segera aku tepis.

Tante Meta sedikit terkesiap. Biasanya, aku tak pernah bersikap seperti itu padanya. Namun, untuk saat ini, rasanya aku pantas untuk melakukan hal tersebut.

"Tente mohon, Reno. Kamu tahu kan berapa usia Tante? Dan berapa usiamu? Usia Tante sudah lebih dari cukup untuk membina sebuah rumah tangga," ujar tante Meta yang memperlihatkan jika ada nada penyesalan di dalamnya.

"Cih, usia? Sebegitu pentingkah persoalan usia itu?" kataku datar. Aku masih belum percaya, wanita berpendidikan seperti tante Meta, bisa sebegitunya mementingkan soal usia saat menjalin sebuah hubungan.

"Maafkan tante Reno!" kata Tante Meta yang berkaca-kaca, ia meraih tanganku dan menggenggamnya dengan cukup erat. Kali ini, aku tak menghindar. Kubiarkan saja wanita dewasa itu melakukan apa yang ia inginkan.

"Maaf? Terlambat tante, hatiku sudah hancur. Andai saja tante menolakku dulu, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini." Aku melepaskan tangan tante Meta yang masih menggenggam erat tanganku.

Berjalan melangkahkan kaki menjauh dari dua orang yang membuatku sesak napas dalam sekejap mata. Bahkan, hanya melihat mereka berdua saja, napasku seakan tak ada. Padahal, mereka berdua tak sedang melakukan apa apa. Tapi, begitu sakit aku lihatnya, setelah aku mengetahui semua kebenarannya.

"Reno, tante bisa menjelaskannya, Ren," teriak tante Meta. Namun tak ku pedulikan lagi teriakannya, walaupun sebenarnya aku ingin sekali menghentikan langkahku dan kembali menemui tante Meta.

Diri terlalu sakit, karena di khianati sebegitu mudahnya.

***

Satu Minggu berlalu, hari yang ditunggu oleh tante Meta dan Om Radit akhirnya datang juga. Walau berat hati, aku memutuskan untuk datang ke acara pernikahan mereka berdua.

Dan di sinilah aku sekarang. Di temani Rio sahabat sejatiku, aku melangkahkan kakiku menuju pelaminan yang di atasnya sudah berdiri sosok wanita yang masih aku cintai, dan sosok pria dari wanita yang aku cintai.

"Sial! Mereka serasi sekali!" gumamku saat menatap Tante meta dan om Radit yang nampak cocok bersanding di pelaminan.

"Lo yakin Ren, mau datang ke acara pernikahan tante Meta?" tanya Rio untuk kesekian kalinya. Nampaknya, Rio ini benar-benar mengkhawatirkan kesehatan jantungku. Ah, apa hatiku ya?

Mungkin saja keduanya.

"Yakinlah, masa enggak.  Lo pikir, gue secengeng itu apa!" jawabku dengan nada bicara seperti seorang yang tanpa beban. Namun kenyataannya, aku masih belum sepenuhnya menerima.

"Ya udah deh kalau Lo gak kenapa napa. Gue harap, Lo bisa sabar menghadapi ini semua ya? Masih banyak kok, tante tante yang mau jadi pacar Lo. Lo kan ganteng!"

Aku mendelik tajam ke arahnya. Yang di lirik malah cengengesan.

Gak bener punya temen. Temen lagi patah hati, malah di bercandain. Emang lain si Rio ini.

"Ayo!" ajak Rio.

Sebuah tepukan di punggung, seakan menguatkan aku, bahwa aku memang harus kuat saat naik ke atas pelaminan dan menemui sang pujaan hati yang saat ini tengah bersanding dengan laki laki lain yang aku akui memang cocok dengan sosok tante Meta.

Kaki ini ku sered paksa menuju ke pelaminan. Dan di atas sini, aku langsung disambut dengan begitu hangatnya oleh sang pengantin baru yang mengenakan kebaya putih sederhana. Namun, terlihat sangat elegan dan berkelas saat tante Meta yang mengenakannya.

Lagi lagi, aku memuji wanita dewasa ini.

"Ren, akhirnya kamu datang juga!" ucap tante Meta. Pengantin baru itu berhamburan memelukku dengan sangat erat. Ia nampak bahagia melihat kehadiranku yang mau datang juga ke acara pernikahannya.

Tampak dengan sangat jelas, ekspresi wajah suami tante Meta yang biasa saja. Tak menunjukkan kecemburuan apapun padaku. Membuatku merasa bersalah, karena tanpa aku sadari, ternyata aku sudah menjadi duri dalam hubungannya dengan tante Meta.

Kuserahkan hadiah berupa kotak kecil yang didalamnya terdapat sesuatu yang sebenarnya akan aku berikan saat aku lulus SMA nanti. Namun, itu semua hanyalah mimpi belaka yang sampai kapanpun tak akan menjadi nyata.

Tampak tante Meta berbinar saat aku menyerahkan hadiah tersebut, di sambut dengan senyum om Radit yang ikut mengusap punggungku pelan, seolah ia tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini.

ABG patah hati, men.

"Selamat ya Tan, Om? Semoga kalian bahagia dengan pernikahan ini. Aku harap, tak ada lagi yang kalian bohongi demi sebuah kebaikan. Karena tak ada kebaikan dari sebuah kebohongan," ujarku so bijak sekali.

Kedua mempelai itu bukannya tersinggung, malah menganggukkan kepala mereka dengan di sertai sebuah senyum.

Si*l. Bukannya marah, malah senyum lagi.

Bodo amat lah! Ku lanjut lagi beberapa patah kata yang belum selesai aku ucapkan. Semoga kali ini, mereka tak akan menanggapi ucapanku lagi dengan sebuah senyum. Melainkan dengan sebuah-- sebuah apa ya...

Ah, sudahlah!

"Do'akan Reno ya, Tan, biar dapet calon istri kaya tante Meta!" ucapku dengan nada serius. Namun, apa yang aku dapat? Mereka bukannya mengaminkan doaku, malah yang ada, qku ditertawakan oleh semua yang ada di panggung pelaminan. Termasuk oleh Rio, temanku sendiri.

Dan kisah patah hati pertamaku pun telah usai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!