“Sementara, kita tinggal di rumah Mama ya, soalnya Mama sama Papa cuma berdua, Sayang. Kamu nggak keberatan, kan?”
“Oke, nggak masalah kok. Tapi ... aku boleh kan, Mas, bolak-balik ke rumah Mama aku juga?”
“Kamu atur aja.”
Pengantin baru itu tengah duduk berdua di sofa balkon kamar hotel mewah tempat mereka menginap untuk bulan madu. Angin malam bertiup lembut, menyisakan kehangatan dan canggung yang khas di awal pernikahan.
Bastian tampak sibuk membuka pesan dari kolega bisnisnya. Ucapan selamat datang silih berganti. Hadiah-hadiah mewah memenuhi sudut ruangan.
Menjelang malam, keduanya mulai bersiap untuk beristirahat. Anjani mengenakan pakaian tidur yang anggun dan menggoda, sementara Bastian baru saja keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang segar.
Anjani sudah berada di atas ranjang, menanti dalam diam yang penuh harap dan gugup. Bastian menghampiri, menaiki ranjang dengan hati-hati. Mereka saling menatap dan tersenyum canggung.
Ciuman pertama malam itu terasa kikuk, seperti dua orang yang sama-sama belajar menyelami rasa dalam kedekatan yang baru.
“Ehm ... Mas,” bisik Anjani, pelan.
“Hmm?” sahut Bastian, sembari membelai pipinya dengan lembut.
Mereka melanjutkan malam itu dalam pelukan dan sentuhan yang penuh ketegangan dan rasa penasaran. Namun, di balik kelembutan yang dimulai, ada perasaan tak nyaman yang mulai merayap perlahan.
Ketika hubungan itu hendak terjadi, rasa sakit membuat Anjani menggenggam erat tangan Bastian. Ia meringis, tubuhnya menegang.
“Mas ... pelan-pelan ...” ucap Anjani, dengan suara hampir tak terdengar.
Bastian terdiam. Nafasnya terengah. Ia menatap Anjani yang tampak menahan sakit.
“Maaf ... aku terlalu buru-buru,” ucapnya menyesal. Ia menghentikan semua gerak dan memeluk Anjani erat.
Anjani tak berkata apa-apa. Hanya menutup mata, menahan rasa tak nyaman yang ia sendiri belum tahu bagaimana cara memprosesnya. Yang pasti, malam itu tidak berjalan seperti yang ia bayangkan.
Malam pertama yang seharusnya penuh kehangatan, justru menyisakan rasa hampa dan luka kecil dalam hatinya. Ia tidak menangis, hanya diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Bastian memeluknya. “Maaf ya, Sayang. Aku nggak ngerti ...” bisiknya.
Anjani mengangguk. “Aku juga nggak tahu harus gimana ...” balasnya.
Malam itu mereka tertidur dalam pelukan, namun tanpa tawa, tanpa senyum, dan tanpa kata. Hanya sunyi yang berbicara.
Malam yang seharusnya indah, kini justru meninggalkan luka. Anjani merasakan sakit luar biasa selama hampir 40 menit terakhir.
Bastian tertidur pulas di sisinya, sementara ia hendak bangkit untuk buang air kecil.
“Aduh ... sakit ...” lirihnya saat mencoba duduk dan berdiri.
Menangislah wanita berusia 21 tahun itu di tengah malam. Ia berusaha berjalan walau tertatih. Tibalah ia di kamar mandi mewah yang dipenuhi oleh dinding kaca tebal. Anjani menyentuh bagian tubuhnya yang masih amat perih.
“Sakit banget ...” lirihnya sambil menangis.
Ia menarik napas dalam dan mencoba buang air kecil. Tangisnya makin menjadi. Suara isak tangis itu cukup keras hingga membangunkan Bastian.
“Sayang ...?” ucap Bastian sambil melihat sekeliling.
Ia segera bangkit dan mendekati kamar mandi. Ia melihat Anjani yang terduduk sambil menangis di lantai marmer.
“Kenapa? Kok nangis?” tanya Bastian, sambil meraih tangan Anjani untuk membantunya bangkit.
“Sakit, Mas ...” ucap Anjani pelan.
“Apanya?”
“Punya aku ... sakit banget ...” lirih Anjani sambil menahan tangis.
“Ya udah, besok kita ke dokter, ya.”
“Jangan, Mas ... aku malu ...”
“Malu?”
“Udah, Mas ... biar dulu. Aku ... aku tahan kok, iya.”
“Ya udah. Ayo tidur lagi. Besok pagi kita bakal kedatangan tamu,” ucap Bastian. Ia lebih dulu kembali ke ranjang dan memejamkan mata.
Anjani baru saja berbaring. Ia mencoba memejamkan mata walau perih itu terus menghantui.
“Kalau ke dokter ... malu banget. Pasti ditanya sebabnya apa ...” pikir Anjani.
•••
Pagi hari, suasana berbeda di kamar hotel mewah mereka,
“Sayang, kita harus buru-buru. Ada tamu,” ujar Bastian.
“Jam berapa, Mas?”
“Jam sepuluh mereka datang. Habis sarapan, aku olahraga dulu.”
“Iya, Mas ...”
Anjani mengenakan piyama dan mencoba membersihkan tubuhnya, sementara Bastian tampak sibuk membuka laptop dan mengerjakan pekerjaan yang tertunda.
Dengan rambut yang setengah basah, Anjani menggunakan hair dryer sambil berdiri di depan cermin.
Tak lama, sarapan pagi mereka pun datang. Bastian lebih dulu menikmati sarapannya. Sementara Anjani baru saja selesai berpakaian.
“Mas? Udah duluan?” tanya Anjani sambil berjalan ke meja makan.
“Udah. Nunggu kamu lama, jadi aku duluan sarapan. Makan gih, kita harus ketemu tamu,” jawab Bastian tanpa menoleh.
“Ooh ... oke.” Anjani duduk di meja makan, membuka tutup piring dan mulai menyuapkan sarapan ke mulutnya, walau perih itu masih terasa.
Anjani menikmati sarapan paginya seorang diri, sementara Bastian sibuk berbincang di dalam panggilan telepon.
Baru saja hendak menghabiskan makanannya, tiba-tiba mereka berdua harus segera menemui tamu.
“Tapi, Mas ...” ucap Anjani, sedikit bingung.
“Buruan, atau nggak kamu nyusul aku, ya. Mereka klien penting, Sayang. Ini menyangkut uang besar. Aku duluan.” Bastian bergegas sambil menyambar jasnya.
“I—iya, Mas.” Anjani menjawab pelan sambil memandang punggung suaminya yang berlalu.
Bastian meninggalkan Anjani di dalam kamar. Tiba di lounge hotel, ia langsung bertemu rekan bisnisnya.
“Selamat ya, Bastian.” ucap salah satu tamu sambil menjabat tangan.
“Terima kasih, Pak, Bu. Ayo duduk, maaf lama menunggu.” jawab Bastian ramah.
“Ah tidak, baru saja. Mana istrinya?”
“Oh ... istri saya lagi sarapan. Biasa, wanita, lelet.” Ucapan Bastian dibarengi tawa ringan.
“Hahaha ... ya namanya juga wanita, butuh waktu lama untuk mengunyah, dan bermake-up.”
“Iya, Pak. Jadi, bagaimana bisnis kita?”
Pertemuan mereka berlanjut dengan diskusi serius. Bastian baru saja menerima kontrak kerja bernilai miliaran rupiah. Wajahnya tampak sumringah. Proyek dengan uang muka sebesar sepuluh miliar rupiah kini ada di tangannya.
Sementara itu, Anjani turun dari kamar hotel menuju lobi dengan langkah pelan dan hati-hati. Namun, ia tidak menemukan Bastian di sana.
“Kemana dia?” gumamnya.
Anjani pun menghubungi suaminya lewat ponsel.
“Mas ...?”
“Sayang, maaf. Aku pergi dulu, ada klien lagi ngajak ketemuan di Hotel Metro. Nanti aku pulang. Kamu di kamar aja, ya. Kalau mau belanja, belanja aja. Sopir udah aku siapin semuanya.”
“Jadi kamu masih lama ya, Mas?”
“Iya, kayaknya bakal lama. Tunggu aja, ya.”
“Oke. Hati-hati, Mas ...”
Anjani menghela napas, lalu kembali ke kamar hotel seorang diri. Langkah kakinya lemah. Ia memilih duduk bersandar di atas ranjang empuk dan mewah itu.
Ia mencoba mengisi waktu. Menonton televisi, menikmati camilan ringan, dan sesekali duduk di balkon sendirian. Hingga menjelang malam, barulah Bastian tiba kembali di kamar.
“Gimana, Mas?” tanya Anjani sambil memandangi wajah suaminya.
“Proyek ketiga, aku berhasil lagi, Sayang. Aku nggak sabar buat ngantor.”
“Syukur deh. Tapi kan kita masih liburan, Mas?”
“Liburan gampang, Sayang. Proyek ini lebih penting. Ini demi masa depan kita juga. Kamu tuh harusnya bahagia punya suami kayak aku, yang mikirin masa depan keluarga.”
“Iya, Mas. Aku bahagia kok. Kamu udah makan?”
“Udah. Tadi aku diajak makan sama mereka. Aku mandi dulu. Aku capek, Sayang. Kamu makan sendirian nggak masalah, kan?”
“Iya, Mas. Ya udah, kamu mandi. Aku siapin baju kamu.”
“Oke. Makasih, Sayang.”
Anjani menyiapkan pakaian tidur untuk Bastian. Ia pun menikmati makan malamnya sendiri, sementara sang suami tertidur pulas begitu keluar dari kamar mandi.
Tengah malam, Bastian mulai menyentuhnya. Walau tubuhnya masih terasa nyeri, Anjani berusaha melayani suaminya, menahan rasa tidak nyaman yang masih terasa akibat malam sebelumnya. Ia meringis, namun tak berani berkata banyak. Air matanya jatuh, menyertai setiap tekanan dan gerakan.
Sekitar satu jam berlalu. Setelah semuanya selesai, Anjani segera masuk ke kamar mandi. Ia membasuh tubuhnya perlahan, meski harus menahan perih yang masih menyiksa saat buang air kecil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments