PERPUSTAKAAN, KETEMU MAS DOKTER?

“Pulang ke mana, Anjani?”

“Ehm ... Gardena 3, Mas. Ikutin aja maps. Nih, udah saya buka maps-nya, Mas ikutin aja,” ucap Anjani sambil meletakkan ponselnya di dasbor, berusaha menunjukkan arah dengan sopan.

“Oke ...” jawab Bastian singkat, sembari mengangguk dan mulai menjalankan mobil.

Mereka berdua berbincang ringan sambil sesekali tertawa bersama, membuat suasana dalam mobil terasa hangat dan nyaman.

“Iya, jadi Mas ... Diska tuh, waktu lihat Mas di dalam kelas, dia bilang sama saya kalau dia susah napas,” tutur Anjani, menirukan gaya temannya dengan tawa kecil.

“Hahaha ... segitunya?” sahut Bastian sambil tertawa geli mendengarnya.

“Beneran. Saya tuh nahan ketawa aja dari tadi waktu Mas ngajar. Mau serius jadi nggak bisa gara-gara dia, Mas ...” ucap Anjani, menutup mulutnya agar tidak terlalu keras tertawa.

“Kayaknya dia suka ngelawak, ya?” tanya Bastian penasaran.

“Asli, Mas. Dia ngelawak terus, dari SMA sih,” jawab Anjani sembari mengangguk mantap.

“Jadi, kalian satu SMA?” tanya Bastian, menoleh sebentar ke arah Anjani.

“Iya, Mas. Ehm ... Mas sendiri sama yang tadi? Kok bisa kenal?” Anjani balik bertanya, penasaran dengan kedekatan Bastian dan teman-temannya.

“Oh ... Pandu?” sahut Bastian untuk memastikan.

“Iya, sama yang lainnya juga,” kata Anjani sambil mengangkat bahu.

“Jadi, kita semua satu sekolah dulunya. Terus saya dapet beasiswa, lah, kuliah di luar negeri. Pandu juga dapet sih, tapi dia nggak ambil. Katanya sih, mending kuliah di negeri sendiri aja. Lebih hemat waktu, tenaga,” jelas Bastian dengan nada tenang dan penuh kebanggaan pada sahabatnya.

“Hahaha ... jadi gitu, Mas,” balas Anjani sambil menahan tawa, merasa kagum sekaligus terhibur.

“Iya, kita semua tuh temenan akrab. Main basket dari SMP,” ucap Bastian dengan senyum kecil, mengingat masa-masa itu.

“Pantesan pada tinggi-tinggi ya, Mas,” timpal Anjani, setengah bercanda sambil memandangi jalan di depan.

“Dan Pandu, lebih tinggi dari kita. Nggak tahu tuh dia makan apaan, jadi tinggi gitu,” sahut Bastian, membuat mereka berdua kembali tertawa.

Tak lama kemudian, mobil mereka tiba di depan halaman rumah keluarga Anjani yang sederhana namun tertata rapi.

“Mas, mau masuk?” tanya Anjani dengan sopan sambil melepas sabuk pengamannya.

“Boleh?” jawab Bastian, terdengar ragu namun antusias.

“Boleh kok, Mas. Ayo,” ucap Anjani sambil tersenyum, lalu membuka pintu mobil.

“Oke,” jawab Bastian sambil ikut keluar dari mobil dan mengikuti langkah Anjani.

Bastian dan Anjani turun dari mobil. Mereka berdua memasuki pekarangan rumah dengan cat berwarna krem yang dipenuhi berbagai macam tanaman hias. Rumah itu tampak sederhana, tapi hangat dan bersih.

“Masuk yok, Mas. Saya buatin minum,” ucap Anjani sambil menunjuk pintu rumahnya.

“Oke,” sahut Bastian, melangkah mengikuti Anjani dengan senyum santai.

Duduklah Bastian di ruang tamu.

“Mas, di sana aja, di ruang TV. Ada Mama tuh, di dapur,” ucap Anjani sambil menunjuk arah ruangan.

“Oh ... boleh ke dapur?” tanya Bastian, sedikit ragu.

“Boleh dong, ayo, Mas,” sahut Anjani dengan senyum kecil.

Bastian pun berjalan mengikuti Anjani. Mereka menuju dapur dan berkenalan dengan orang tua Anjani. Perkenalan yang singkat, namun suasananya terasa menyenangkan.

“Mas, aku buatin minum, ya. Mau minum apa nih?” tanya Anjani sembari menuju meja dapur.

“Apa aja, asal kamu yang buatin,” jawab Bastian sambil duduk santai.

“Gombal, deh ...” ucap Anjani, sambil menahan tawa.

“Hahaha ...” tawa Bastian pun menyusul, membuat suasana makin cair.

•••

Sementara itu, di tempat berbeda, Pandu baru saja tiba di rumah.

“Tumben, cepat,” ucap ibunya ketika melihat Pandu pulang lebih awal dari biasanya.

“Cepat, Ma ... nggak banyak mata kuliah. Sisanya bisa dipelajari sendiri,” jawab Pandu sambil melepas sepatu.

“Kok murung? Kenapa?” tanya ibunya lagi, penasaran.

“Masa sih, Ma ...” ucap Pandu, tampak mengelak.

“Iya, tumben rada murung. Putus cinta?” tanya sang ibu, kini dengan nada menggoda.

“Hahaha ... pacar aja nggak ada, Ma ...” Pandu tertawa, mencoba menyembunyikan kegundahan.

“Cari dong. Percuma ganteng kalau jomblo juga. Masa kamu nggak minat sama cewek di kampus?” goda ibunya lagi.

“Minat sih, Ma ... ada. Tapi udah punya teman sih,” jawab Pandu sambil berjalan menuju kamarnya.

“Maksudnya?” tanya ibunya dari balik ruang tengah.

“Telat, Ma ... baru tahu kalau ada yang menarik di Fakultas lain, eh keduluan sama teman sendiri,” sahut Pandu, kini suaranya terdengar dari dalam kamar.

Tak lama kemudian, di ruang makan, Pandu kembali bergabung bersama ibunya. Ia duduk sambil memainkan sendok kecil yang tergeletak di atas meja.

“Ma, nanti Dewa ada praktik di rumah sakit bersalin. Doain nilainya bagus, ya,” ucap Pandu, sambil tersenyum.

“Aamiin. Konsentrasi dan fokus aja. Mama yakin, hasilnya bakal bagus, kok,” balas ibunya, memberi semangat.

Pandu mengangguk pelan.

“Makasih, Ma. Rencananya, nanti bakal koas juga di sana.”

“Hebat dong,” ucap sang ibu, bangga.

“Ya ... kalau nilainya bagus. Kalau jelek ya ... nggak, Ma,” ucap Pandu, dengan tawa kecil.

Ibunya memandang Pandu penuh sayang.

“Mama salut sama kamu. Bisa jalanin dua sekaligus: kuliah sama basket. Kamu nggak capek, Dewa?”

“Nggak sih, Ma. Awalnya iya. Tapi dua-duanya emang Dewa seneng. Jadi ya ... jalanin aja,” jawabnya sambil membuka kulkas.

“Mama doain, semoga jadi dokter kandungan yang sukses. Bangun karier, bangun negeri sendiri,” ucap sang ibu tulus.

“Makasih, Ma ...” balas Pandu, lirih.

Ibunya melirik ke arah dinding tempat tergantung foto suaminya.

“Padahal Papa maunya kamu jadi tentara kayak dia,” gumamnya, setengah bercanda.

“Nggak enak, Ma. Nanti banyak dinas luar. Kalau udah punya istri? Anak? Kasihan kan ditinggal terus. Kayak Mama, ditinggal Papa terus,” jawab Pandu sambil mengambil piring kotor.

Ibunya hanya tersenyum.

“Namanya juga abdi negara, Dewa. Sudah risiko,” ucapnya pelan.

“Tapi, jadi dokter kan juga abdi negara, Ma. Bangun negeri. Kayak kata Mama tadi,” sahut Pandu, sambil mencuci piring di wastafel.

Ibunya memperhatikannya dalam diam, dengan tatapan bangga yang tak bisa disembunyikan.

•••

Belajar setiap hari, Pandu menghabiskan waktu untuk mempelajari ilmu kedokteran dari berbagai sumber. Ia bekerja keras agar lebih cepat mendapatkan gelar kedokteran di usia muda. Ia benar-benar mengenyampingkan kehidupan pribadinya demi mengejar cita-cita.

Namun, pertemuan dengan Anjani membuat Pandu sadar bahwa ia tak bisa hidup sendiri tanpa kekasih. Terlebih, melihat ketiga temannya yang bisa menjalankan tugas kuliah sambil berpacaran, membuat Pandu pun ingin memiliki kekasih. Sayangnya, gadis yang ia tuju nyata kini tengah bersama Bastian.

Menjelang malam, duduklah Pandu bersama ayahnya di teras.

“Jadi, kapan nih dapet gelar SpOG?” tanya sang ayah sambil menyulut rokok.

“Doain aja secepatnya, Pa. Masih enam tahun lagi kayaknya, biar jadi dokter spesialis kandungan,” jawab Pandu.

“Tapi kamu hebat, Dewa. Bisa selesai kuliah kedokteran lima tahun. Itu sih keren.”

“Makasih, Pa.”

“Pacar belum ada nih?”

“Hahaha ... belum, Pa. Biar aja, entar dateng sendiri,” ucap Pandu santai.

“Richard jadi dokter umum ya nanti?”

“Iya, Pa. Dia nggak ambil spesialis. Biar cepet aja katanya, sama nggak mau pusing mikir belajar lagi.”

“Hahaha ... berarti dia bentar lagi dapet gelar juga?”

“Ya dapet, Pa. Sama kayak Dewa. Jadinya sekarang dia Sarjana Kedokteran.”

•••

Menjelang pagi, Anjani dan Bastian pergi bersama menuju kampus. Sama halnya Pandu, yang saat itu berkendara dengan motornya menuju kampus.

Tiba di sana, ketiganya sibuk dengan tugas masing-masing. Pandu dengan tugas praktik, Bastian mengajar, dan Anjani serius dalam belajar.

Jam belajar berakhir. Pandu dan ketiga temannya menuju perpustakaan untuk mencari sumber referensi.

“Mas, aku ke perpustakaan ya,” ucap Anjani.

“Oke, nanti aku tunggu kamu di tempat biasa. Kita pulang bareng lagi,” jawab Bastian.

“Ehm ... oke.”

“Bye, Jani.”

“Bye, Mas ...” balas Anjani sambil tersenyum kecil dan berjalan ke arah perpustakaan.

Sementara Bastian kembali ke ruang kelas untuk mengajar, Diska memanggil Anjani dari salah satu sudut perpustakaan.

“Jani ... sini,” panggil Diska.

Ia sedang duduk dan memegang buku tanpa benar-benar membacanya.

“Baru sampai, ada gosip?” tanya Anjani.

“Ada. Elu digosipin.”

“Masa gue?”

“Banyak yang lihat kemarin lu duduk di antara cowok-cowok ganteng di kantin, setan ...”

“Astaga, itu doang?”

“Iya. Terus lu lagi kenalan sama Mas Ganteng yang lagi ngejar gelar SpOG itu. Tuh ... orangnya ada di sini ...” bisik Diska, sambil menunjuk Pandu dan ketiga temannya.

“Eh, ketemu mereka lagi. Bentar, Diska. Jadi dia udah lulus kuliah kedokteran?”

“Iya, dodol. Dia kakak tingkat, tapi keren. Masih muda, bakal jadi dokter kandungan. Yang lainnya pada jadi dokter umum. Mereka tuh menjelang tahap akhir doang.”

Anjani tersenyum mendengar penuturan dan penjelasan mengenai siapa Pandu dan ketiga temannya. Tak ia sadari, Pandu tengah memerhatikan dirinya yang sedang tersenyum melihat ke arahnya.

“Jani ... Jani ...” bisik Diska, yang melihat Pandu berjalan mendekati mereka.

“Apa sih ... ganggu aja ...” sahut Anjani.

Keduanya terdengar cukup berisik. Pandu tersenyum lalu mendekat dan menegur dengan sopan.

“Maaf, Mbak, suaranya,” bisik Pandu sambil tersenyum pada Anjani.

“Eh! Maaf, Mas ... maaf ... ganggu ya?” tanya Anjani cepat-cepat.

“Iya, Mas, maaf ya Mas ... kita ngerumpi di tempat sakral gini ... hehehe ... pindah yuk, Jani ...” ucap Diska, sambil meraih beberapa buku dan tasnya.

“Iya, pindah. Mas, kita pindahan, Mas ... permisi,” ucap Anjani pada Pandu.

“Ya jangan. Di sini aja. Tapi ... suaranya kecilin. Pindah juga kalau suaranya masih gede. Kan kedengeran lagi. Iya kan?” ucap Pandu dengan nada santai.

“Kalau gitu, saya nggak jadi pindah, Mas,” ucap Anjani, sambil duduk dan tersenyum pada Pandu.

“Sama, Mas. Betah di sini. Liatin Mas-Mas berempat. Ya kan, Jani ...?”

“Iya, Mas ... eh ...” ucap Anjani, sambil buru-buru menutup mulutnya.

Pandu menahan tawa. Ia berjalan mundur sambil tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Anjani.

Anjani membalas lambaian itu dengan pipi yang mulai memerah.

Terpopuler

Comments

MissN

MissN

Done🥳🥳

2023-06-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!