Pagi menjelang, cahaya matahari hampir menampakkan cahayanya dengan malu malu, Atala mulai membuka matanya. Laki laki itu memang terbiasa bangun pagi, tanpa alaram saja ia bisa bangun cepat. Memang beginilah kegiatannya, meski di rumah ia akan bangun pagi membantu istrinya untuk menyiapkan sarapan, atau bahkan hanya membantu istrinya memandikan Putra.
Atala memandang sejenak ke arah samping kanannya, ia melihat Putra tampak masih tertidur dengan pulasnya. Atala mengusap sebentar wajah anaknya, matanya yang memerah karena baru saja terbangun kini hendak meluncurkan air matanya. Laki laki itu masih bingung dengan nasib anaknya kelak, ia harus berdiskusi dengan istrinya, Yanti.
Ya! Harus, sebelum dirinya kembali melakukan perjalanan ke luar kota atau bahkan ke luar negri, jika saja ia bisa menunda perjalanannya untuk menyelesaikan masalah rumah tangganya maka akan ia lakukan. Laki laki itu masih menyayangi seluruh perjalanan rumah tangganya yang terbilang lama.
Ya, sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, itu cukup lama. Meski memang tak selama kedua orang tua angkatnya, yang hingga saat ini masih menjadi panutan untuk dirinya.
Atala menyingkirkan selimut di atas tubuhnya, kemudian berjalan ke arah dapur, ia ingin mencuci wajahnya. Letak kamar mandi di rumah tersebut hanya ada di dapur, sementara kamarnya berada di depan, jadi ia harus melewati kamar Anisa yang di tempati kedua gadis tersebut, yang Atala yakini saat ini masih bergumuh di dalam selimut tebal nan hangat.
Benar saja saat Atala melewati kamar tersebut, ia segera mengintip ke dalam kamar yang memang tak terkunci. Kedua gadis itu masih tampak tertidur dengan gaya yang tak bisa di katakan anggun. Atala terkekeh melihat gaya tidur keduanya, untuk Anisa ia telah terbiasa dengan gaya tidur adiknya itu sejak kecil, bahkan hampir tak berubah semenjak ia kecil. Namun untuk Linda ini adalah hal yang pertama kalinya ia melihat gadis itu tertidur, memang tak jauh beda dari Anisa. Meskipun wajah cantik keduanya tetap tak luntur di mata Atala meski tengah tertidur. Ya, mereka cantik alami.
Pantas saja mereka bisa kompak! Gumam Atala terkekeh, seolah sejenak ia telah melupakan masalahnya sejenak. Atala tersadar maksud dan tujuan ia ke arah dapur, yaitu ingin ke kamar mandi, Atala pun segera melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi, kemudian mencuci wajahnya. Atala menghela nafasnya beberapa kali, ingatannya kembali kepada masalah rumah tangganya, yang kini entah ingin ia bawa kemana.
“Astagfirullah, apa yang ku pikirkan,” ujar Atala menggeleng, laki laki itu segera keluar dari ruang sempit yang hanya berukuran 2,5M X 2M, kamar mandi itu sangat kecil jika di banding kamar apartemennya, ruang untuk buang air dan mandi di jadikan satu. Sehingga jika ada yang ingin mandi, dan yang satunya ingin buang air kecil ataupun besar, maka mereka harus bergantian.
Atala segera melihat ke dalam tudung nasi mereka, tampak tak ada lauk. Atala kemudian berjalan menuju ke arah lemari pendingin atau lebih familiar di sebut kulkas, di dalamnya hanya ada beberapa roti, selai strawberry dan coklat, satu ikat sayur bayam, dan empat telur. Atala menggeleng, tiba tiba ia merasa lalai menjaga kedua gadis tersebut, makanan tersebut tak cukup bergizi untuk keduanya yang sangat amat sibuk, dan harus berpikir banyak.
Atala segera mengambil penggorengan, kecap, saus, bawang dan bumbu nasi goreng yang tampak tergantung rapi di tempat bumbu masak, lalu memulai acara memasaknya dengan memotong bawang untuk nasi goreng buatannya. Baru saja ia ingin menghidupkan kompor gas tiga kilo gram dengan dua tungku, bertuliskan “program pemerintah untuk masyarakat miskin” yang artinya itu adalah hasil subsidi yang diperuntukkan untuk masyarakat miskin, namun tampaknya bahkan orang kaya yang menggunakan emas berkilo kilo sebagai aksesorisnya banyak yang menginginkannya, bahkan masyarakat yang di tuju saja terkadang tidak mampu membeli karena bahan menjadi langkah dan berakhir mahal.
Catatan ini adalah curhatan othor, jangan tersinggung ya para bos ku, ihi.
Samar samar Atala mendengar telfonnya berdering dari arah kamar depan, laki laki itu itu segera berlari ke arah kamarnya, ia segera melihat siapa si penelfon. Laki laki itu mendesah kesal, sebenarnya yang ia harapkan menelfonnya saat ini adalah Yanti, istrinya. Ia berharap wanita itu meminta maaf, dan mencoba memperbaiki hubungan mereka yang telah ternodai oleh perselingkuhan wanita itu. Namun ternyata yang menelfonnya adalah bosnya, El Barack.
Laki laki yang sebenarnya merupakan selingkuhan istrinya, seandainya Atala mengetahuinya entah bagaimana ekspresi laki laki itu, pasti ia bingung harus berbuat apa.
Baginya di kirim mewakili perusahaan itu sudah hal biasa namun ia kembali bingung harus berbuat apa, ia ingin menyelesaikan segalanya. Namun ia tetap harus profesional. Atala mendengarkan setiap arahan dari El Barack sembari berjalan ke arah dapur, ia tak ingin mengganggu tidur nyenyak putranya. Laki laki itu hendak menghabiskan waktunya dengan Putra hari ini, sebelum ia kembali bertugas di kantornya.
Laki laki itu segera mengecek e-Bank ing nya, ketika berada di dapur. Tabungannya cukup untuk membangun perusahaan kecil kecilan, minimal ia telah mendapat banyak ilmu dan jaringan. Ia berencana tahun depan akan membangun perusahaan, setidaknya anaknya akan memiliki hari yang cerah. Sementara istrinya? Atala tidak begitu memikirkannya, entah kenapa semenjak perselingkuhan istri terkuak, dirinya terlalu menelan kecewa yang amat sangat dalam, kekecewaan itu tubuh begitu saja, dan membuat dirinya seolah kehilangan rasa kepada wanita yang menemaninya selama sepuluh tahun. Atau mungkin saja laki laki itu saat ini masih tak mampu memikirkan apa yang harus ia lakukan kepada istrinya saat ini, karena bahkan istrinya tak sedikit pun menelfon atau bahkan mengirimi dirinya pesan perminta maafan, hanya itu yang sebenarnya Atala harapkan.
Atala menghela nafas panjangnya, laki laki itu takut emosinya berpengaruh kepada pekerjaannya, ia tak ingin bermasalah di dalam pekerjaannya, dan akan berpengaruh kepada finansial dirinya, jika hal itu terjadi maka lambat laun akan berpengaruh pula terhadap anak dan adiknya. Itu yang Atala tidak mau.
Lagi lagi Atala melakukan semua itu demi anaknya, jika pun suatu saat nanti ia memang di takdirkan berpisah maka tidak akan apa apa baginya, setidaknya anaknya tidak boleh kekurangan kasih sayang saat ini. Atala akan sangat bahagia dengan cukup melihat keluarganya bahagia, biarlah masalah ini ia telan sendiri.
Atala belajar dari bagaimana dulu ayahnya melakukan segala hal untuknya, bahkan rela makan nasi di campur jagung, ataupun ubi kayu untuk menyekolahkan bahkan berusaha mengirim Atala ke tempat les terbaik agar cita cita anak itu tercapai, ingin berkuliah di luar negri. Makan telur saja saat itu sudah istimewa untuk mereka, bahkan telur harus di bagi menjadi dua. Makan daging hanya sekali dalam setahun, ketika lebaran Idul Adha. Ataupun ketika ada hajatan tetangga, dan ibu membantu memasak di sana. Bahkan rumah ini hanya gubuk kecil dahulunya, terkadang ketika hujan turun beberapa tempat juga ikut terkena rembesan air.
Namun ayah bahkan tak pernah mengeluh, ia tersenyum dan terus berusaha menyimpan uang demi membeli seragam sekolah baru untuk kedua anak mereka. Berusaha menahan panas ketika terik panas matahari menerjang. Dulu mereka memiliki sepetak sawah, namun karena terlilit hutang untuk memenuhi kebutuhan mereka terpaksa sawah itu harus di relakan. Ketika Atala mengucapkan ingin berhenti sekolah ayah menggeleng dan selalu mengatakan.
“Cukup ayah saja yang tak bersekolah, anak anak ayah harus jadi orang sukses, syukur syukur ayah dapat menikmatinya kelak,” ujar ayah.
Pada masa itu memang masa yang sulit untuk mereka, namun setelah di ingat ingat masa itu yang amat sangat di rindukan oleh Atala. Tak terasa air matanya menetes mengingat seluruh kenangan manis tersebut bersama ayah maupun ibu. Seandainya mereka disini, pasti mereka akan menguatkan dirinya.
Atala memandang ke sekitar rumah itu, setidaknya ayah dan ibu sempat merasakan jarih payah dirinya. Bahkan rumah tersebut di renofasi beberapa tahun sebelum ayahnya meninggal kemudian di susul dengan ibu. Saat dirinya mulai bekerja, ayah dan ibunya sudah ia larang untuk bekerja. Sementara Anisa saat itu ingin bekerja paruh waktu, karena ia mengatakan ingin mandiri seperti Atala.
Lama Atala berfikir hingga sebuah tangan mematikan api yang di atasinya terdapat minyak panas yang telah mendidih. Atala terkejut melihat Linda tersenyum ke arahnya.
Lamunan Atala terbuyarkan, kini rasa resah menghantui dirinya, ia harus ke luar negri bagaimana jika sang istri tidak memperdulikan putranya? Padahal Anisa dan Linda cukup sibuk dengan kuliah dan bekerja, bagaimana mungkin harus merepotkan keduanya. Meskipun Atala tahu bahwa kedua gadis itu akan merasa senang, dan sama sekali merasa tidak di repotkan.
"Kakak sedang memikirkan apa sih? Itu hampir gosong," Linda tersenyum manis ke arah Atala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments