5. Calon istri

...SELAMAT MEMBACA...

Sinar matahari seakan membakar kepala. Gadis itu berjalan bersama mahasiswa lain, yang juga hendak pulang. Rambut pendek Dinara bergoyang, angin pun menerpa. Kemunculan seorang lelaki di depannya membuat kaget, bahkan hampir menjatuhkan buku di tangan. Dinara mengulas senyum tipis saat Abram melambaikan tangan padanya. "Mau pulang?" tanya Abram.

Dinara mengangguk sebagai jawaban. "Kak Abram juga mau pulang?"

"Iya," jawab Abram. Lalu, keduanya saling diam, Dinara menundukkan kepala, sesekali melirik wajah menenangkan Abram.

Lelaki itu meraih tangan Dinara, menggenggamnya hingga membuat Dinara membulatkan mata. "Kamu mau gak, memulai semuanya dari awal?" ujar Abram.

Dinara hampir tidak berkedip, jantungnya berdetak kencang. Netra lelaki di depannya berbinar, menatap lamat dirinya. Tidak bisa berucap, Dinara melepaskan tangan Abram. Terlihat jelas dari wajah Abram, dia kecewa walau Dinara belum menjawab.

Rambut pendeknya diselipkan ke belakang telinga, bibirnya mengatup karena canggung. Ada rasa ingin kembali, tetapi juga takut bila perpisahan tetap terjadi. Dinara mendongak, menatap Abram, kemudian berujar, "Maaf, Kak, aku nggak bisa."

Merasa begitu berdosa, sesakit itu hati seorang Dinara saat dirinya meninggalkan? Abram membeku, hanya mengulas senyum simpul. Wajah gadis baik yang begitu cantik, sebenarnya selalu memenuhi pikirannya. Namun, suatu kebenaran tidak pernah terungkap membuatnya nihil untuk mendapatkan Dinara kembali.

"Permisi, Kak," ucap Dinara, berjalan pergi melewati Abram yang masih mematung.

Perasaan aneh. Hati Dinara sesak, menepis cairan yang menetes dari pelupuk mata. Bagaimana dia menolak, sedangkan orang itu diharapkannya sedari dahulu? Dinara mengingat Raka kala itu, bahwa dirinya akan menikah dalam waktu dekat.

Tanpa dua insan itu sadari, ada pihak lain yang menyaksikan dari kejauhan. Dia mengulas senyum tipis, meski merasakan sedikit kepedihan sahabatnya. Raka, ia melenggang meninggalkan tempat yang tadi digunakan untuk menguntit calon istri.

Raka masih mengamati Dinara dari kejauhan, mengikuti gadis itu ke parkiran. Dia menyipitkan mata karena melihat sepertinya Dinara tengah dalam masalah.

Benar saja, saat membawa sepeda keluar dari parkiran, Dinara merasakan bannya kempes. Berjongkok untuk mengecek ban sepeda, benda tersebut tidak berisi angin sedikit pun. "Bocor." Dia menghela napas berat. "Gimana ini?" gerutunya.

Dinara mengedarkan pandangannya, berharap ada penolong yang datang. Sepi, lagi-lagi dia menghela napas panjang. "Kasian banget." Seruan seseorang dari belakangnya, membuat Dinara menoleh cepat.

"Kenapa?" tanya lelaki itu, melipat kedua tangannya di depan dada. Raka mengangkat kepalanya, memperlihatkan rahang tegas yang terukir sempurna itu. "Sepeda jelek masih dipakai."

"Kak, kalau nggak mau nolongin, mending diem!" peringat Dinara. Dia memutar malas bola matanya, kemudian menuntun sepeda untuk pergi dari sana.

"Mau ke mana lo?" tanya Raka dengan sedikit berteriak. Dia tidak mendapat jawaban dari Dinara, gadis itu berpura-pura tuli. Raka mengulas senyum tipis, ada kepuasan saat menganggu Dinara.

Di bawah teriknya matahari, dia harus berjalan kaki sambil menuntun sepeda. Dinara tidak tahu alasan bannya mendadak kosong angin, padahal tadi pagi sudah dipompa olehnya. Aneh. Menggerutu sepanjang jalan karena Raka. Hal tersebut berkepanjangan, lelaki menyebalkan itu muncul dari belakang dengan motor.

"Cewek, sendirian aja," seloroh Raka. Dia mengendarai motor tepat di samping Dinara. Namun, gadis itu berusaha tidak peduli. "Cuek banget, Neng."

Dinara berpikir dengan tidak memberi sahutan, lelaki itu akan pergi. Namun, rupanya ini hari kesialan Dinara, Raka tetap mengikuti. "Kamu maunya apa, Kak?" Dinara menghentikan langkahnya hingga Raka terkejut dan ikut berhenti.

"Gue mau nemenin lo," jawab Raka.

"Nggak perlu. Kamu bikin aku tambah capek!" Setiap kata yang keluar dari bibir Dinara penuh penekanan. Dia seperti orang marah.

"Tinggalin sepeda lo di sini! Ayo, gue anter pulang," ujar Raka.

Dinara menatap nyalang ke arah Raka, seakan siap untuk menerjangnya. Dia menghela napas panjang, kemudian mulai melangkahkan kaki lagi. "Aku bisa sendiri," ucap Dinara.

"Lo calon istri gue! Gue punya tanggung jawab!" teriak Raka, membuat kaki Dinara membeku.

Terkejut bukan main, Dinara mencoba menyadarkan dirinya. Calon istri? Jadi, dia sudah menganggapnya seperti itu. Membuang pikirannya jauh-jauh, Dinara kembali melangkahkan kaki.

Pemaksaan. Raka menyeret sepeda Dinara ke bengkel di tepi jalan, sedangkan motornya ditinggal di tempat tadi, begitu juga Dinara yang diperintahkan untuk menjaga motornya. Lalu, dia kembali mendatangi Dinara, yang masih menunggunya di dekat motor. "Lama, ya?" ucap Raka.

Dinara menghentakkan kaki ke tanah, menatap tajam Raka. Sepeda kesayangannya dibawa paksa oleh lelaki itu, rasanya begitu menyedihkan. "Gak waras ya, Kak?" hardik Dinara.

"Cerewet! Dibantuin malah nyolot lo!" balas Raka tidak kalah ketus.

"Sepedaku nggak apa-apa, cuma butuh dipompa."

"Kata orang bengkelnya, bannya ada paku." Dinara membulatkan lebar matanya. "Harus ditinggal kalau gak mau nunggu lama," jelas Raka.

Raka naik ke atas motornya, kemudian memerintahkan Dinara untuk ikut. Terpaksa menerima, Dinara menurut dengan calon suaminya itu.

Jarak yang dekat, paha Dinara hampir menempel dengan pinggang Raka karena motor. Seperti, melawan ketidakmauan. Jika saja dia berani, ingin sekali dia memukul lelaki itu dari belakang. Ada benci yang meluap, disebabkan sikapnya yang membuat kesal. Namun, Dinara mengakui, Raka tipe cowok perhatian dan bertanggung jawab.

Dinara hampir ditenggelamkan oleh lamunannya karena memandang Raka dari belakang, tetapi lelaki itu terlihat tampan. Terpesona, tentu saja karena Dinara termasuk gadis penikmat laki-laki berkharisma.

.....

Menjadi titik perkumpulan anak-anak muda, Cafe Swan didatangi banyak pembeli karena juga berada di tempat strategis. Wilayahnya luas membuat mereka suka berlama-lama. Lightning General's Punch (Pukulan Jenderal Petir) sedang bermain di sana.

Raka---ketua geng LGP tidak pernah meninggalkan perkumpulan. Roi--wakil ketua menjadi yang paling pendiam bila berada di sana. Bukan hanya mereka, ada Abram, Kray, Boi, dan anggota lainnya.

Tidak ada pembicaraan khusus, sekadar bermain menikmati malam yang cerah karena besok adalah hari Minggu. Gadis cantik berambut panjang itu tertawa sedari tadi. Alya---mahasiswi dari jurusan perawat. Dia sering ikut berkumpul seperti ini, meski bukan anggota.

Alya tertawa berbahak-bahak lantaran Kray menggodanya. Semua orang tahu bahwa gadis itu menyukai ketua geng LGP. Namun, Raka tidak sedikit pun peduli. Perempuan seperti Alya, bisa didapatkan semudah membalikkan tangan.  Wajahnya cantik, tubuhnya tinggi, dan statusnya berada, wajar bila dikejar pria sana-sini.

"Ka, sama Alya aja, gimana?" celetuk Kray, menaikkan sebelah alisnya.

Raka mengerutkan dahi, tidak paham dengan ucapan lelaki itu.

"Mama lo masih nyuruh lo buat cari pacar, kan? Pacari Alya aja!"

Raka melirik ke arah Alya yang menyisir rambutnya ke belakang, seakan tengah menggoda Raka. Bukannya terpesona, Raka justru memutar malas bola matanya. "Sorry, gue udah ada," ucapnya.

Saat itu juga, Alya melebarkan kedua matanya, bibirnya bahkan terbuka. Dia menatap Raka tidak percaya, bahkan anggota LGP lain yang mendengar.

"Udah balik duluan, kalian have fun, ya!" ujar Raka seraya berdiri dari duduknya. Lalu, dia mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja.

"Mau ke mana lo, Ka?" teriak Abram saat Raka sudah pergi lumayan jauh, sesaat dia ikut mematung mendengar ucapan sahabatnya.

"Pulang," jawab Raka, kemudian dia melambaikan tangan.

...JANGAN LUPA JEMPOLNYA!...

...MASUKIN FAVORIT JUGA YAA😍...

...KOMEN DONG, GIMANA DI EPISODE INI?...

...👋🐰...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!