2. Dugaan buruk

KAWAL SAMPAI CINTA!!

...SELAMAT MEMBACA!...

Dinara meregangkan ototnya yang kaku karena duduk selama satu jam. Dia beranjak dari meja makan, baru saja menyelesaikan pekerjaannya membungkus kue. Dinara melangkahkan kaki ke luar rumah, berdiri di teras untuk menghirup udara segar.

"Setelah ini kamu hantarkan kuenya ke rumah Sarita ya, Din!" ujar Rania, berjalan keluar dari dalam, kemudian duduk di kursi yang terdapat di sudut teras.

"Bentaran ya, Nda. Punggung aku masih kaku, nih," keluh Dinara. "Mau santai dulu." Lalu, gadis itu duduk dengan meluruskan kakinya di lantai teras.

"Pokoknya jangan sampai diantar waktu malam, soalnya calon suami kamu mau ke sini."

Dinara melirik sekilas ke arah sang bunda yang mengulas senyum tipis. Baru ingat, malam ini dirinya akan bertemu dengan seseorang, dia menghela napas berat dan menundukkan dalam kepalanya.

Dinara menengadah ke langit, memori kejadian tadi siang membuat suasana hatinya memburuk. Pertemuan tak diduga oleh Dinara, benar-benar terlihat seperti sebuah mimpi.

Saat itu, Dinara berjalan menuju kantin, tetapi secara mengejutkan sebuah kaleng terlempar ke arahnya, dan mengenai dahi gadis itu. Dinara lantas mencari pelakunya, rupanya seorang laki-laki.

Laki-laki tinggi mengenakan topi, jaket jeans dengan tulisan Ligen, singkatan dari Lightning General's Punch(Pukulan Jenderal Petir) berlari ke arah Dinara. "Maaf, gue gak sengaja," ujarnya. Namun, saat lelaki itu mengangkat kepalanya, maniknya dengan manik Dinara saling bertemu hingga keduanya membulatkan mata.

"Kak Abram?" Suara lirih yang keluar dari bibir Dinara, membuat lelaki itu gelagapan. "Ini beneran Kakak?" tanya Dinara.

"Lo Dinara?" Gadis itu mengangguk cepat dan kuat, senyuman tulus mengembang di wajahnya. "Sorry, waktu itu gue---"

"ABRAM SETAN, BURUAN! Bos udah nungguin," teriak seorang lelaki dari belakang Abram, dia menoleh dan mengacungkan jempol.

"Bentar, Kray!" sahut Abram. Dia kembali menatap Dinara dengan dalam, seperti terdapat rasa bersalah di sana. "Kapan-kapan kita ngobrol, ya."

"I-iya, Kak," jawab Dinara.

"Gue pergi dulu," ujar Abram, kemudian melenggang pergi meninggalkan Dinara yang masih mematung.

"Astaga, gue beneran ketemu Kak Abram lagi," pekik Dinara.

Dinara berpikir tidak akan pernah bisa bertemu dengan laki-laki itu, sebab sudah selama satu tahun dia menanti. Kekasih yang pergi tanpa kabar, sangat membuat Dinara menderita kala itu. Begitu lama, tetapi Abram tak kunjung datang.

Benci, kecewa, sedih. Namun, dia---Dinara tidak bisa menghapus nama Abram dari dalam hatinya. Sungguh, begitu sulit untuk lupa karena Abram adalah orang pertama yang membuat Dinara merasakan cinta.

"Udah ngelamunnya, Din!" Seruan sang bunda membuat Dinara tersentak kaget. Wanita itu lantas masuk dan disusul oleh helaan napas berat Dinara.

Mengantarkan pesanan kue pelanggan Rania menjadi pekerjaan Dinara, mendapatkan uang jajan tambahan dari hal tersebut. Sore ini, gadis itu pergi ke sebuah rumah pelanggan yang memesan 100 bungkus roti.

Dinara sampai di depan rumah yang sederhana, kemudian membawa kardus berukuran sedang mendekat ke rumah itu. Dia memencet bel di samping jendela. Lalu, tidak lama daun pintu terbuka dan memperlihatkan wanita seumuran Rania. "Anak cantik, rotinya Tante?" ujarnya.

"Iya, Tante. Ini," balas Dinara seraya menyodorkan kardus berisi roti itu kepada wanita di depannya.

"Tante ambilkan uangnya dulu, ya?" Dinara menganggukkan kepala, kemudian wanita itu masuk ke rumah.

Dinara menunggu sembari berdiri, melihat sekeliling rumah Tante Ambar ditumbuhi rumput hijau segar yang dirawat. Gadis itu menoleh saat sebuah tangan mendarat di pundaknya. Saat netra mereka bertemu, keduanya membulatkan mata. "Kak Abram?"

Abram mengangguk singkat, menarik kedua sudut bibirnya dan menundukkan kepala untuk menyembunyikan senyumannya itu. "Ketemu lagi," gumam Abram.

"Ah, aku mau pergi kok, Kak." Dinara sedikit sedih mendengar kalimat itu keluar dari bibir Abram, seolah lelaki tersebut tidak suka bila melihatnya.

"Bukan gitu, takutnya kamu gak suka lihat Kakak," ungkap Abram.

"Suka, kok," celetuk Dinara tanpa sadar, sontak dia menutup wajahnya saat menyadari ucapannya. "Ini rumahnya Kakak?"

"Tante Ambar itu adik Mama aku." Dinara mengangguk paham. "Ini, uang dari Tante Ambar," ujar Abram seraya menyodorkan dua lembar uang kepada Dinara.

"Makasih." Dinara tidak berhenti tersenyum. Ketika keduanya saling menatap, saat itu juga mereka melemparkan senyum.

Waktu terus berjalan, langit sore sudah petang, tetapi gadis itu baru sampai di rumah. Senyuman lebar terukir pada wajah Dinara, dia menghentikan langkah saat menyadari mobil asing terparkir di depan rumahnya. "Mobil siapa ini?" gumam Dinara.

"Gue lupa! Mampus," gerutu Dinara, kemudian bergegas masuk ke dalam rumah. Namun, sang bunda mengejutkannya dengan tiba-tiba muncul dari balik pintu. Dinara lantas menelan ludah.

"Dari mana?" tanya Rania sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Wanita itu menatap sang putri dengan tajam. "Kenapa baru pulang?"

"Anu, Nda ... aku abis dari---"

"Cepat masuk, terus mandi!" pinta Rania penuh penekanan. "Calon kamu sama Mamanya udah di dalam, mereka nunggu kamu lama."

Dinara hanya menundukkan kepala, takut untuk melihat wajah marah sang bunda. "Cepat! Lewat belakang!" Gadis itu bergegas memutar tubuhnya dan berjalan cepat untuk ke dalam melalui pintu belakang.

"Pasti Bunda marah banget. Gara-gara Kak Abram, nih." Dinara segera memasuki kamar mandi dan segera membersihkan tubuh. Dia melakukannya dengan cepat, kemudian menggerutu pergi ke kamarnya. "Dinara, ceroboh banget, sih," runtuk Dinara pada dirinya sendiri.

Perbincangannya dengan Abram, membuat Dinara lupa akan janjinya dengan sang bunda. Lelaki itu mengajak untuk pergi ke taman terdekat, menghabiskan waktu sekaligus melepas rindu. Dinara sampai lupa, Abram pernah menyakitinya. Namun, gadis tersebut sudah terlanjur cinta.

"Nda," panggil Dinara kepada sang bunda yang menunggu di dapur. "Maafin!"

"Kita bahas itu nanti," balas Rania dengan ketus.

"Nda, tapi---"

"Udah, cepat!" Rania menarik tangan sang putri, membawanya untuk menemui tamu yang telah lama menunggu di ruang tengah.

Terdapat satu laki-laki yang tengah menyeduh kopi, dua wanita sedang mencicipi kue hidangan dari Rania. Ketika mendapati Dinara dengan sang bunda, tiga insan itu mengangkat kepala. Dinara tersenyum hambar ke arah mereka.

"Ini putri Rania, Nek," ujar Rania memperkenalkan Dinara, sang putri kesayangannya.

Dinara menundukkan kepala, kemudian menyalami tangan dua wanita itu. "Cantik," ujar seseorang yang dipanggil nenek. "Kamu nikah sama cucu Nek Hani, baik tapi sedikit nakal saja." Dia merangkul pundak cucunya.

"Namanya Rakana Arona," ujar Nek Hani.

Dinara memutuskan untuk melihat wajah laki-laki yang duduk di pojok sofa. Lalu, mereka berdua saling melemparkan tatapan tajam. "Di--dia, Nda?" gumam Dinara seraya menatap dalam Rania. Sang bunda hanya mengangguk, tidak mengerti perasaan Dinara saat ini.

"Raka gak mau sama dia!" seru lelaki itu. Dia Raka, laki-laki yang pernah muncul pada hari pertama kuliah Dinara di Universitas barunya. "Cewek sepeda ontel."

"Eh, Kak, siapa juga yang mau sama Kakak!" balas Dinara tidak kalah ketus, sedangkan tiga wanita itu saling melemparkan tatapan bingung. "Dinara nggak mau, Nda." Lalu, dia menghentakkan kaki dan melenggang pergi ke kamarnya.

"Kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Rania, Raka mengangguk singkat. Rania menghela napas panjang dan mengelus dada.

"Mbak Rani, tolong bantu bicara sama putrimu, ya? Aku udah cocok sama Dinara," ucap Kania---ibu dari Raka, yang merupakan sahabat lama Rania.

Rania dan Kania kembali bertemu satu bulan yang lalu, setelah lama terpisah semenjak kelulusan Sekolah Menengah Akhir. Mereka pun menceritakan kehidupan masing-masing dan memutuskan untuk menjodohkan putra-putrinya.

"Ma, Raka juga gak mau," bisik Raka. Lalu, dia membisikkan hal yang sama kepada Nek Hani di sampingnya. "Raka gak mau sama dia, Nek."

"Mau gak mau, kalian tetap menikah," kata Kania, kemudian mengulas senyum lebar.

Raka menghela napas berat, kemudian berdiri dari duduknya. "Raka tunggu di mobil," ucapnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Dia memasuki mobil, membanting pintu dan mengusap kasar wajahnya karena frustrasi.

"Sialan!" umpatnya. "Dosa gue apa, sih, sampai harus nikah sama cewek itu?" Raka merasa geram dengan nasibnya.

"Gue jamin gak akan bahagia sama dia. Dari pertama ketemu udah kacau kayak gitu."

"Aarrgghh!" teriak Raka sambil memukul setir mobilnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!