3. Pertemuan

Dinara menggerutu di dalam kamarnya, bahkan tadi dia membanting pintu.

Penerangan yang minim karena Dinara mematikan lampu, hanya lampu belajar di sudut ruangan. Gadis itu merengut, tidur tengkurap di kasur dan memeluk guling kesayangan. "Aku memang udah capek sama omelan Bunda soal pasangan. Tapi, masa' harus sama dia?"

"Dia pasti orangnya kasar, nggak baik. Beda jauh sama cara bicaranya Kak Abram," gerutu Dinara. "Males banget." Dia merubah posisi tidurnya menjadi terlentang.

Dinara mendengar suara pintu kamarnya dibuka, lantas dia bergerak membelakangi pintu dan pura-pura tidur. Sang bunda berjalan mendekat, kemudian duduk di kasur dan menepuk pundak Dinara. "Sayang," panggil Rania.

"Dinara mau tidur, Nda," sahut Dinara.

"Bunda mau bicara, sebentar saja."

Terdengar helaan napas berat keluar dari bibir Dinara. Lalu, gadis itu bangun dari tidurnya dan duduk menghadap Rania. Namun, Dinara tidak menatap wajah sang bunda lantaran masih kesal. "Kamu terima perjodohan ini, ya?" mohon Rania.

Dinara menggeleng kuat. "Dia orangnya kasar, Nda." Wajah gadis itu menunjukkan kebencian terhadap seseorang yang tengah dibahas. "Masih lembut Kak Abram," gumam Dinara, rupanya didengar sang bunda.

"Apa?" tanya Rania dengan intonasi lebih tinggi. "Kamu masih mengharapkan dia kembali?"

Rania membuang muka, tidak lagi menatap sang putri. "Dia udah ninggalin kamu, tanpa sebab, tanpa pamit. Pergi gitu aja, setelah itu gak ada kabar sama sekali," seru Rania. "Bunda sayang sama kamu, Dinara." Tuturan lembut dari ibunda, sedikit menggerakkan hati Dinara.

"Memangnya, kamu gak mau menuruti permintaan Bunda kamu?" Ujaran lembut dari seorang pria di ambang pintu, membuat keduanya menoleh. Dia berjalan mendekati Dinara, menepuk pelan pucuk kepala sang putri. "Ayah setuju sama pilihan Bunda. Dinara tidak suka karena belum mengenal Raka dengan betul," katanya.

Roni---seorang polisi yang tengah bertugas di daerah Jakarta. Tubuh tinggi, rambut tebal membuatnya terkesan masih muda, terlebih mata sipit milik pria itu. Dia adalah ayah Dinara, yang sangat menyayangi putri satu-satunya.

Roni tersenyum simpul. "Terima perjodohan ini, ya?" ujarnya. "Ayah mengenal keluarga Raka, mereka semua baik. Kamu pasti senang."

Gadis itu menundukkan kepala, menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskan pelan. "Iya," ucap Dinara, lantas mengembangkan senyum ayah dan bundanya.

Menjadi anak tunggal, tentunya membuat orang tua berharap banyak padanya. Dinara dituntut menjadi orang sukses, tetapi dirinya juga mendapatkan kasih sayang yang cukup. Sebagai mahasiswa baru, Dinara tidak mengenal siapapun di sini.

Gadis itu berjalan menuju kantin karena belum sarapan. Langkah kakinya berhenti kala melihat perempuan seumurannya berdiri sempoyongan. Dinara menyipitkan mata sembari perlahan mendekati.

Perempuan itu memegangi kepalanya, hampir saja tubuhnya tumbang ke belakang, tetapi dengan cepat ditangkap oleh Dinara. "Kakaknya sakit?" tanya Dinara.

Perempuan itu berusaha menegakkan tubuhnya sambil dibantu oleh Dinara. Bibirnya pucat, terlihat lemah. "Bisa antar aku ke UKK?" lirihnya. Dinara mengangguk singkat, kemudian membopong perempuan tersebut.

"Dinara!" Suara teriakan seseorang membuat Dinara menghentikan langkahnya. Lelaki yang memanggil berdiri di depannya, menatap kebingungan dua gadis itu. "Kenapa?" tanyanya.

"Dia mau pingsan, Kak," jawab Dinara. "Kak Abram bisa bantu? Aku susah."

Abram mengangguk cepat, kemudian dia melihat ke arah belakang Dinara sontak membuat gadis itu ikut melihat. "Raka, bantuin gue!" pinta Abram.

Raka menghela napas berat, kemudian melangkah dan membantu Abram menahan tubuh gadis yang lemas itu. Abram berada di sebelah kanan, sedangkan Raka di kiri. Dinara hanya mengikuti mereka dari belakang.

Dinara sempat terkejut karena Abram mengenal Raka, seseorang yang akan menikah dengannya. Kedekatan kembali terjalin dengan Abram, kemudian bagaimana jika Abram tahu soal perjodohan ini?

Sampai di ruangan Usaha Kesehatan Kampus, gadis itu merebahkan tubuhnya di brankar. Dinara pun membantu dengan memberikan obat, serta roti. "Makasih udah bantu aku," ujarnya.

"Kalau gitu, kita pergi," ucap Raka tanpa ekspresi, kemudian menarik tangan Abram untuk pergi.

Dinara mengerutkan dahi melihatnya, tingkah Raka aneh, seperti khawatir.

"Nama kamu?"

"Dinara."

"Aku Raisa." Dia mengulas senyum tipis dengan wajahnya yang masih terlihat rapuh. "Kamu kenal mereka?" tanyanya.

Dinara mengangguk singkat. "Hanya tahu namanya."

"Apa? Kamu tidak mengenal artisnya Diamond? Mereka keren, mereka jadi incaran mahasiswi di sini," ujar Raisa. "Tapi, aku baru lihat kamu. Kamu maba?" Dinara mengangguk.

"Sulit banget punya teman di sini, kalau gak tenar, ya gak ada yang nemenin. Kayak aku, nih," ucap Raisa. Dia memang selalu sendiri, hanya sesekali berkomunikasi dengan teman kelas. Kebanyakan mahasiswi berkumpul dengan seseorang yang memiliki status tinggi. Namun, Raisa sebenarnya menyembunyikan identitas aslinya.

"Mau temenan sama aku?" tawar Raisa, Dinara lantas terkejut akan kalimat yang keluar dari bibir Raisa. Gadis itu bangun dari tidurnya, menatap Dinara penuh harapan. "Mau, ya?"

"Boleh," jawab Dinara, mengulurkan tangan untuk dijabat oleh teman barunya.

Keduanya saling melemparkan senyum lebar, merasa senang dengan hal baru yang didapatkan.

.....

Dinara merasa kaku, tidak bisa bergerak sesukanya. Tanpa memberi informasi, orang suruhan Nek Hani datang menjemput dengan mobil dan membawanya ke kediaman. Melihat Raka di sana, Dinara sedih meratapi nasibnya.

Rumah bernuansa kerajaan, selera desain Nek Hani begitu bagus. Udaranya segar, tidak hanya berasal dari AC, tetapi banyaknya tumbuhan di luar membuat oksigen di sini cukup alami.

Dinara melangkahkan kaki mengikuti seorang pria berumur, yang mengantarkannya menuju kamar Nek Hani. Melewati Raka, lelaki berpakaian santai itu tengah bermain game di ponselnya. Lalu, mereka menaiki tangga dengan jarak lumayan panjang.

"Ini kamarnya Nek Hani," ujar pria tersebut saat sampai di depan ruangan, yang memiliki pintu kayu dan sedikit ukiran. "Mari."

Mereka masuk karena pintu tidak dikunci. Terlihat Nek Hani sepertinya sudah menunggu kedatangan Dinara. Wanita tua itu duduk di ranjang sembari merajut benang-benang halus. "Dinara!" sapa Nek Hani tersenyum ke arah Dinara.

Dinara pun berjalan mendekat, kemudian mencium punggung tangan Nek Hani. Kamar yang begitu luas, lebih luas dari ruang tengah di rumahnya.

"Terima kasih, Aryo," ujar Nek Hani terhadap pria yang mengantarkan Dinara tadi. Lalu, dia melenggang pergi, tidak lupa menutup pintu kamar kembali.

"Nenek senang kamu mau datang," katanya.

"Iya, Nek."

Nek Hani begitu tulus menunjukkan kasih sayangnya kepada Dinara, menganggapnya seperti cucu sendiri. "Pernikahan kamu dan Raka akan dilaksanakan minggu depan," ucap Nek Hani, sontak mengejutkan gadis itu.

Dinara tidak bisa menolak lagi, takut membuat wanita tua itu kecewa kepadanya. Pun dengan melihat Nek Hani, Dinara seperti bertemu lagi dengan mendiang neneknya yang telah lama pergi.

Padahal, Dinara pikir akan menghabiskan banyak waktu dengan Nek Hani. Rupanya, hanya selama 10 menit dia di sana, dan sebatas pembicaraan pernikahannya dengan Raka.

Mobil yang dikendarai Raka melaju kencang membelah jalanan. Langit malam bernaung di atas mereka. "Mau mampir dulu gak?" tanya Raka kepada gadis di sampingnya.

Dinara yang sedari tadi diam, menoleh sekilas ke arah Raka. "Pulang aja," jawab Dinara. Lalu, keadaan di dalam mobil itu kembali sepi.

"Tapi gue lapar, temani makan dulu, ya?"

"Terserah."

Raka menarik sudut bibirnya, sedikit terukir senyum. Seperti, merasa tertarik dengan gadis itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!