"Ka, ikut gue, yuk!" Abram mengajak Raka yang tengah merapikan buku-bukunya.
Raka mendongak. "Ke mana?" tanya Raka. "Lo gak mau belajar buat besok?"
Abram menggelengkan kepala, dia menepuk pundak Raka. "Hari ini gue mau libur buat jadi ambisius," ucap Abram.
Biasanya, setelah pelajaran berakhir, Abram tidak akan pergi ke luar kelas, melainkan mempelajari apa yang disampaikan dosen tadi. Dia anak yang pandai, bahkan mendapatkan beasiswa melalui prestasi.
"Mau ngejar cinta lama gue," celetuk Abram, sontak Raka mengerutkan dahi. "Gue pasti belum kasih tahu lo berita terbaru."
"Apaan?"
"Udah, ikut gue makanya!" Lalu, Abram menarik lengan jaket sahabatnya itu, membawanya menuju tempat yang dimaksud.
Sudah menjadi hal lumrah bila mahasiswi itu memandang mereka, bahkan beberapa menyapa dengan lambaian tangan. Namun, Raka tidak menanggapi, sedangkan Abram membalas sapaan mereka. "Hai juga." Begitu kira-kira, tetapi sudah membuat para gadis histeris.
"Gue udah ganteng belum?" tanya Abram di tengah jalan, menyisir rambutnya ke arah belakang dan menaikkan sebelah alisnya. Raka lantas merasa geli dengan sahabatnya itu. "Reaksi lo kenapa biasa banget, deh." Abram menghela napas berat.
"Mau ketemu siapa, sih? Itu coklat juga, buat siapa?"
"Lo cemburu, Ka? Jangan-jangan lo suka sama gue," celetuk Abram.
"Najis." Raka berdecih ke arah Abram, menatap remeh lelaki itu. "Gue masih normal---"
"DINARA!" Teriakan Abram sontak membuat langkah kaki Raka berhenti, menatap lelaki itu berlari menghampiri gadis yang dipanggil.
Dinara yang saat itu berjalan sendiri, menghentikan langkah kakinya dan menoleh. Netra hitamnya mendapati Abram tengah tersenyum, dia merasa senang dengan keberadaan Abram. Namun, ketika menyadari Raka berada di samping Abram, Dinara lantas merasa khawatir.
"Sendirian aja?" tanya Abram. Wajahnya berseri kala melihat pujaan hati, ia menatap dengan dalam gadis di depannya.
Dinara mengangguk pelan. "Ada apa panggil aku?" Sesekali ia melirik ke arah Raka, yang memalingkan wajah seolah tidak suka.
"Mau kasih ini." Abram menyodorkan kotak kecil berisi kue cokelat. Alisnya lantas mengerut saat menyadari Dinara sedari tadi melihat ke arah Raka. "Ka, sini, Ka!" panggil Abram.
Dinara terkejut, menelan ludah, dan mencoba menetralkan jetak jantungnya. Raka yang berdiri di sana, menghela napas berat dan mendekat.
"Ini cewek yang gue maksud, Ka," ujar Abram, menatap Dinara dengan tatapan ... aneh. Raka tidak peduli, hanya tersenyum simpul.
"Kak Raka---" Baru saja Dinara ingin mengatakan sesuatu, lelaki itu memotongnya.
"Kalian berdua aja! Gue duluan," ucap Raka, tanpa ekspresi. Lalu, dia menepuk pundak Abram dan berjalan pergi melewati mereka.
Abram tidak merasa aneh, tetapi Dinara menjadi takut.
"Kantin, yuk!" ajak Abram. Gadis itu tidak bisa menolak karena dia suka, lantas Dinara menganggukkan kepala.
Angin sepoi menerpa rambut hitamnya. Matanya terpejam merasakan sejuknya udara di taman. Jantung yang sedari tadi berdetak cepat, sekarang sudah lebih mereda. "Gue kenapa?" tanyanya pada diri sendiri. "Cemburu?"
Raka itu bukan tipe laki-laki yang mudah jatuh hati kepada perempuan. Harus benar-benar mengeluarkan banyak tenaga untuk mendapatkan posisi di hati Raka, tetapi sepertinya tidak berlaku untuk Dinara. "Gue harus yakini perasaan gue."
"Tapi ... gak mungkin."
"Mungkin, cuma karena gue mau nikah sama dia, makanya rasanya jadi gini."
Raka terdiam sejenak, mengingat Abram pernah bercerita soal masa lalunya beberapa bulan lalu. Mengenai, terpaksa pergi karena harapan orang tua.
"Gue mungkin udah hancurin hatinya, bahkan hidupnya. Gue rasa, gue udah gak berhak untuk dia karena pada saat itu, kemungkinan dia udah anggap gue gak ada," kata Abram, menunduk dalam. Raka hanya memandang kosong, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir sahabatnya. "Tapi, gue masih berharap dia mau kembali, setelah dia tahu alasan gue ninggalin dia."
"Namanya Dinara. Dia cantik, baik, rambutnya pendek, mandiri, dan apa adanya."
"Gue jatuh hati sama dia, dari pertama bertemu sampai sekarang." Abram mengulas senyum tipis. "Mungkin gak, sih? Kalau dia anggap pertemuan kami ini, bagaikan bencana besar buat dia."
"Gue yang udah kasih dia harapan, tapi gue pergi tanpa kejelasan."
Abram menyeka cairan yang menetes dari ekor mata. "Kalau boleh jujur, gue juga gak mau pergi. Tapi, orang tua gue bener-bener maksain kehendaknya buat gue," ucap Abram, begitu lirih dengan suaranya yang serak.
Raka benar-benar tidak bisa melakukan apa pun saat itu, hanya menemani dan mendengarkan curhatan sahabatnya.
"Bodoh amat," celetuk Raka, kemudian dia berdiri dan melenggang pergi dari taman.
Matahari bertengger di atas sana, seakan membakar kepala. Dinara berjalan dengan membawa buku di tangan, beberapa mahasiswa juga melangkah bersamanya. Hari ini bahagia sekali, menghabiskan banyak waktu bersama Abram.
Langkah kaki Dinara seketika terhenti saat tubuh tinggi itu berdiri di depannya. Dia mendongak, mendapati Raka menatap tajam ke arahnya. "Ada apa, Kak---" Belum usai kalimatnya, Raka melenggang pergi.
"Cowok nggak jelas," gumam Dinara, menatap kepergian Raka yang datang tanpa sepatah kata.
.....
"Kamu kalau sudah menikah, jangan banyak kelayapan!" tutur Rania, kepada sang putri yang tengah menyantap makan malam. "Calon suami kamu itu baik, loh."
"Kenapa nggak Bunda aja yang nikahin dia?" celetuk Dinara.
Roni yang baru datang dan mendengar ucapan sang putri, lantas menggelengkan kepala. Lalu, pria itu mencubit lengan kanan Dinara hingga dia merintih kesakitan. "Nda! Ayah cubit aku, Nda! Sakit, Nda!" rengeknya.
"Rasain!" seru Rania.
"Lagian, Bundanya disuruh nikah lagi, Ayah sama siapa?" ucap pria itu, kemudian mendudukkan pantatnya di kursi samping Dinara.
Dinara kesal, mengerucutkan bibir sembari mengelus lengannya yang terasa panas.
Suara game memenuhi ruangan, yang berasal dari handphone lelaki jakun itu. Raka membanting ponsel ke kasur, lantaran tidak bisa fokus dengan permainannya. Dia mengusap kasar wajahnya. "Gue kenapa, sih?" Raka kesal, masih teringat kejadian Abram dan Dinara di kampus tadi.
"Gue cemburu?"
Raka meraih jaket yang tergeletak di atas sofa kecil, mengambil ponsel dari kasur dan memasukkan ke saku. Lalu, lelaki itu melangkahkan kaki jenjangnya keluar kamar. Dia mengeluarkan motor kesayangan dari dalam garasi, kemudian melaju kencang membelah jalanan malam.
Dinara baru saja pergi ke warung terdekat untuk membeli gorengan, malam-malam begini rasanya ingin makan terus. Dia membuka pintu, disambut oleh bunda yang terlihat menunggu kedatangannya. "Kenapa senyum-senyum, Nda?" tanyanya.
Rania tidak berhenti tersenyum. Lalu, dia menyodorkan paper bag merah kepada sang putri. Dinara mengerutkan dahi menatap benda itu, kemudian duduk di sofa. "Apa ini? Punya siapa?"
"Punya kamu. Dibuka, dong!"
Dinara penasaran, tanpa berlama-lama membuka benda itu. Terdapat kotak berbentuk hati di dalamnya. "Cokelat? Dari siapa?" tanya Dinara.
"Calon suami kamu," jawab Rania, diikuti kedipan matanya yang jahil.
"Apa? Kak Raka?" pekik Dinara. Dia menatap lamat kotak cokelat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments