"NAY, CEPET TURUN. NINA UDAH NUNGGU DI BAWAH!" Mama teriak cukup kencang membuatku terlonjak kaget. Dan langsung bergegas jalan kearah pintu.
Ceklek.
Aku berjalan menuruni tangga, menghampiri Nina yang sudah rapih tengah menungguku sambil memainkan ponselnya.
"Nin. Ayo ke kamarku dulu, tunggu Aku mandi sebentar." kataku sambil mengucek mata, karena baru bangun tidur.
"Kamu baru bangun? Ini udah jam tiga sore loh." jawab Nina heran.
Aku menggeleng, "Tadi pagi udah bangun, cuma siangnya ketiduran." jawabku sambil jalan kembali ke kamar, di ikuti Nina.
"Kebiasaan." jawab Nina. Aku hanya cengengesan tak berdosa.
Nina duduk di sofa kamarku sambil memainkan ponselnya, sedangkan Aku mandi dan siap-siap.
Setelah selesai, Aku dan Nina langsung berangkat. Tak lupa pamitan sama Mama dan Papa, yang hari ini tumben ada di rumah. Biasanya Papa sibuk di luar kota, bahkan luar negeri untuk sekedar bisnis.
"Nin, kemarin Bian chat Gue. Nanyain keadaan Lu. Katanya dia pengen ketemu. Gue bilang aja kalo Lo sibuk." kata Nina. Nina memang selalu menggunakan kata 'Lu-Gue' kalo bukan di kantor, dan kalo lagi berdua aja.
Aku mengacungkan jempol, bagus. "Bagus! Kemarin juga dia chat Aku. Ngajak ketemu juga, tapi Aku tolak." jawabku.
"Jangan mau pokoknya, Nay. Gue ga suka Lu deket-deket sama Bian. Dia cowok gak baik. Sama kayak si Fahmi." kata Nina menggebu-gebu. Dia terlihat sangat kesal. Dulu Nina juga pernah bilang kalo Fahmi cowok gak baik, tapi Aku yang sudah terlanjur suka, mengabaikan perkataan Nina. Dan sekarang terbukti benar omongannya.
"Iyaaa, lagi pula dari dulu Aku gak suka sama si Bian. Satu lagi, jangan sebut-sebut nama cowok gak ber adab itu!" jawabku kesal. Nina menjitak kepalaku keras.
"Makanya! Kalo di kasih tau, dengerin!" katanya.
"Awhhh... Sakit, Nina!" kataku meringis kesakitan, sambil memegang kepalaku, yang habis di jitak Nina.
"Biar sadar!" kata Nina. Aku hanya mendengkus kesal.
"Awas aja, kalo Lu deket-deket sama Bian. Gue jitaknya pake kekuatan super!" kata Nina mengancamku.
Aku bergidik takut. Nina seperti Nenek lampir kalo di luar...
Nina selalu seperti ini, tidak pernah berubah. Kalo Aku terkena masalah, dia yang selalu ada di barisan pertama. Dan Lia ada di barisan kedua. Tapi sekarang, Lia sudah tidak akan pernah ada lagi.
Seperti kemarin waktu Aku tau Fahmi menikah dengan Lia. Nina sangat murka, sampai-sampai dia mendatangi rumah Lia dan Fahmi sendirian. Mengamuk di sana seperti orang kesurupan.
Tak lupa, dia juga yang menenangkanku. Memberikan semangat, dan berkata 'Cowok Brengs*ek kayak Fahmi emang gak pantas buat Lu, Nay. Udah cari yang lain. Banyak banget yang mau sama Lu. Cari yang KAYA RAYA TUJUH TURUNAN, SEMBILAN TANJAKAN, SEPULUH BELOKAN! jangan mau sama si Fahmi yang miskin itu.' katanya. Sedikit kasar dan baik untuk jantung. Karena Nina meninggikan suaranya waktu menyuruhku mencari Laki-laki kaya raya.
Dan bodohnya Aku masih menangis saat Nina mengatakan itu. Menangisi Laki-laki yang tidak tau diri. Tapi itu sudah berlalu, sekarang mah ogah banget! Buat apa buang-buang air mata buat orang yang gak berguna?
Aku dan Nina sampai di salah satu Cafe terkenal di jakarta. Nina memesan makanan dan minuman yang biasa kami pesan.
Tak lama makanan dan minuman datang, Aku dan Nina langsung menyantap hidangan yang Nina pesan. Sambil mengobrol dari A sampai Z. Kadang tertawa, kesal, sedih, senang, dalam waktu yang bersamaan.
Karena topik pembicaraannya berbeda-beda. Ntah itu mengenang zaman kuliah, masalah pertemanan, atau bahkan menertawakan kebodohanku, karena suka sama Fahmi.
Nina terlihat senang saat membicarakan kebodohanku. Mungkin dia puas dan sedih secara bersamaan, Aku juga yang salah, tidak mendengarkan omongan Nina dulu. Bahkan Nina sudah memberikanku bukti saja, Aku tidak memperdulikannya.
Tapi sekarang, Aku sudah lega. Sangat lega. Perasaanku pada Fahmi sudah tidak tersisa sedikit pun.
Selesai makan, Aku dan Nina bergegas untuk pergi ke salah satu Mall terdekat. Untuk sekedar menonton Bioskop. Sudah lama kami berdua tidak pergi menonton.
Sesampainya di Mall, belum sempat Kami berdua masuk ke salah satu tempat pembelian tiket. Nina langsung menghentikan langkahku.
"Jangan masuk!" katanya pelan.
Aku celangak-celinguk bingung sama sikap Nina. "Kenapa? Kan kita mau nonton," jawabku ikutan mengecilkan volume suaraku.
"Tuh, liat." kata Nina sambil menunjuk ke salah satu kasir pembelian tiket. Aku terkejut, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisku.
"Mau beli popcorn? Ayooo." kataku gak ngerti sama arah yang di tunjuk Nina.
Nina menepuk jidatnya pelan. "Bukan! Liat siapa yang ngantri di barisan kedua!" kata Nina kesal. Bersiap menjitak kepalaku.
Aku mengedarkan pandanganku dan menemukan sesosok makhluk astral, lagi mengantri membeli tiket bioskop.
"Itu si Bian?" tanyaku, Nina mengangguk.
Mati Aku. Kalo Bian tau Aku ada di sini!
"Jangan dulu kaget... Liat siapa yang ada di bangku belakang." katanya.
Aku kembali melihat kearah yang di tunjuk Nina. Ternyata benar. Ada sepasang mahkluk tak kasat mata. Ntah sejak kapan mereka duduk di sana, sampai Aku tidak menyadarinya. Nina memang hebat! Indihom yang sangat luar biasa, bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata!
Aku bangga padamu Nina!
Aku dan Nina mundur perlahan. Membatalkan rencana untuk menonton film horor. Karena ini jauh lebih horor.
"Nayla?" Aku menengok ke arah sumber suara yang memanggilku.
"Eh. Daren?"jawabku gugup. Takut ketahuan sama makhluk astral di dalam sana.
"Kenapa gak masuk?" tanya Daren.
Aku menggeleng. "Nggak jadi nonton, hehe." jawabku cengengesan.
Aku menoleh ke sebelah Daren, ada Laki-laki yang tingginya sama seperti Daren. Sangat tampan juga seperti Daren, bedanya, tatapannya lebih lembut. Tengah tersenyum ke arahku dan Nina.
Aku menepuk jidatku bingung. Karena baru menyadari pikiranku yang tak sengaja memuji Daren terus.
NAY! SADAR WOI.
Daren mengerucutkan jidatnya bingung melihat sikapku.
"Ohh, ini. Kenalin Adnan, temanku." kata Daren.
Laki-laki yang bernama Adnan itu langsung mengulurkan tangannya ramah.
"Adnan..." katanya.
Aku membalas uluran tangannya, "Nayla..." kataku.
Adnan beralih ke Nina yang tengah menatapnya datar. "Adnan..."
"Nina." jawab Nina sambil menjabat tangan Adnan.
"Oiya, Daren. Kenalin, ini Nina, dan Nina, ini Daren." kataku memperkenalkan Daren pada Nina. Daren dan Nina berjabat tangan berkenalan.
"Kenapa gak jadi, nontonnya?" tanya Daren.
Aku menggeleng. "Ada Fahmi di dalam."
Daren langsung mengerti, "Emangnya kenapa? Yuk nonton bareng. Mau nggak?" tanya Daren.
Aku melirik ke arah Nina, Nina mengangguk.
"Ayo, dari pada bosen. Mending cuci mata liat cowok cakep!" bisik Nina pelan di telingaku.
"Yaudah, ayo. Tapi Kamu gak keberatan... Ada Fahmi loh? Fahmi kan taunya kita berdua-" aku menjeda perkataanku.
Daren mengangguk lalu menarik lenganku pelan. "Ayo, mau nonton apa?" tanya Daren.
Jantungku berdetak kencang. Mungkin karena Daren tiba-tiba menarik lenganku.
"No-nonton film horor." kataku.
Daren langsung berjalan ke arah kasir dan memesan. Aku yang masih mengontrol jantungku tidak fokus sama perkataan Daren dan Mbak kasirnya. Lalu Daren menarik kembali lenganku untuk membeli cemilan. Daren membeli dua popcorn ukuran besar dan empat minuman soda.
Aku menyadari Nina sudah menghilang dari pandanganku. Aku langsung mengedarkan pandangan mencari Nina.
Kemana kutu kupret itu berada!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments