...Melihatmu dengan senyum tipis membuat jiwaku terbelenggu....
...Bukannya terganggu, aku malah ingin terus terjebak didalamnya....
......................
Selasa malam di Bulan Juli. Arav duduk bersandar pada teralis jendela kamarnya, menatap kelamnya langit sembari menghirup benda bernikotin favoritnya.
Sedangkan dari dalam kamar samar-samar terdengar suara dari laptop yang tengah memutar anime bergenre petualangan-action. Anime kesukaannya, yang tidak bisa diganggu ketika sedang ditonton, sekarang malah terabaikan.
Senyum Ambar masih terus membayangi Arav. Mood cowok itu meningkat drastis. Hatinya bergetar tidak karuan. Kapan terakhir kali Arav merasa sebahagia ini? Rasanya seperti hampir tidak pernah. Ini pertama kalinya bagi Arav.
Hidupnya yang tenang dan membosankan akhirnya berubah.
Arav beranjak dari tempat duduknya, mematikan sisa rokok dan membuangnya ke luar jendela. Cowok itu mematikan laptop sebelum akhirnya merebahkan diri di ranjang.
Netra Arav berfokus pada plafon, dengan senyum mengembang, cowok itu tidak sabar untuk menunggu hari esok tiba.
Sedangkan di tempat berbeda, Ambar tengah berdiri di depan cermin kamar mandinya. Gadis itu terlihat rapuh. Rasa sepi yang selalu menelusup ke hatinya membuat Ambar lemah. Perlahan-lahan membakar semangat hidupnya. Setiap kali ketika berada ditempat sepi seorang diri, selalu saja kesedihan menghampirinya.
Ambar bukannya pasrah, gadis itu bahkan selalu menahan diri. Menghibur diri dengan cara sederhananya. Ambar lelah, tetapi tidak juga ingin menyerah.
"Semakin dewasa, semakin berat pula kehidupan. Seseorang hanya perlu bertahan jika sudah tidak mampu melawan. Sebab Tuhan tidak suka orang yang kalah." Penjelasan penuh makna itu membuat Ambar kecil kebingungan. Dalam pangkuan, Ambar kecil menatap wajah ayahnya penuh tanda tanya.
"Kalah?"
Ayah Ambar mengangguk. "Hidup itu seperti bermain game. Kalau kalah, tidak mendapat apapun. Tapi kalau menang, akan dapat hadiah."
"Apa hadiahnya banyak?"
Ayah Ambar kembali mengangguk. "Apapun yang Ambar mau pasti akan terkabul. Dengan syarat Ambar bisa bertahan dan menang."
Tiba-tiba Ambar kecil tersenyum senang, gadis itu suka hadiah. Apapun akan Ambar lakukan agar mendapat hadiah. "Ambar mau hadiah yang banyak!!" serunya penuh semangat. Tidak sabar menantikan hadiah. Namun sayangnya gadis kecil itu masih terlalu dini untuk mengerti perjuangan apa dibalik hadiah tiada batas yang akan didapat.
"Bolehh, asal Ambar bisa menang."
"Pasti bisa, Ambar kan kuat!" Ambar kecil meyakinkan diri. Kemudian memeluk erat ayahnya.
Mendapat perilaku menggemaskan dari anaknya, Ayah Ambar mengacak puncak kepala Ambar. "Baguss."
Ayah dan anak itu kemudian kembali menikmati kegiatan memancing mereka.
Cermin itu menampakkan wajah kusut Ambar, sebagian rambut basah terkena keringat bercampur air bekas membasuh wajah. Ambar menunduk sesaat, menyekat air mata serta menyugar rambutnya ke belakang.
Ambar pergi ke shower untuk membasuh tubuhnya dengan air. Di bawah pancuran shower Ambar kembali menguatkan diri.
Tetesan air dingin mulai memenuhi lantai. Setelah 15 menit berlalu, Ambar akhirnya keluar dari kamar mandi masih dengan menggunakan bathrobe. Rambutnya yang basah dibiarkan begitu saja.
Ambar menyalakan kipas angin di sudut ruangan dan mulai membersihkan kamar kontrakannya. Mengambil tumpukan baju yang sudah dilipat rapi, menaruhnya ke dalam lemari. Menyapu lantai sampai mencuci piring. Barulah Ambar mengenakan baju tidur dan mengoleskan lip balm pada bibirnya agar tidak kering. Gadis itu mengambil jaket kulit yang tergantung di balik pintu, membawanya ke ranjang sedangkan Ambar duduk bersila.
Tangan kecilnya mulai menggeledah saku jaket kulit dan menemukan lembaran uang berwarna merah.
"Satu juta." Batin Ambar setelah menghitung jumlah uang tersebut.
Wajah Ambar berubah, gadis itu merasa kecewa sebab lagi-lagi dirinya berhasil kelolosan. "Ini yang terakhir kalinya ... Ayah, bantu aku."
Setelah mengeluarkan harapannya, Ambar meraih laci nakas. Mengambil buku rekening bank, mengamati nominal yang tercantum di dalamnya.
Tabungan dari Ayah dan ibunya serta dari hasil penjualan harta benda peninggalan orang tuanya masih terbilang banyak. Padahal sudah digunakan untuk membiayai kehidupan Ambar bahkan biaya pendidikannya sampai sekarang.
Sebelum menikah, ternyata orang tuanya sudah mempersiapkan kebutuhan finansial secara matang. Ambar semakin bangga dan sayang dengan kedua orang tuanya. Bahkan disaat mereka sudah tiada, kewajibannya sebagai orang tua masih tetap dijalankan. Hati Ambar kembali merasa sesak, namun dengan cepat di tahannya.
Ambar menaruh uang tersebut di dalam buku rekening, mencampurkannya bersama uang lain yang asal-usulnya sama seperti uang yang di dapatnya kemarin malam. Menaruh buku rekening di atas nakas sebelum akhirnya Ambar merebahkan tubuh di ranjang.
Pandangan Ambar lurus menatap jendela kamarnya yang tidak tertutup korden, yang menampakkan lampu-lampu pada balkon gedung bertingkat. Tidak terlalu indah, namun cukup menenangkan.
"Semoga hari esok berjalan dengan indah."
Ambar memanjatkan doa sebelum menutup mata. Di dalam selimut, gadis itu memeluk erat bantal gulingnya.
......................
Alarm pertama berbunyi nyaring, langsung membangunkan gadis yang sebelumnya tengah meringkuk kedinginan. Selimut yang semalam menempel erat kini hanya menutupi sampai batas betis, sedangkan bantal guling yang semalam dipeluk erat sudah jatuh ke lantai yang dingin.
Ambar membuka netranya, cepat-cepat mematikan Alarm kemudian turun untuk mematikan kipas angin. Jam dinding menunjukkan pukul 5 lewat 20. Ambar pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi serta membasuh wajah. Gadis itu tidak mandi, suhu udara yang rendah membuat badannya sedikit menggigil bahkan disaat belum menyentuh air.
Lagi pula tadi malam dirinya sudah mandi, keringat tidak keluar pada malam hari yang dingin. Sedikit aroma sabun serta wangi shampoo masih melekat di tubuhnya. Ambar hanya perlu menambah deodorant dan parfum untuk meminimalisir bau keringat nantinya.
Selesai berkemas, Ambar mengambil semua uang yang tersimpan di buku rekening, memasukkannya ke dalam tas dan mengembalikan buku rekening ke tempat semula. Di dalam nakas.
Ambar lantas menuju area dapur untuk memasak tamagoyaki atau telur gulung ala Jepang. Menaruhnya dalam piring dan menambah sedikit saus untuk rasa pedasnya. Sembari sarapan, Ambar duduk di tepi ranjang. Mendengarkan instrumen musik mellow.
Gadis itu berangkat ke sekolah tepat pukul 6 dengan berjalan kaki. Udara dingin dengan awan kelabu menghiasi kota, menemani langkah Ambar menyusuri trotoar. Ambar mengeratkan jaket, melipat tangannya memeluk dirinya sendiri. Langkahnya semakin dipercepat kala merasakan beberapa tetes air menyentuh kulit wajahnya.
Angin bertiup menambah hawa semakin dingin. Beberapa murid berseragam sama dengan Ambar bahkan menawari tumpangan saat melewati dan mengenal dirinya. Namun dengan mantap ditolaknya, Ambar merasa sungkan.
"Ayo Ambar, bertiga tidak apa, sebelum turun hujan." Putri memberi tawaran. Di depannya, Ayah putri mengangguk setuju.
"Ayo nak, tidak usah malu." Ayah Putri menimpali.
Ambar menatap sepeda motor milik Ayah Putri sejenak. "Tidak usah, bentar lagi mau sampai kok. Duluan saja Put, Pak," tolak Ambar dengan sopan.
Selain malu bertigaan naik motor, gadis itu juga tidak enak dengan Putri. Mereka yang duduk satu meja nyatanya tidak seakrab itu. Jika tiba-tiba menerima bantuan Putri padahal dirinya selalu menghindari teman-teman sekelasnya, akan sangat bersalah sekali Ambar. Serasa memanfaatkan Putri, pikirannya.
Sepeninggal Putri dan Ayahnya, Ambar melanjutkan langkah cepatnya. Tak disangka rintik hujan semakin deras. Ambar langsung memakai tudung jaket, berlari mencari tempat berteduh terdekat.
Ambar tidak menduga akan turun hujan yang semakin lama semakin deras curahnya. Jika sudah begini hanya ada penyesalan, harusnya tadi gadis itu membawa payung atau jas hujan. Ambar menghela napas pasrah. Yang bisa dilakukannya saat ini hanya bersandar pada tiang bengkel yang masih tutup, menunggu hujan reda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
xrayyy
hiyakkkkk
2023-07-12
0