Ambar kecil tidak menyangka hidupnya akan sesedih ini. Hari yang seharusnya akan menjadi hari paling menyenangkan dan bahagia justru berubah menjadi hari paling kelam dalam hidupnya. Dalam kebekuannya, gadis itu menyaksikan bagaimana tubuh Ayahnya yang lemas penuh darah. Menyaksikan bagaimana pria-pria mengerikan itu membuang tubuh Ayahnya ke lantai, bukannya memberi pertolongan.
Ambar lebih tidak menyangka jika tenyata pria-pria itu ternyata yang telah membunuh Ayahnya. Mereka juga membuat Ambar kecil menyaksikan sendiri bagaimana Ibunya merenggang nyawa, tepat dihadapannya.
Ambar yang masih ingat dengan jelas pesan Ayahnya, dan berusaha sekuat tenaga menahan luapan emosi. Gadis kecil itu mengigit kuat bibirnya, sedangkan air mata terus mengalir. Perih sekali menahan isak tangis.
Dunianya langsung runtuh begitu pria-pria mengerikan itu pergi. Tubuh Ambar kecil melemas, bahkan untuk sekedar mendorong pintu nakas pun tidak kuasa.
Suara tangisnya mulai terdengar lirih, namun rasa perih di hati semakin tak terobati. Bayangan darah, ekspresi kesakitan sang Ibu, ekspresi bengis para pria jahat itu. Semua ulasan kejadian mengerikan itu berputar mengantarkan Ambar pada kegelapan.
"Lari Ambar, peluk Ayah Ibumu erat-erat. Jangan biarkan mereka pergi."
Suara samar itu menghilang saat terdengar bell berbunyi. Ambar tersadar dari lamunannya. Dan untuk yang kesekian kalinya, gadis itu kembali meneteskan air mata.
Ambar mengucek mata, berusaha menjernihkan pandangannya yang buram. Pun tidak lupa menghapus bekas-bekas air mata di pipi. Ambar tersenyum naif, gadis itu dengan cepat meninggalkan rooftop. Menuju kelas untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya.
Ambar duduk di kursi paling depan bersama seorang gadis introvert. Walaupun sudah hampir 3 tahun duduk bersama, mereka tidak akrab. Ambar selalu menyendiri. Hubungannya dengan teman sekelas tidak seakrab itu. Ambar terlalu malas hanya untuk mendengar cerita teman sekelasnya yang sama sekali tidak penting. Daripada digunakan untuk mendengar dan merespon mereka, lebih baik Ambar gunakan untuk tidur.
Prestasi Ambar pun biasa saja, tidak terlalu pintar tidak juga terlalu bodoh. Dalam segala aspek, gadis itu selalu mencoba untuk menjadi penengah, antara ada dan tiada. Ambar tidak suka dikucilkan, juga tidak suka menjadi pusat perhatian.
"Huufft."
......................
Sesuai perintah guru BK, sepulang sekolah Ambar pergi ke kebun belakang sekolah. Gadis itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, dan hanya mendapati dirinya sendiri. Suasana sepi, hanya ada suara ranting yang sesekali bergesekan diterpa angin.
Ambar menoleh cepat saat mendengar suara daun jatuh tepat di sampingnya. Bersamaan dengan itu, suara langkah kaki terdengar semakin jelas. Sosok Arav terlihat semakin dekat. Langkah cowok itu santai dan terlihat segar dengan rambut basah sehabis membasuh wajah. Tetesan terakhir air di rambutnya turun mengenai pelipis yang langsung dilap dengan ujung jari.
Ambar mendapati senyum tipis Arav ketika melihatnya. Yang langsung dibalas Ambar dengan anggukan singkat.
"Udah lama?" tanya Arav basa-basi.
Ambar menggeleng. "Baru saja sampai."
Arav ber-oh ria, cowok itu lantas duduk di kursi panjang di bawah pohon mangga. Sembari menunggu Bu Heni, Arav melihat-lihat beberapa jenis tanaman yang ada di kebun itu. Sedangkan Ambar bersandar pada dinding yang langsung bersekat dengan ruang kelas. Tangannya melipat di depan perut dengan ujung salah satu kakinya bergerak ke akan dan kiri. Mereka saling diam.
Sesekali Arav melirik Ambar, gadis yang tengah menatap tanah. Semakin diperhatikan, Arav semakin tidak asing dengan sosok Ambar. Cowok itu merasa pernah melihat wajah Ambar di luar lingkungan sekolah, sebelumnya. Tapi di mana?
Arav terkejut saat tiba-tiba Ambar menatap dirinya. Pandangan mereka bertemu untuk sesaat. Cowok itu sedikit gugup saat merasa kepergok Ambar, namun nyatanya gadis itu bersikap biasa saja.
Ambar beranjak dari tempatnya, mendekati Bu Heni yang ternyata sudah berdiri di samping kran air yang terpasang selang. Sangking larut dengan pikirannya sendiri, Arav bahkan tidak menyadari kehadiran guru BK tersebut. Sedetik kemudian Arab bergegas dari tempatnya, bergabung dengan Ambar yang berdiri di depan Bu Heni.
"Bagus," puji Bu Heni sembari menatap kedua murid di depannya. "Langsung saja yaa?"
Ambar dan Arav kompak mengangguk, dalam hati sudah mengerti tujuan Bu Heni membawa mereka ke kebun belakang. Namun keduanya tetap diam dan menurut saja.
Bu Heni menangkup kedua tangannya di depan, mulai memberi arahan. "Hanya hukuman kecil entah bisa membuat kalian jera atau tidak. Saya sudah sudah tidak punya ide lagi ... Jadi, kalian sapu bersih area ini dan juga siram tanaman yang ada di luar ataupun di dalam rumah kaca. Paham?"
Ambar dan Arav kembali mengangguk.
"Saya tidak akan mengawasi kalian tapi kalian bertanggung jawab atas perintah yang telah kalian dapat. Jika sudah selesai boleh langsung pulang."
"Baik," ucap Ambar. Gadis itu mundur selangkah sebelum akhirnya berbalik badan. Pergi mengambil sapu dan pengki.
Sedangkan Arav mengambil gembor (tempat air) untuk di isi air kran. Cowok itu pergi ke area rumah kaca terlebih dahulu, menyiram tanaman angrek dan sayur.
Setelah memastikan Ambar dan Arav bekerja, Bu Heni meninggalkan mereka. Kembali ke ruang BK untuk mengurus absensi bulanan murid.
Ambar mengerjakan tugasnya dalam diam, gerakannya begitu lues dan tenang. Setenang pikirannya yang entak memikirkan apa. Lain dengan Arav malas-malasan. Cowok itu hanya menyiram tanaman yang dekat dengan jalan tanpa mengecek kondisi tanaman dibelakangnya. Sehingga tidak perlu waktu lama, Arav sudah selesai dan mulai menyiram tanaman di luar rumah kaca.
Arav menyelesaikan tugasnya lebih cepat daripada Ambar, sebab tanaman di luar lebih sedikit daripada di dalam. Cowok itu tersenyum sesaat setelah menaruh kembali gembor di tempat penyimpanan.
Arav berdiri di samping pintu penghubung antara kebun belakang dengan koridor yang menuju ke ruang-ruang kelas. Awalnya Arav akan langsung pergi. Namun setelah memperhatikan Ambar yang sedang mengumpulkan sampah daun ke pengki, Arav mengurungkan niatnya. Cowok itu mendekat untuk membantu Ambar yang tengah kesulitan memasukkan sampah. Tangan kanannya yang terlihat kecil itu memegang tuas sapu, sedangkan tangan satunya lagi memegang tuas pengki.
"Biar aku aja." Arav mengambil alih pengki digenggaman Ambar. Membuat gadis itu mendongak. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Ambar segera memutus kontak, melepas tangannya pada pengki kemudian melanjutkan tugasnya.
Arav diam di depan Ambar, menunggu gadis itu memasukkan semua sampah ke dalam pengki. Sedangkan pandangannya tak lepas dari sosok Ambar yang terus menunduk.
Rambut Ambar terlihat bagus menurut penglihatan Arav. Tipis dengan diameter yang kecil-kecil juga agak bergelombang. Keinginan mengusap kepala Ambar muncul seketika, sekaligus membetulkan ikat rambutnya yang terlalu kendor.
"Sudah."
Suara singkat Ambar menyadarkan Arav, cowok itu kemudian pergi untuk membuang sampah pada tempatnya. Arav kemudian meletakan pengki di tempat yang sama dengan Ambar meletakkan sapu.
"Terimakasih Arav," ujar Ambar sembari memberi senyuman tipis.
Arav mengangguk. "Yaa."
Cowok itu terpaku ditempatnya. Bahkan ketika Ambar berlalu dari hadapannya, mengambil tas dan pergi dari area kebun belakang, cowok itu tidak bergerak dari sana.
Senyum ringan yang dibuat Ambar sukses menembus pertahanan dirinya. Lengkungan bibir itu terlalu indah di wajah manisnya. Arav sampai membeku dengan hati seperti tertusuk jarum. Bukannya kesakitan, cowok itu justru menikmatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments