Pagi mulai menjelang, mentari pun mulai menampakkan cahayanya di ufuk timur. Di saat itu bu Raudah kepala pelayan di rumah itu sudah mulai menginstruksikan tugas dan pekerjaan untuk masing masing anak buanya di rumah besar itu.
Tiba tiba Alea masuk dari arah belakang. Seakan melihat hantu para pelayan itu terperanjat kaget.
Melihat mimik para pelayan, Raudah pun berbalik badan.
"Nona Alea? Nona darimana saja?" tanya Raudah keheranan. Alea tiba tiba muncul dari pintu belakang hanya dengan mengenakan piyama.
"Aku berkeliling halaman belakang." Alea kembali melangkah dengan sangat hati hati karena perih dikakinya semakin terasa.
Mata Raudah membulat saat melihat cara Alea berjalan. Dan setiap jejak kaki Alea di lantai berwarna kemerahan.
"Nona, kaki nona." Raudah langsung memeriksa kondisi kaki Alea.
Wanita paruh baya itu membawa Alea duduk di sebuah kursi terdekat.
"Sri, ambilkan kain dan air hangat. Uni, bawakan kotak P3K ke sini. Dan yang lainnya siapkan sarapan untuk Nona," perintah Raudah.
Para pelayan yang tadinya berbaris rapih langsung bubar mengikuti perintah Raudah.
Segera kaki Alea di rendam di dalam baskom berisikan air hangat yang diberi desinfektan.
Alea merintih perih saat bu Raudah mulai membersihkan kakinya.
"Nona kenapa bisa seperti ini?" tanya Raudah keheranan. Lecet dan luka di kaki Alea lumayan parah.
Alea teringat saat ia mengantar Nick ke auditorium, ia berjalan di rerumputan, dan terkadang di kerikil tajam. Dan saat kembali pulang, ia berlari cepat, tapi saat itu perihnya tidak terasa seperti sekarang. Semakin di rawat luka dikakinya semakin terasa perih.
"Nona, kemana saja pagi pagi buta begini. Di luar masih lumayan gelap, dan nona tidak mengenakan sepatu. Kenapa tidak meminta kami menyiapkan segala sesuatu keperluan nona, sepatu, sendal, baju. Dan pakaian nona seperti ini? Jika nyonya Miranda tau, dia pasti akan marah melihat Nona tidak merawat diri Nona sendiri," omel bu Raudah panjang lebar.
"Bu, kejadian hari ini rahasia di antara kita saja, nyonya Miranda jangan sampai tau hal ini. Atau kita semua akan semprot Nyonya," ujar Alea setidak nya biar bu Raudah sedikit tenang.
Sembari mengoleskan obat di kaki Alea, bu raudah meniup niup perlahan untuk menghilangkan perih.
Sesekali Alea merintih, hingga kemudian Andin tiba di ruangan itu.
"Kenapa kaki mu? Sampai segitu parahnya?" tanya Andin tak percaya. Setahu Andin kemaren kaki Alea hanya memerah di ujung jari akibat sepatu hak tinggi yang ia kenakan agak kesempitan.
Andin ikut berjongkok di samping bu Raudah memperhatikan beberapa luka lecet agak berdarah di telapak kaki hingga ke bagian samping kiri dan kanan.
"Efek sepatu bisa sampai segini ya?" ulang Andin keheranan.
Bu Raudah tetap diam tak berani berkomentar.
"Bu Raudah, kaki nona diperban saja. Kalau dibiarkan terbuka seperti ini, kena debu dan kotor bisa terinfeksi. Saya bawa Nona ke dokter saja sekalian biar aman. Kaki Nona kelihatannya agak parah."
"Boleh juga, kalau saya yang perban, pasti berantakan," sahut bu Raudah setuju.
"Biar aku yang per-"
"Shhhttt, diam. Orang sakit dilarang bicara." Andin menempelkan jari telunjuk di bibirnya menatap Alea. Ia pun akhirnya diam pasrah.
"Aku akan ke kamar ambilkan nona pakaian. Tunggu sebentar," ucap Andin kemudian pergi dari situ.
"Andin, sekalian ponselku di atas nakas," teriak Alea sebelum Andin menghilang di balik tembok.
Andin dan Alea berkendara keluar dari kawasan perkebunan itu untuk mencari dokter terdekat.
Sepanjang jalan Alea lebih banyak diam, ia menikmati pemandangan di sekitar sambil memikirkan kembali langkah yang ingin di ambilnya.
"Andin, aku ingin bercerai," ucap Alea tiba tiba.
Mobil yang tadinya melaju mulus di jalanan lurus tersendat tiba tiba karena rem mendadak Andin.
"Cerai?"
Andin memacu kembali mobil namun kini agak sedikit lambat dari sebelumnya.
"Kamu marah karena tuan tidak ke kamarmu semalam?" tebak Andin.
Alea tak menjawab pertanyaan konyol itu, ia terus menatap ke luar jendela.
"Ayo telpon Nick sekarang, katakan kamu ingin cerai. Dan jelaskan alasannya kenapa kamu ingin bercerai," ujar Andin bersemangat. Andin mengira Alea kecewa terhadap Nick karena tidak datang ke kamar nya. Seharusnya semalam adalah malam pengantin mereka.
"Aku tidak punya nomornya," jawab Alea.
"Opppss bener juga," sahut Andin. "Kalau begitu, samperin saja. Marah marah atau nangis trus minta cerai. Biar tau rasa dia." Andin semakin berapi api mendukung keputusan Alea.
"Bawa aku temui nyonya Miranda," ujar Alea kemudian.
"Nyonya Miranda? Tidak tidak, masalahnya tuan tidak datang ke kamar Nona, aku pasti dimarahi nyonya. Seharusnya tugas ku adalah memastikan kalian melakukan malam pengantin kalian dengan baik dan benar," sahut Andin menolak permintaan Alea.
"Memang mengadu ke nyonya adalah cara tercepat agar tuan datang ke kamar Nona, tapi bagi nyonya Miranda hal sepele seperti itu bukan urusannya. Kita sendiri yang harus menangani tuan Nick. Saya mohon, non Alea jangan bawa masalah ini ke nyonya Miranda," lanjutnya.
Andin masih mengira Alea hanya karena kesal hingga ingin mengadu pada nyonya Miranda. Sejak ia kenal dengan Alea, tak pernah sedikitpun Alea berniat lari dari tugas dan kewajibannya sebagai calon istri Nick. Hingga kini mereka menikah, Alea bahkan terlihat puas setelah melihat tampang Nick yang rupawan.
Misi Alea kali ini adalah secepatnya memiliki anak laki laki dari Nick. Namun apa jadinya jika Nick tidak pernah datang menyambangi Alea. Untuk itulah Andin ada, untuk membantu Alea mewujudkan tugasnya.
Beberapa saat setelah keluar dari kawasan perkebunan, Alea terlihat sibuk mengotak atik ponselnya. Ia berulang ulang menghubungi nomor dari kontaknya.
Dan Andin, saat itu juga ia menghentikan mobil di pinggir jalan di depan sebuah klinik kecil
"Tolong hubungi ibumu, tanyakan apa nyonya Miranda ada di rumah atau mungkin dia sedang di kantor. Trus jam berapa biasanya nyonya pulang ke rumah," pinta Alea dengan mimik serius.
"Kamu! kamu serius mau temui nyonya? Kalau kamu ga bisa atasi Nick biar aku yang atasi." Dengan Nada heroik, Andin berusaha mencegah Alea membawa masalah Nick pada nyonya Miranda.
"Aku ingin bercerai. Aku serius, aku tidak bisa menjalin hubungan dengan pria sepertinya. Apalagi sampai memiliki anak," ujar Alea penuh keyakinan.
Andin terpaku. "Ka kamu serius?" Tak percaya dengan apa yang di dengarnya, Andin kembali bertanya, "kamu benar benar ingin bercerai?"
"Hubungi ibumu, apa nyonya Miranda sedang di rumah, jika tidak tanyakan jam berapa biasanya ia pulang?" ulang Alea.
Andin mengambil ponsel dari atas dashboard mobil kemudian menghubungi ibunya yang adalah kepala pelayan di rumah nyonya Miranda.
Tak butuh berapa lama, panggilan Andin sudah terhubung dengan ibunya.
"Ngapain jam segini telpon, mama lagi sibuk," omel mamanya.
"Ma, Andin cuman mau tanya. Nyonya Miranda dirumah?"
"Nggak ada, nyonya keluar kota," sahut ibunya ketus.
Alea langsung mengambil ponsel di tangan Andin.
"Berapa lama nyonya diluar kota tante?" tanya Alea ramah.
"Eh non Alea, tante juga kurang tau. Nyonya berangkat subuh tadi, yang pastinya nyonya akan kembali sebelum acara keluarga." Suara bu Eni seketika menjadi ramah.
"Tante info kan ke Alea ya jika nyonya sudah kembali, Alea ingin bertemu nyonya."
"Baik baik non, akan tante kabari melalui Andin," sahut bu Eni.
Alea mengembalikan ponsel ke tangan Andin.
"Bay ma," ucap Andin tak kalah ketus, kemudian menutup panggilan tersebut. Mata Andin kini beralih menatap Alea.
"Lea, kamu serius mau cerai?" tanya Andin dengan nada lebih halus sebagai seorang sahabat.
Alea mengangguk.
"Alasannya?" tanya Andin lagi.
"Andin nggak boleh tau. Hal ini terlalu sensitif untuk di bicarakan ke orang lain. Termasuk Andin yang mulutnya suka ceplas ceplos sembarangan," gumam Alea dalam hati.
"Suatu saat aku akan beritahu alasannya, saat ini kamu cukup menjadi teman yang mendukung keputusan ku. Selain dirimu tidak ada lagi orang yang bisa aku percaya Andin," Alea memegang tangan Andin memohon mengertiannya.
"Ya sudah, aku nggak tanya lagi alasan nya, apa pun itu aku yakin ada yang kamu tidak suka dari Nick atau mungkin keluarganya. Hmm," Andin menghela nafas panjang kemudian melanjutkan lagi ucapannya, "keluarga Madison memang sangat complicated."
Andin keluar terlebih dahulu dari mobil membukakan pintu untuk Alea.
"Kita ngapain disini?" tanya Alea keheranan.
"Kita butuh tenaga medis untuk perban kaki mu, lupa?"
"Tapi ini klinik bersalin, kamu ga salah?" Alea mengerutkan keningnya tak ingin keluar dari mobil namun Andin sudah menyiapkan sendal untuk Alea keluar.
"Hanya ini klinik terdekat dari rumah, lagian cuman perban doang, bidan bidan di sini pasti ahli," tutur Andin asal.
"Kalau tau mau ke sini, mending aku ga ikut. Cuman perban aku juga bisa." Dengan berat hati Alea mengikuti kemana Andin menuntunnya sambil ngedumel sendiri.
.
.
.
Next
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments