"Nick terlihat berlari dengan frustasi, sedang kan dari kajauhan terlihat seorang pria sedang mengejarnya.
Merasa ada yang tak beres, Alea menarik kain apa saja dari dalam lemari kemudian berlari cepat keluar rumah menuju samping rumah.
Alea menghampiri Nick.
"Nick."
"Nick."
"Nick, ada apa Nick?"
Nick semakin dekat ke arahnya namun melewatinya.
Tak tinggal diam Alea menarik lengan Nick. Saat itu juga larinya mulai melambat kemudian berhenti.
"Tenanglah Nick, ini aku Alea. Nick," Alea mengusap perlahan punggung belakang Nick, ia berusaha membuat pria itu tenang.
Nick bergumam tak jelas sambil mengucek ngucek rambutnya hingga terlihat sangat berantakan. Tubuhnya basah dengan keringat, wajah nya terlihat pucat di terpa dinginnya angin malam.
"Nick, tenang lah. Nick!" Alea menutupi tubuh Nick dengan kain di tangannya karena saat itu ia hanya mengenakan celana boxer berwarna biru.
"Monster, lari para monster datang menyerang bumi. Lari cepat lari," ucap Nick yang tertangkap jelas di telinga Alea.
"Nick, tidak ada monster di sini. Hanya ada aku Alea. Nick!"
Masih komat kamit tak jelas, Alea pun memeluk pria itu.
"Ada apa Nick, kenapa jadi seperti ini?" tanya Alea tak berharap di jawab oleh pria yang sedang kehilangan akal sehat itu.
Sesaat kemudian, seorang pria yang ikut mengejar Nick tiba di situ.
"Nona Alea," sapa pria itu.
"Saya akan membawa tuan kembali ke auditorium."
"Nick harus ikut dengan ku, aku akan membawanya ke dokter," tegas Alea.
"Tidak boleh nona, sebentar lagi dokternya akan tiba," ujar pria itu. Pria yang selalu berada di sisi Nick kemeren ternyata adalah asistennya.
"Tuan, tuan harus kembali bersamaku," kata pria itu kepada Nick.
"Tidak mau, ada Monster. Aku tidak akan kembali, Monster besar itu akan memakanku," jawab Nick sambil menggeleng. Tubuhnya bergetar karena ketakutan.
Melihat hal itu, Alea berinisiatif membawa Nick ke dalam rumah. "Aku akan membawanya masuk."
"Tidak Nona, jika dilihat para pelayan keadaan tuan seperti ini bisa bahaya jika tersebar keluar."
Secara tak langsung pria itu mengatakan bahwa penyakit Nick seperti ini harus di rahasiakan.
Alea kemudian membenarkan ucapannya. "Baiklah, aku akan mengantarnya kembali ke auditorium."
Asisten pria itu menunduk, kemudian berucap, "terima kasih nona."
Perlahan Alea menuntun Nick berjalan ke arah belakang rumah, dimana banguanan besar lainnya berada. Dari rumah utama ke bangunan itu berjarak sekitar 200 meter lebih. Butuh waktu sekitar beberapa menit untuk akhirnya tiba disana, apalagi jika mereka berjalan lambat seperti itu.
Memasuki aula bangunan luas itu, mata Alea kesana kemari mencermati keadaan di sekelilingnya. Banyak sekali jenis tanaman yang dibudidayakan di ruangan itu.
"Lewat sini Nona," Pria itu menunjuk sebuah pintu untuk Alea.
Di dalam ruangan itu, terdapat sebuah dipan yang hanya muat untuk satu orang. Kertas kertas berserakan dimana mana. Terdapat sebuah papan tulis didinding ruangan itu. Berbagai macam rumus matematika tertera di papan itu.
"Tempat apa ini?" batin Alea.
"Serahkan tuan kepadaku nona, aku akan mengurusnya," ujar pria itu.
Alea mengangguk. Kemudian kembali mengamati keadaan di sekitar.
Mata pria itu tertuju ke kaki Alea, sepertinya Alea tak mengenakan alas kaki dan dia sudah berjalan jauh membawa Nick kembali dalam keadaan kaki telanjang.
"Saya akan mengantar nona kembali dengan mobil setelah tuan berpakaian. Nona bisa menunggu di luar?"
Alea kembali mengangguk kemudian keluar dari pintu itu.
Karena rasa penasaran, Alea berkeliling disekitar ruangan luas itu. Di tengah aula terdapat sebuah teropong besar, sedangkan di sekitar beberapa jenis bibit tanaman sedang di budidayakan di dalam pot.
"Tempat apa ini?" Alea menatap ujung koridor kemudian menuju ke sana. "Bengkel?"
Beberapa saat kemudian pria kurus itu keluar dari kamar yang berantakan tadi.
"Nona Alea, perkenalkan saya Petra, asisten tuan Nick. Kedepannya jika-"
"Tempat apa ini?" Potong Alea.
"Tempat sebagian besar tuan menghabiskan waktunya," jawab Petra seadanya.
"Apa yang terjadi dengan Nick. Sudah lama dia seperti itu?" tanya Alea lagi.
Petra diam tak menjawab.
"Sudah lama Nick seperti itu?" tanya nya lagi dengan sorot mata yang lebih serius.
Petra masih tak berani buka suara.
"Katakan, aku istrinya. Tentu aku harus tau keadaan suamiku!" desak Alea membuat Petra menunduk.
"Penyakit tuan sangat rahasia, tidak banyak orang yang tau. Saya takut jika saya salah bicara malah akan memperumit keadaan," jawab Petra terbata.
"Nyonya Miranda tau soal ini?" tanya Alea dan di jawab anggukan oleh Petra.
"Sudah berapa lama dia seperti ini?"
"Saya tidak ingat persisnya. Setau saya tuan sudah mulai berobat ke psikiater sejak kecil. Kambuhannya sejak ia remaja," jelas Petra.
"Nick mengidap gangguan kejiwaan?" tanya Alea lebih jelas.
Petra menunduk tak berani menjawab.
"Ya dia gila," gumam Alea pelan sambil tersenyum sinis. Seakan sedang menertawakan nasibnya sendiri.
"Tuan tidak gila," bantah petra.
Alea menatap Petra.
"Kalau bukan gila apa namanya?"
"Tuan tidak gila, dia hanya tidak tahan terhadap tekanan saja. Akhir akhir ini, sejak tuan tau ia akan menikah, ia mulai murung tak bersemangat. Jika terlalu banyak berpikir efeknya seperti ini," ujar Petra geregetan membela majikannya agar tak di anggap gila.
"Oh ternyata seperti itu. Karena masalah pernikahan. Nick tidak ingin menikah. Aku mengerti." Alea manggut manggut kemudian berjalan keluar dari aula luas itu. Semakin lama langkahnya semakin cepat kemudian berlari pergi dari situ.
"Miranda menyiapkan ku selama bertahun tahun untuk menjadi istri sempurna anaknya yang gila. Belajar musik kesukaan Nick, belajar memasak makanan kesukaan Nick. Berlatih hobby memanah dan berkuda kesukaan Nick. Bahkan aku bela belain belajar panjat tebing karena semasa sekolah Nick adalah juara panjat tebing antar sekolah. Haha, bukankah ini penipuan namanya?" batin Alea.
Matanya berlinangan airmata seakan menangisi semua yang telah ia lalui untuk Nick. Ia dipaksa mempelajari sesuatu yang bukan keinginannya, bahkan pakaian dan model rambutnya sekalipun di atur oleh Miranda agar terlihat sempurna di mata Nick.
"Nick. Nick. Semuanya Nick! Argghhh," geram Alea sebelum akhirnya tiba di pintu belakang rumah.
Entah ia harus marah kepada siapa. Nick juga seharusnya adalah korban. Miranda! Ya Miranda si perencana ulunglah yang membuat Alea berakhir dengan Nick si pria cacat mental. Miranda merencanakan semua dengan matang.
Dan Alea, karena uang ia rela menerima perjanjian dengan Miranda tanpa memikirkan konsekwensi yang harus di terimanya.
De depan pintu, Alea berdiam sejenak mengatur nafasnya yang masih tersengal, mengusap sisa sisa airmata di pelupuk mata kemudian menatap kaki telanjang yang telah berlari lumayan jauh tanpa alas kaki. Kakinya yang kemarin sudah perih, kini terasa semakin perih akibat luka lecet dan kemerahan di beberapa bagian. Setelah siap, Alea pun melangkah masuk melalui pintu tersebut.
.
.
.
Next
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments