Kewajiban Seorang Istri

“Tapi aku tidur dimana mas?” Tanya Nazwa polos.

“Tentu aja di kamarku. Kamarku ada lantai atas.” Ucap Adnan sambil berlalu menuju kamarnya.

Kamar mas Adnan, kenapa nggak di kamar yang lain? Apa mas Adnan mau meminta haknya sebagai suami? Nazwa menggelengkan kepalanya begitu sampai di depan pintu kamar Adnan, setelah bersusah payah menaiki tangga karena kebaya yang di pakainya.

Pintu kamar terbuka setengahnya, karena di lantai atas hanya ada satu kamar, Nazwa yakin kalau kamar yang di maksud Adnan adalah kamar ini.

Terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi, menandakan Adnan tengah membersihkan dirinya.

Ceklek.

Adnan muncul dari balik pintu kamar mandi dengan handuk yang hanya dililitkan di pinggangnya. Melihat Adnan yang bertelanjang dada, serta tubuhnya belum sepenuhnya kering, membuat hatinya berdegup tidak karuan. Takut Adnan menyadari rona merah pada pipinya, Nazwa memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Mandilah dulu, ini handuk baru.” Adnan menyodorkan handuk pada Nazwa.

Nazwa menerima handuk yang di berikan oleh Adnan.

“Dan ini pakaian ganti yang tadi kamu bawa. Aku turun dulu pesan makanan. Kalau sudah selesai mandi, turunlah.” Adnan memberikan goodie bag berwarna putih.

Nazwa mengangguk kecil, dia sendiri sampai lupa, kalau tadi sempat membawa baju ganti.

Nazwa turun setelah cukup lama berada di kamar. Di lihatnya Adnan tengah membuka bungkus makanan yang baru saja datang melalui ojek online.

Nazwa kini berdiri di dekat meja makan, Adnan yang sedang minum membelakanginya sampai tidak sadar ada orang yang datang.

Uhuk. Uhuk. Uhuk.

Adnan baru saja menelan air yang diminumnya, terbatuk-batuk karena terkejut melihat perempuan yang ada di hadapannya.

“Astaghfirullah mas, pelan-pelan minumnya. Lain kali, kalau minum itu duduk. Rasulullah itu mengajarkan untuk duduk saat makan ataupun minum.” Nazwa mulai ceramah.

“Astaga, aku pikir hantu. Lagian biasanya kan kamu pakai kerudung, kenapa dibuka? Dulu juga kamu pernah bilang, kalau kerudungmu itu untuk menutup aurat.”

“MasyaAllah mas, bukan astaga. Lagian mana ada hantu secantik aku?”

“Perempuan memang di wajibkan menutup auratnya di hadapan yang bukan mahramnya, sedangkan mas sekarang adalah suami aku, jadi nggak apa-apa aku buka kerudung dan auratku halal untuk mas.” Jelas Nazwa.

Mendengar penjelasan dari Nazwa, Adnan hanya diam saja. Tangannya sibuk mengambil makanan.

Makan malam berlalu, selesai mencuci piring, Nazwa tidak melihat keberadaan Adnan. Laki-laki itu pergi ke ruang kerjanya, dia berpesan pada Nazwa untuk tidur lebih dulu.

Meskipun ragu, Nazwa mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur milik Adnan. Ah iya, sekarang tempat tidur itu juga miliknya. Tangannya terulur menarik selimut untuk menutup bagian tubuhnya.

Awalnya Nazwa belum mengantuk, dalam hatinya terus berdzikir hingga matanya terpejam dan tertidur dengan pulas.

.

.

.

Pukul 03:00 dini hari, Nazwa terbangun untuk melaksanakan sholat malam. Ternyata Adnan tidak ada di kamar, jadi semalam Nazwa tidur sendirian.

Adnan mulai merasa kurang nyaman tidur di atas kursi kerjanya, dia memutuskan untuk tidur di sofa yang ada di kamar. Saat membuka pintu, Adnan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sekecil apapun, agar Nazwa tidak terbangun.

Namun perkiraan Adnan salah, perempuan yang di sangkanya masih tidur, terlihat tengah duduk sambil berdoa di atas sajadah setelah melaksanakan sholat malamnya.

“Mas Adnan baru mau tidur?” Tanya Nazwa yang menyadari suaminya masuk ke dalam kamar.

“Iya.” Jawabnya bohong, padahal sejak tadi dia tidur di ruang kerjanya.

“Kenapa tidur di sofa?”

“Nggak apa-apa.”

“Tidurlah di tempat tidur mas, kalau tidur di sofa badan mas bisa sakit semua. Aku nggak tidur lagi kok, jadi mas bisa leluasa tidur disana.”

“Kenapa nggak tidur lagi?”

“Tanggung shubuh, mas.”

Adnan hanya mengangguk, lalu pindah ke tempat tidur.

“Oh iya, aku boleh tetep kerja kan mas?”

“Aku kan nggak pernah bilang kamu nggak boleh kerja.” Adnan bertanya dengan posisi tertidur dan mata yang terpejam.

“Aku cuma minta izin sama kamu mas. Tapi makasih banyak, mas udah izinin aku kerja.” Ucap Nazwa dengan berlalu keluar kamar.

Aroma masakan yang menguar dari dapur ke seluruh ruangan, sampai tercium oleh indra milik Adnan yang tengah menuruni tangga dengan pakaian yang sudah rapi.

Selama menikah dengan Salsa, sekalipun dia tidak pernah melihat istrinya memasak. Adnan selalu makan di luar, tapi dia tidak pernah mempermasalahkannya.

Bahkan saat di ajak sholat pun, Salsa selalu ada saja alasan. Berbeda dengan Nazwa, Adnan merasa bahwa Nazwa adalah sosok istri yang sempurna. Andai saja sejak awal dia menikah dengan Nazwa, bukan Salsa.

Terlalu larut dalam pikirannya, Adnan segera menepis pikirannya agar tidak terus membandingkan kedua istrinya.

“Sarapan dulu mas, mau teh atau kopi?” Tawar Nazwa.

“Kopi.”

Dengan sigap Nazwa membuatkan kopi untuk Adnan, tidak butuh waktu lama, kopi sudah tersedia di hadapan Adnan.

Nazwa menyendokkan nasi, lauk dan sayur untuk Adnan.

“Lain kali, kamu nggak perlu masak buat aku. Aku biasa makan diluar. Aku nggak mau kalau sampai ngerepotin kamu dan berhutang budi karena ini.” Ketus Adnan.

Deg.

Sesaat Nazwa merasakan kecewa setelah mendengar perkataan yang diucapkan oleh Adnan.

Hutang budi katanya?

Nazwa mengatur napasnya terlebih dahulu, untuk menetralkan emosinya.

“Ini adalah bentuk tanggung jawab aku sebagai seorang istri yang melayani suaminya. Aku ikhlas mas, bukan mau buat kamu berhutang budi sama aku.”

“Kenapa sekarang kamu berlagak seorang istri? Sedangkan beberapa hari yang lalu, kamu terus kukuh sama pendirian kamu yang nggak mau nikah sama aku?”

Matanya mulai berkabut karena menahan diri sekuat tenaga, agar tidak menangis di hadapan Adnan. Tapi sayang, air matanya luruh begitu saja.

“Awalnya aku emang nggak mau menikah sama kamu mas. Tapi kamu sendiri yang mengingatkan aku, gimana keras kepalanya kak Salsa. Apa kamu pikir aku setega itu mas? Membiarkan kakakku sendiri menyerah dengan hidupnya.” Lelehan air matanya terus mengalir dengan deras.

“Kamu pikir hati aku nggak sakit, mas? Nerima kenyataan kalau aku, menjadi madu kakakku sendiri.”

Adnan masih terdiam, membiarkan Nazwa mengeluarkan isi hatinya.

“Tapi setelah statusku sekarang adalah seorang istri, meskipun hanya istri kedua. Aku punya hak dan kewajiban sebagai seorang istri. Prinsip aku, aku hanya mau menikah sekali seumur hidup. Jadi aku mau nerima dan jalanin pernikahan ini dengan niat ibadah.”

Nazwa berlalu meninggalkan Adnan yang masih saja diam, dia tidak ingin berlarut dalam kekesalannya. Meskipun hatinya terus mengucap istighfar, agar dapat meredam emosinya.

Dua puluh menit berlalu, Nazwa turun dari kamar dengan pakaian yang lebih rapi. Menghampiri Adnan yang masih berada di meja makan, namun sama sekali tidak menyentuh makanan yang di siapkan oleh Nazwa.

Nazwa mengulurkan tangannya pada Adnan untuk berpamitan.

“Na...”

“Aku berangkat dulu mas, assalamualaikum.” Pamit Nazwa.

“Wa... Walaikumsalam.”

Apa aku udah keterlaluan sama Nazwa? Dia pergi tanpa sarapan. Padahal aku menunggunya supaya bisa sarapan bareng. Batin Adnan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!