Masa Lalu

Gue yang menunduk malu, tersentak saat ada suara yang tidak asing memanggil gue. Lalu, gue kembali terlonjak saat Theo membuka suara bertanya.

Kini gue menatap Theo, seolah memohon agar segera membawa gue pergi ke dapur atau ke mana pun asal tidak di sini.

Gue enggak berani menoleh ke belakang, tepat orang itu memanggil gue. Seolah mengerti gelagat gue yang kurang nyaman. Theo pun segera membawa gue untuk masuk ke dapur. Namun, langkah kita terhenti saat suara orang itu kembali menginterupsi untuk menunggunya. Suaranya begitu dekat. Gue rasa, dia sekarang tepat di belakang gue.

“Sorry sebelumnya, Bro. Gue sama partner gue harus kerja dulu, ini udah masuk jam kerja. Kita permisi,” ucap Theo dengan tegas dan menarik gue masuk ke dapur dengan pasti.

Begitu sampai di dapur, refleks gue memeluk Theo. Gue terharu dengan sikap dia yang bagaikan pahlawan buat gue. Rasanya gue ingin nangis , tetapi sepertinya terlalu berlebihan.

“Makasih ya, Yo. Lo emang terbaik,” ujar gue tulus.

Tidak ada sahutan dari Theo, dan gue baru menyadari jika tubuhnya menegang kaku. Theo gak mati kan?

Gue melepaskan pelukan segera saat para staff dapur dan karyawan dengan kompak menyoraki kita, lebih tepatnya sih ke Theo.

“Tom Jerry KITAAAA.”

“Gerakan bawah tanah.”

“Official”

“Theo sampek lupa nafas tuh kayaknya.”

Masih banyak sorakan lainnya dari teman-teman kerja membuat wajah gue memerah padam menahan malu. Theo pun segera sadar dan malah cengengesan. Entah dia memang tidak punya malu apa bagaimana.

Gue segera melangkah cepat ke arah ruang ganti, guna memakai seragam, menghiraukan sorakan dan suara alat masak yang kini mulai terdengar kembali berisik.

Bernafas lega saat mulai bekerja, karena gue sudah tidak melihat batang hidung mantan gue. Seperti biasa, seramai apa pun pengunjung, kita tidak lupa satu sama lain. Para waitress yang dengan suka rela membawakan minuman ke para staff dapur dan begitu pun sebaliknya. Para staff dapur dengan suka rela pula memberi para waitress makanan untuk mengganjal perut kita selama jam kerja.

Memang restoran tempat gue bekerja ini cukup sering ramai pengunjung. Di mana letaknya yang strategis, juga pemandangan laut yang menyegarkan dan makanan yang disuguhkan pun tidak di ragukan kelezatannya. Harga yang terjangkau untuk para pekerja maupun mahasiswa dan juga sangat nyaman untuk para pekerja wfh , membuat pengunjung betah berlama-lama di restoran. Saat weekend pun restoran tak pernah sepi, justru semakin penuh hingga ke area rooftop. Terkadang juga ada live musik.

Tak terasa untuk hari ini selesai sudah. Teman-teman mulai merecoki gue dengan pertanyaan-pertanyaan perihal pelukan gue dengan Theo yang tidak sengaja itu. Gue hanya merotasikan mata gue mendengar ledekan-ledekan dari mereka.

“Theo orangnya gimana kalo lagi berdua sama lo, Dhir?” tanya Fika.

“Sweet gitu gak sih, secara dia kan anaknnya humoris banget dan loyal gitu,” lanjut Sisil.

“Udah sejauh apa hubungan kalian sampek bisa-bisanya pelukan di depan kita,” tambah Dika yang ternyata kelakuannya juga rempong.

“Gue gak ada hubungan apa-apa sama Theo gaes,” jawab gue lelah karena sedari tadi mereka tidak kunjung percaya sama ucapan gue.

“Eh ada Dhira, searah kan ya sama Theo. Nanti titip ini buat Theo ya. Dia masih ada di toilet, saya udah buru-buru ada janji sama temen. Makasih” ujar Chef Adrick.

“Eh eh Chef kok ...?” jawab gue terputus karena Chef Adrick telah melangkah cepat dan menghilang dari hadapan gue.

“Yaudah sih, Dhir, kan lo emang searah sama Theo. Tungguin aja. Kita balik dulu ya, udah keburu malem,” pamit Fika yang di setujui oleh Sisil.

“Jangan main gelap-gelapan loh. Nenek bilang itu berbahaya,” ledek Dika menggunakan lirik lagu yang pernah viral pada masanya itu, dan tanpa berpikir panjang, langsung gue hadiahi tendangan kakinya si Dika.

Gue menghela nafas kasar dan berlalu untuk keluar dari restoran. Membolak-balikan kotak coklat dengan penasaran yang di beri oleh Chef Adrick untuk di kasih ke Theo.

“Nadhira.” Panggil seseorang begitu lembut.

Gue terkejut seketika menoleh ke arah orang tersebut. Gue hendak masuk ke restoran kembali saat dia kembali mencegah gue.

“Please ... Nad. Gue cuma ingin nyapa lo aja,” mohonnya.

Gue memberanikan untuk menatap tepat di matanya. “Udah kan?” jawab gue dingin.

“Lo ... apa kabar?” tanyanya lagi.

“Seperti yang lo liat. Gue baik. Dan lo bisa pergi sekarang.”

“Lo benci ke gue?”

“Pergi Dit! Jangan ganggu hidup gue lagi,” cetus gue.

Gue mendengar pintu restoran yang terkunci, segera gue menoleh dan mendapati Theo yang kini menatap ke arah gue dengan tenang. Tangan yang dia masukkan ke dalam saku jaketnya, rambut ikalnya yang acak-acakan membuat gue terperangah sebentar sebelum suara Aditya, masa lalu gue kembali terdengar.

“Baiklah. Mungkin sekarang lo masih kaget, Nad. Gue bakalan dateng lagi besok. See you Nadhira,” pamitnya.

Theo melangkah ke arah gue. Tanpa kata apapun dia membawa gue ke dalam mobilnya. Di dalam perjalanan, terasa dingin. Bukan dingin dari AC ataupun angin malam, hanya saja aura di dalam mobil ini yang begitu dingin. Gue merasa dejavu. Saat pertama kalinya gue pulang dengan Theo, namun malam ini terasa lebih mencekam.

“Sorry,” ujar gue tiba-tiba.

Theo menoleh sebentar ke arah gue, dan kembali fokus ke jalanan depannya. “Buat apa?”

“Lo jadi harus liat gue ribut sama mantan gue.”

“Oh ... Jadi itu mantan lo?” tanyanya lagi.

“Hmm ... Eh iya, ini titipan dari Chef Adrick,” ucap gue lantas menyodorkan kotak berwarna coklat yang sampai sekarang gue enggak tau isinya.

Thek hanya melirik sekilas dan bergumam, “Hmm ... taruh belakang.”

Gue jadi aneh dengan situasi ini. Kenapa Theo jadi sok kalem begini coba? Kesambet apaan nih cowok jadi diem gini?

“Lo kenapa, Yo? Ada masalah?” tanya gue akhirnya.

“Gak ada. Gue gak apa-apa.”

“Oh ... Tapi gak biasanya lo anteng gini?” tanya gue penasaran.

“Apa jangan-jangan lo ...”

Gue melihat Theo yang sedikit salah tingkah. Sepertinya dugaan gue benar. Buktinya si cowok tengil ini bisa jadi seperti ini tingkahnya.

“Lo ketemu penunggu toilet di restoran ya, Yo?” lanjut gue dengan heboh.

Theo berdecak dan memutar matanya malas. “Mana ada hal kek gitu di restoran, Dhir!” tukasnya.

“Ya siapa tau! Lagian muka lo asem bener keliatannya. Mana sok cool lagi. Biasanya juga cengengesan,” jelas gue panjang lebar. Gue sudah tidak peduli dengan dia yang jadi atasan gue, lagian sudah bukan jam kerja juga.

“ANJ*NG!” umpat Theo yang mengerem mendadak.

“Kucing kali bukan anjing,” jawab gue dengan santainya begitu melihat kucing yang menyebrang tepat di depan mobil Theo.

Theo melirik sinis ke arah gue, tanpa tanda-tanda melajukan mobilnya kembali. “Kok gak jalan lagi. Udah malem loh ini,” lanjut gue dan membenarkan posisi duduk gue senyaman mungkin dengan bersandar.

“Dih enak banget lo, menyamankan diri buat tidur?” sungutnya.

“Biasannya juga gue gini, lo santai aja,” jawab gue mencoba untuk sabar dengan tingkah Theo yang sudah seperti cewek PMS.

“Jadi ngelunjak ya, lo Dhir!” balasnya.

Gue pun tersulut emosi mendengarnya. Melepaskan sabuk pengaman, gue sudah bersiap untuk turun dari mobil.

“Mau ke mana?” tanyanya lagi.

“Mau pulang sendiri, lebih punya harga diri!” jawab gue.

Theo mencekal tangan gue saat gue sudah siap membuka pintu mobil. “Aku anter pulang,” putusnya, lantas memakaikan sabuk pengaman gue.

Mobil kembali jalan namun keadaan di dalamnya semakin bikin gue ingin segera sampai. Begitu sampai, gue bergegas membuka seatbelt dan pintu, guna masuk ke kosan gue sesegera mungkin. Berkali-kali gue mencoba buat membuka pintu mobil tetap tidak bisa.

Akhirnya lelah dan emosi yang gue tumpuk sedari tadi pun meledak. “LO KENAPA SIH??” bentak gue.

Gue melihat Theo yang terlonjak kaget mendengar bentakan gue yang tersulut emosi untuk pertama kalinya. “Lo kalo cuma tetep mau diem, mending cepet bukain pintunya. Gue capek, mau tidur!” sergah gue.

Cukup lama gue mengatur nafas, agar emosi di dalam diri gue meredam. Gue hembusin nafas kasar karena tak kunjung mendapat jawaban dari Theo. Sesaat gua akan kembali melontarkan kata, gue mendengar dia yang pada akhirnya bersuara.

“Sorry,” ucapnya singkat dan padat.

Jelas itu membuat gue bertanya-tanya maksudnya apa. Akan tetapi suara kunci pintu mobil yang terbuka membuat gue tersadar dan memilih untuk segera keluar.

Bukankah itu sudah cukup kode keras buat gue mengerti agar gue segera keluar dari dalam mobilnya. Begitu gue menutup pintunya, lantas saja Theo mengendarai mobilnya dengan cepat. Gue terlonjak kaget namun terbesit kekhawatiran akan dia di jalan dengan mengendari mobil seperti itu.

Terpopuler

Comments

Nabil Az Zahra

Nabil Az Zahra

nyimak

2023-07-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!