Tak terasa, sudah dua bulan gue ada di perantauan. Gue rasa tidak terlalu buruk juga, meskipun harus pontang-panting, pagi hari bekerja di swalayan hingga sore dan malamnya lanjut di restoran.
Memang tidak semudah itu. Namun gue merasa lebih damai, seorang diri. Bukan berarti gue selalu sendirian terus ya.
Gue udah dekat banget sama Sisil, Fika dan Dika teman gue di restoran. Lalu di toko ini, gue cukup akrab sama Vani. Ada satu orang lagi sih di swalayan ini, cuma gue tidak terlalu dekat. Orangnya begitu pendiam, tapi baik kok. Namanya Anton.
Gue mulai kerja di swalayan ini baru sebulan, sekitar dua minggu setelah gue kerja di restoran.
Rutinitas gue sebulan belakangan ini, hanya kerja, kerja dan tidur. Eh, tidak juga sih. Tiap hari minggu pagi, gue selalu direcoki oleh Theo.
Dia selalu on time di depan pintu kos gue, untuk mengajak gue olahraga. Jiwa-jiwa malas gue meronta-ronta. Untuk kali pertama, gue sungkan untuk menolak. Tetapi tidak di minggu berikutnya. Gue benar-benar lelah dan capek. Akan tetapi, tetap saja gue diseret paksa dengan dalih olahraga sehat untuk badan.
Weekend menurut gue adalah hari yang sangat pas buat gue untuk re-charger diri gue, alias rebahan. Sendirian tanpa bertemu siapa pun jenis manusia.
Akan tetapi keinginan gue harus pupus, saat gedoran di pintu kamar kos gue, tak kunjung berhenti.
Dengan ogah-ogahan gue membuka pintu, dan ya, ada seonggok manusia yang sudah gue duga sebelumnya, kini telah memamerkan senyum lebarnya. Tak lupa juga 2 kantong plastik makanan.
Muka gue sudah kusut sejadi-jadinya, saat Theo menyerobot masuk dalam kamar kos gue.
“Ngeliat tampang lo kusut bener, tapi kamar lo rapi,” sindir Theo begitu masuk ke dalam kamar kos gue.
Ya begitulah aslinya si Theo ini, suka ngeselin. Mana seperti rumah sendiri, langsung nata makanan yang dia bawa, tanpa tanya dulu ke gue.
Gue mendengus melihat tingkahnya, “Serasa rumah sendiri ya, Pak?”
Dia hanya menoleh dan berdecak mendengar balasan sindiran dari gue.
“Gue tuh mau me time, Theo. Lo gak ada kerjaan apa, pagi-pagi udah nangkring di tempat kos gue,” ucap gue dan memilih duduk di kasur melihat Theo yang sibuk sendiri menata makanan yang dia bawa.
Theo membawa makanan itu tepat di depan gue, alias lesehan. “Justru itu, karena gue tau lo bakal me time, jadinya gue ke sini bawain lo makanan. Takutnya lo mager buat makan,” dalihnya.
“Kalo gue laper, gue bakalan makan juga kali, gak bakal mager,” sungut gue.
“Ya gak ada yang tau kan, lo kan magernya kebangetan, jadinya gue inisiatif ke sini. Habis ini lo juga bisa me time. Sekarang temenin gue makan, itung-itung terimakasih ke gue,” balasnya cengengesan.
Gue mendengus mendengar jawabannya, namun tak alih gue memakan makanan yang dia bawa. Soto ayam di pagi hari, tidak buruk juga. Kuahnya bikin segar.
By the way, Theo tidak hanya membawa soto, ada jajanan pasar juga. Seperti kue pukis, dan kue lumpur. “Lo pagi-pagi udah keliling ke mana aja sih, kok udah bawa jajanan pasar juga,” tanya gue dengan menikmati kuah soto yang begitu segar.
“Ya dari pasar dong. Makanya gue bawa jajanan pasar. Gue kan rajin gak kayak lo,” ledeknya.
Gue memutar mata malas mendengar ledekannya.“Habis ini lo pulang,” ucap gue.
“Gitu banget sih, Dhir! Sampek ngusir. Lagian gue cuma bentaran kok, libur dulu kita olahraganya."
“Gue tanya ya, bukan ngusir. Lo mah baperan.”
“Cie lo takut gue tinggal ya?” ucapnya sambil menaik turunkan alisnya.
“Bodo, Yo bodo!” sahut gue memilih untuk menikmati kembali sarapan gue.
Theo yang sudah menyelesaikan sarapannya tertawa terbahak mendengar gue yang mulai kesal. Gue gak menghiraukannya.
“Gue pulang dulu, Dhir. Gak usah kangen gue loh ya,” pamitnya.
Gue hanya memandangnya sinis. “Eh nanti gue masuk malem, soalnya masih ada urusan, gue jemput lo deh nanti. Kita barengan. Biar lo gak nahan kangen ke gue,” lanjutnya.
“Serah lo dah. Dah sana pergi. Hushh hush,” usir gue.
Sesaat kepergian Theo, gue beresin alat makan dan kembali menyapu kamar gue biar bersih. Gue pun bergegas mandi dan tidur. Dalam keadaan perut kenyang dan badan yang telah bersih membuat gue sesegera mungkin masuk dalam mimpi.
Theo menepati ucapannya, jam masih menunjukkan pukul 17.00 dan dia sudah nangkring di kosan gue. Untung gue sudah mandi dan rapi siap untuk berangkat. Akhirnya, kita pun berangkat bareng ke restoran.
Begitu sampai di tempat parkir, kita turun dari mobil. Bagai pasangan kekasih yang hendak dinner romantis di penghujung minggu. Padahal kita mau nguli. Pikiran absurd gue ada-ada aja.
Begitu sampai di depan pintu restoran, gue sontak melotot melihat ke dalam restoran dan tanpa sengaja menahan lengan Theo. Gue menarik lengan Theo ke tempat parkir.
Theo hanya mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan tingkah laku gue.
Saat sampai di tempat parkir, gue menatap Theo yang ternyata dia sedang menatap gue bertanya-tanya.
“Restoran ini gak ada pintu belakang yaa?” tanya gue panik.
“Ada kok. Cuma gue lagi gak bawa kuncinya. Kenapa?” jawabnya santai.
Gue yang semula senang kembali menelan kecewa.
“Ada pintu samping kalo lo lupa,” lanjutnya.
Mendengar itu gue berbinar senang karena baru teringat pintu samping restoran.
“Tumbenan lo takut ke pengunjung,” tanyanya lagi dengan mengangkat sebelah alisnya.
Gue bingung mau menjawab apa. Haruskah gue jujur atau bohong ke Theo. Tapi buat apa juga Theo tahu hal kayak begini. Akan tetapi gue enggak pintar berbohonh. Mana Si Theo mulai mengintimidasi juga.
“Bukannya takut sih, Yo. Cuma kan gak enak gitu, lagi penuh pengunjung di dalam,” kelit gue.
“Gak usah berkelit deh. Ada siapa sih di dalem?” tanyanya dengan menyipitkan mata. “Rentenir ya, lo punya hutang ya, Dhir! Lo nunggak berapa lama?” lanjutnya menebak dengan hebohnya.
Rasa-rasanya gue ingin sekali untuk menggeplak kepalanya si Theo. Bisa-bisanya orang ini berpikir sejauh itu. “Lo mikirnya kejauhan.”
“Ya terus kenapa?” tanyanya mulai memaksa.
Gue tarik lagi tangannya, enggak peduli gue, meskipun dia salah satu atasan gue di restoran. Dari pada kelakuannya menjadi-jadi, bisa-bisa kita telat masuk.
“Udah deh, kita lewat pintu samping aja. Keburu telat,” ajak gue.
“Ya gak di seret gini juga, Dhir!"
"Elah berasa karung gue di seret kek gini,” protesnya.
“Ya udah diem dulu deh, Yo. Jangan berisik! Nanti ngeganggu pengunjung yang lagi menikmati makannya,” sungut gue.
“Lo sih gak ada jiwa kemanusiaannya sekali, pakek nyeret gue segala,” balasnya.
“Ya kan gak sengaja! Lagian juga biar cepet,” ucap gue berkilah.
“Alah ... alasan aja lo. Bilang aja mau pegang-pegang gue kan, lo,” ucapnya yang bikin gue tambah kesel.
Ingin rasanya gue mencakar wajahnya yang tampan tapi otaknya minim itu. Namun gue masih bisa berpikir jernih, bawa makhluk jadi-jadian di depan gue ini masih atasan gue.
“Udah ya, Yo! Ini udah mau jam enam, kurang lima menit lagi,” desak gue lagi-lagi menyeretnya.
Gue enggak sadar, jika sedari tadi kita sudah jadi bahan tontonan para pengunjung. Saat gue melihat sekeliling dengan kaku, ternyata kita sudah berada di dalam restoran, tepatnya baru masuk dari area samping.
Tidak jauh berbeda dengan Theo. Gue rasa, dia juga enggak sadar saat masuk ke dalam restoran dengan masih ribut. Namun apa-apaan dengan tampangnya itu, yang tampak biasa saja. Malah memamerkan senyuman.
Lantas gue pun menunduk memohon maaf kepada pengunjung karena telah membuat keributan. Gue hendak melangkah dan menyeret Theo lagi, saat terdengar seseorang yang suaranya masih tidak berubah sejak dulu, memanggil nama gue.
“Nadhira?”
“Mampus,” ucap gue dalam hati.
“Siapa?”
Itu bukan suara gue, melainkan Theo yang kini memandang gelagat aneh gue dan orang itu secara bergantian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments