Baru Mulai

Hari pertama di kota baru, gue memutuskan untuk mencari loker. Bermodalkan ojek dan turun di pusat kota, gue berjalan kaki mengelilingi deretan pertokoan, kantor, kafe, perpustakaan, hotel dan restoran.

Tak terasa hari sudah mulai gelap. Akhirnya gue mengakhiri pencarian loker untuk hari ini. Mungkin belum rezekinya. Siapa tahu besok ada di bagian barat kota.

Gue istirahat di kamar kos sepetak yang gue sewa dengan harga yang cukup terjangkau dari tempat lain. Gue harus irit sebelum dapat pekerjaan.

Makan sekali dan hidup seadanya bukan hal baru buat gue, jadi gue masih bisa mengatasinya untuk sekarang. Namun gue berdoa semoga secepatnya gue dapat pekerjaan.

Hidup memang tidak mudah, gue paham sekali. Dan kali ini sudah hampir setengah bulan gue cari pekerjaan, namun tak kunjung gue dapetkan.

Rasanya gue ingin menangis sekencang-kencangnya. Akan tetapi gue sadar, sekarang bukan waktunya menyerah.

Gue kembali bangkit dari tempat duduk di salah satu taman, dan berkeliling lagi untuk mencari pekerjaan. Dengan tekad yang bulat dan semangat, gue terus merapalkan doa dalam hati. “Tuhan ... please apa pun asal halal, mohon beri gue pekerjaan.”

Kini hari mulai sore, perut sudah terasa lapar, dan kaki gue mulai kesemutan. Gue baru sadar kalau gue belum mengisi perut, terakhir mie instan tadi pagi.

Dengan menyeret kaki yang telah lelah, gue terus melangkah, entah untuk mencari loker atau pun tempat makan terdekat.

Bagaikan mendapat oasis di ujung dahaga, mataku berbinar senang mendapati papan kotak yang ditempel di pintu restoran, di depan mata gue. Tepatnya sih harus menyeberangi jalan terlebih dahulu.

Dicari pegawai part time segera!

Waitress

Laki-laki/perempuan

Usia minimal 18 thn

Bisa bekerja sama dengan tim

Mau belajar dan cakap dalam bekerja

Shift :18.00-22.00

Segera saja gue melangkah dengan cepat memasuki restoran itu, melupakan perut lapar dan lelah yang kini menghilang seketika.

Bersyukurnya, hari ini juga, gue sudah bisa langsung bekerja. Gue di beri arahan, cara menyambut pengunjung, bagaimana cara berbicara dengan pengunjung dan terakhir gue diberi seragam.

Gue tidak henti-hentinya bersyukur, dan kelihatan sekali dari raut wajah gue yang memamerkan senyum pepsodent ke siapa pun yang lewat dari pandanganku.

Staff dapur dan pekerja sesama waitress di sini baik dan juga ramah. Walaupun selama bekerja terjadi intonasi suara yang tinggi, namun itu menyenangkan. Semuanya bekerja sama dengan baik, tidak ada senior-junior. Semuanya saling membantu dalam bekerja.

Gue merasa mendapat keluarga baru. Apalagi saat ditengah-tengah bekerja tadi, tiba-tiba perutku berbunyi yang begitu nyaring, membuat salah satu staf dapur. Lebih tepatnya, Assisten Head Chef Theo tertawa terpingkal-pingkal.

Padahal keadaan lagi genting, banyak sekali pengunjung, namun Theo malah sempat-sempatnya pergi ke bagian belakang tempat penyimpanan makanan, guna mengambil roti untuk dia berikan ke gue.

Gue sempat menolaknya, karena ini masih dalam jam kerja. Apalagi gue masih anak baru di sini. Akan tetapi jawaban dengan suara bass, serta gaya tengilnya membuat gue bungkam dan menerima roti itu.

“Dari pada lo pingsan, kan tambah repot. Mending lo makan dulu roti ini, baru lanjut kerja lagi. Makan roti gak bakal ngabisin waktu 3 jam kerja lo kan.”

Jarum jam menunjukkan angka 10, kini semua staff mulai beberes, dan segera bergegas untuk pulang. Begitu pula gue, namun gue masih membuka aplikasi ijo untuk mencari ojek.

Fika, Dika, Sisil rekan waitress gue kini telah berpamitan untuk pulang, begitu pula Chef Reymond, dan Chef Adrick menyapa gue dan segera pergi. Para Assisten Chef satu persatu juga telah pulang.

Gue masih sibuk mencari ojek, hingga bunyi pintu restoran tertutup mengagetkan gue. Menengok ke belakang, gue mendapati Theo sedang mengunci pintu restoran.

Theo melangkahkan kakinya ke arah gue. Bukannya gue geer ya, tetapi arah parkiran sebelah kanan restoran, dan gue berada di depan restoran, tepatnya sih pinggir jalan. Raut mukanya tengil sekali. Padahal menurut gue, Theo ini termasuk kategori ganteng. Rambutnya yang sedikit ikal, hidung bak perosotan, mata sipit dan tajamnya, juga kulit putih yang bersih. Bisa di simpulkan, jika Theo ini sepertinya punya darah mix, blasteran gitu.

“Arah tempat lo tinggal ke mana?” tanyanya tiba-tiba.

“Ke kiri,” jawab gue reflek menunjuk kesisi kiri jalan.

“Ok, tunggu bentar. Gue mau ngambil mobil dulu. Kita bareng aja ya?” tambahnya dan segera berlari kecil ke tempat parkir, tanpa menanti jawaban gue. Bahkan mulut gue masih mangap saat akan membalas perkataannya.

Kini gue berada di dalam mobil yang sama dengan Theo. Sesuai dugaan gue, si Theo ini memang tipe yang banyak bicara. Hal apa pun bisa menjadi panjang jika berbicara dengannya. Itu sebuah nilai plus. Bisa berbaur dengan mudah dan dengan siapa saja. Topik pembicaraan tidak akan mati.

“Lo orang sini, bukan?” tanyanya.

“Bukan, Chef” jawab gue kikuk.

“Santai aja kalo sama gue. Gak usah kaku gitu. Ini di luar jam kerja juga,” jelasnya sambil tersenyum.

Ini orang suka banget senyum, heran banget gue. Padahal kita kenal belum ada 24 jam. Sangat tidak baik buat kesehatan jantung gue. Ok ... abaikan!

Gue cuma sekedar kagum saja, tidak lebih. Gue cukup tau diri kok, untuk tidak menyukainya. Dia terlalu langit untuk gue yang tanah.

“Lo emang pendiem ya orangnya?” lanjutnya mencoba mencairkan suasana.

Gue tertawa canggung mendengarnya. “Gue tergantung orangnya aja sih, kalo gue nyaman, gue rame.”

“Jadi gue bikin lo gak nyaman?” tanyanya lagi.

“Bukan gitu!” panik gue takut dia tersinggung.

Theo tertawa melihat respon gue. “Panik banget sih,” ledeknya. “Gue ngerti kok, lo belum terbiasa aja bareng gue. Kita kan baru kenal. Iya kan?”

“Iya seperti itu,” jawab gue dengan bernafas lega.

“Eh iya ... lo kan belum makan ya. Kita muter-muter aja dulu kali ya, cari makan. Kebetulan gue juga laper nih,” usul Theo dan mulai memindai tempat makan yang masih buka.

Gue bingung mau ngomong apa, jadinya gue cuma diem saja seperti anak penurut yang ikut dengan induknya.

Tibalah kita di salah satu lesehan pinggir jalan tidak jauh dari tempat kos gue. Seperti halnya tadi, Theo banyak bercerita dan mencoba memancing obrolan dengan gue.

Perlakuannya yang santai itu membuat gue akhirnya mulai menyeimbangi obrolannya. Kita pun makan dengan diselingi obrolan-obrolan ringan dan juga tertawa.

“Lo udah lama tinggal di sini, apa masih baru aja?”

”Gue baru setengah bulan lah di sini. Dan gue juga udah muter-muter cari kerjaan, karena duit gue udah mulai menipis. Syukurnya dapet pekerjaan juga hari ini,” jelas gue panjang lebar.

“Lo merantau ke sini, sendiri?” tanyanya lagi.

“Iya sendiri. Lo udah lama di sini?” tanya gue memberanikan diri.

“Nah gitu dong, saling tanya biar gak canggung kita,” jawabnya heboh. “Gue udah lumayan di sini, 3 tahun ada kali ya,” lanjutnya.

“Kenapa lo tadi yang ngunci restorannya?”

“Oh ... itu, pemilik restoran itu temen gue. Jadi gue yang di beri kepercayaan buat megang kuncinya,” jawabnya santai dengan menikmati menyesap kopi hitam.

Mengalirlah obrolan random malam itu yang tak terasa, hingga gue diantar pulang. Begitu pun Theo yang juga kembali ke tempat tinggalnya, yang ternyata tidak jauh dari tempat kos gue.

Hari yang melelahkan, namun gue cukup senang mendapati teman kerja dan tempat kerja yang baik.

Waktunya gue beristirahat guna esok hari lebih segar dan semangat lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!