Pergi Sendiri Pulang Bawa Suami

Pergi Sendiri Pulang Bawa Suami

PERGI

Saat perempuan memasuki usia 20 akhir, dari situlah segala hal menjadi problematik. Entah itu karir, jodoh, kesehatan, keluarga dan berbagai hal lainnya.

Sepertinya itu berlaku juga buat gue. Yap, gue Nadhira Gayatri. Bulan ini, umur gue genap 27 tahun dan itu membuat orang tua dan orang-orang sekitar resah dengan status jomblo gue.

Hampir setiap hari gue harus menulikan telinga mendengar pertanyaan-pertanyaan, ataupun basa basi tetangga yang begitu nyinyir.

“Nadhira temannya Syifa ya? Sekarang Syifa udah mau lahiran anak kedua loh, kamu kapan mau nyusul, Nduk?”

“Iya loh, padahal udah umur 27 kan ya nduk? Udah cukup itu buat nikah. Gak baik nolak-nolak jodoh. Kalo ada yang datang langsung gas aja, Nduk.”

“Iya bener, takutnya nanti jadi perawan tua,” lanjut ibu-ibu yang siapa namanya pun, gue tidak tau.

Kenapa orang-orang ini sebegitu perhatiannya sama gue, sampai paham sekali dengan umur gue. Perihal nikah juga bukan hal yang gampang tinggal nikah. Perjalanan panjang bukan hanya dua orang, tapi juga dua kepala, dan dua keluarga. Tidak segampang itu.

Belum selesai dari situ, sampai rumah pun, gue ditodong pertanyaan yang kurang lebih sama dari ibu gue.

Pulang kerja badan ini terasa lelah dan ingin cepat-cepat untuk tidur, malah mendapat suatu hal yang tambah memusingkan. Gue yang memang sudah muak dari jalan tadi, tampak menjadi semakin kacau.

“Iya Bu, doain aja ya,” jawab gue seadanya mencoba untuk tidak terpancing emosi.

“Ya itu udah pasti dong, Ra. Kamu kan anak Ibu udah pasti di doakan. Tinggal kamunya aja yang usaha. Kamu kurang usahanya sih,” cecar ibu.

“Ibu, aku lagi capek baru pulang kerja. Biarin aku bebersih dulu baru nanti ngobrol lagi ya,” jawab gue mencoba meredam emosi yang sudah siap untuk meledak.

“Iya, Bu. Biarin Nadhira untuk bebersih dulu. Jangan langsung di cecar seperti itu,” bela ayah.

“Ya karena Ayah sih belain Nadhira terus, jadinya dia kayak gitu, gak mikirin orang tua. Ibu malu, Yah!"

"Anak-anak seumurannya udah pada nikah, punya anak. Sedangkan Nadhira?"

"Boro-boro nikah, bawa cowo aja buat kenalin ke kita gak ada! Kerja ya cuma gitu-gitu aja,” cerca ibu.

Gue hanya diam, menenangkan diri gue sendiri. Hal seperti ini bukanlah hal yang baru buat gue. Ibu yang dominan dan ayah yang mencoba menenangkan keadaan. Ibu memang suka meladak-ledak, dan satu-satunya hal yang membuat aku bertahan di rumah ini hanya karena bakti sebagai anak.

Gue melihat ibu yang mulai memerah menahan amarah yang sepertinya juga siap untuk meledak.

“Aku bukan gak mau nikah, Bu. Cuma mungkin belum waktunya aja. Kalo udah waktunya, pasti nikah kok,” ucap gue masih dengan berdiri di dekat pintu.

“Iya. Kapan waktunya itu? Kemarin di kenalkan sama temennya Devi tetangga sebelah kenapa gak mau?” lanjut ibu gue menggebu-gebu.

“Bukan gak mau, Bu. Aku udah mau buat kenalan dulu. Tapi namanya gak cocok, mau gimana lagi?" bohong gue.

Karena pada kenyataannya, bukan karena itu.

Gue enggak bilang yang sebenernya ke orang tua gue, perihal Rio, temannya Devi. Bahwa sebenarnya si Rio ini sudah punya pacar, janda. Namun karena orang tua si Rio ini enggak setuju, akhirnya mau enggak mau, Rio mau di kenalin ke gue. Tetapi ya namanya juga terpaksa, akhirnya ketahuan dan Rio menceritakan yang sebenarnya ke gue. Maka dari itu, gue enggak berlanjut sama si Rio.

“Kamu sok iya, bilang gak cocok. Dasar kamunya aja yang pemilih,” cetus ibu.

Gue mulai terpancing emosi mendengar nada cetus ibu. Ayah yang melihat gue akan meledak segera menghampiri gue, dan mengusap lembut lengan gue. Gue tersenyum ke ayah, karena usapan lembutnya begitu ampuh buat gue kembali tenang.

Akan tetapi itu tidak berlangsung lama, ketika gue kembali mendengar lontaran kalimat ibu yang menurut gue begitu menyakitkan buat di dengar. Gue masih anaknya, tapi kata-katanya sungguh sampai membuat gue berpikir kalau gue hanya anak pungut. Atau mungkin gue yang terlalu sensitive.

“Bisanya cuma jadi beban aja, mending kamu tinggal di rumah nenek kamu itu, dari pada di sini bikin malu keluarga,” bentak ibu gue yang mulai berdiri meninggalkan ruang keluarga.

Sebegitu malunya kah punya anak perempuan yang tak kunjung menikah?

Apa selama ini gue hanya jadi beban buat mereka?

Ucapan ibu tersirat kekecewaan dan juga pengusiran. Apa yang selama ini gue perbuat, hingga sebegitu kecewanya ibu sama gue. Tak terasa air mata gue menetes, tapi cepat-cepat gue hapus. Gue gak mau ayah dan Nathan adik gue, melihat sisi lemah gue.

“Aku bebersih dulu ya, Yah,” pamit gue mencoba tersenyum ke ayah dan melangkah pergi menuju kamar, tak lupa juga gue memberi senyuman kepada Nathan yang masih berdiri menatap ke arah gue.

Setelah perdebatan panjang tadi malam. Hari ini gue memutuskan untuk mengirim surat resign, di toko tempat gue bekerja. Cukup lama gue memikirkan ini, dan akhirnya hari ini gue membulatkan tekad untuk keluar dari tempat di mana ruang gerak gue sempit.

Bukan ingin bebas tanpa aturan, karena bebas-sebebasnya juga enggak baik buat hidup. Namun jika terus berada di sini, akan hanya menambah rasa sakit di hati gue. Gue hanya takut membenci orang yang tidak sepatutnya gue benci.

Dengan modal beberapa lembar uang di dompet dan tabungan di rekening, gue yakin masih cukup untuk satu bulan ke depan melanjutkan hidup sendirian.

Sekitar jam 8 pagi, gue keluar dari kamar berniat untuk berpamitan ke orang tua gue. Nathan yang hari ini sedang libur sekolah, tiba-tiba keluar dari kamarnya setelah sekilas melihat gue keluar kamar dengan tas ransel di punggung.

Gue tersenyum geli melihat kerut di keningnya, begitu bingung melihat gue yang tidak seperti biasanya.

Saat tiba tepat di hadapan ayah dan ibu, gue melirik sekilas ke arah Nathan, yang ternyata membuntuti gue ke tempat ayah dan ibu.

Ekspresi ayah tak jauh berbeda dengan Nathan, berbeda sekali dengan ibu, yang kini hanya memasang wajah datar. Entahlah gue tidak begitu mengerti dengan sikap ibu ke gue selama ini.

Gue tidak mau menerka-nerka hal yang tabu, apalagi itu bersangkutan dengan orang yang masih sedarah dengan gue.

“Nadhira mau pamit,” ucap gue dalam satu tarikan nafas.

Gue melihat ibu sedikit melirik, dan ayah yang sepertinya sudah tidak sabar untuk bertanya.

“Nadhira mau kerja ke luar kota,” lanjut gue yang masih memerhatikan setiap ekspresi dari ketiga orang yang paling berharga ini.

“Nadhira tidak minta apa-apa, hanya minta doa dari Ibu dan Ayah, semoga Nadhira bertemu dengan orang-orang baik dan sehat “

“Kakak udah yakin?” tanya Nathan.

Gue tersenyum menatap adikku yang paling gue sayang ini.“Iya, Dek.”

“Baik-baik ya, Kak. Semoga semua berjalan lancar dan Kak Dhira bahagia,” ucapnya bijak.

Gue tersenyum mendengar ucapan bijak Nathan. Ayah masih tertegun, dan berdiri mendekati gue. “Kamu nanti sama siapa? Dunia luar itu tidak seindah bayangan kamu. Kamu mau ninggalin, Ayah?” ucapnya lembut.

“Maka dari itu, Dhira minta doa Ayah sama Ibu biar bertemu dengan orang-orang baik,” jawab gue tersenyum mencoba menenangkan kekhawatiran ayah.

Ibu masih terdiam di tempatnya. Gue mulai berpamitan, mencium tangan ayah dan memeluknya. Nathan pun memelukku dan menahan isakannya, karena gue lihat matanya mulai memerah. Dia menengadah untuk menghalau air mata yang akan keluar. Begitu pula ayah, dia mencoba terlihat tenang meski gue tahu, gerak geriknya sarat akan kecemasan.

Gue mengulurkan tangan ke ibu, cukup lama menunggu, akhirnya gue menatap ibu yang sekarang mulai berdiri dan membelakangi gue. “Keluar dari pintu, jangan pernah kembali lagi sebelum kamu membawa kesuksesan,” ucapnya dingin dan pergi memasuki kamarnya.

Gue menatap kepergian ibu dengan getir. Sekali lagi gue memeluk ayah dan mulai melangkah ke arah luar rumah. Namun, Nathan tiba-tiba mengejar gue dan memeluk gue begitu eratnya.

“Jangan terlalu pikirin omongan Ibu. Kakak baik-baik di sana. Pulang kalo kiranya kakak butuh pulang. Nathan sayang, Kak Dhira,” ucapnya yang kini mulai terisak di bahu gue.

Dan setelah itu, gue berangkat. Gue pergi meninggalkan semua yang ada di sini, meninggalkan kota kelahiran yang penuh dengan kenangan ini sendiri.

Terpopuler

Comments

Riska Ristiana

Riska Ristiana

ibunya maksa banget ya

2023-10-14

0

black_rain

black_rain

hai kakk, semangat nulisnya yaa

2023-08-18

2

mata gue berkaca kaca.

2023-07-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!