Hari-hari berlalu dengan lambat kali ini, dan tentu saja itu menurut gue. Selain karena gue harus kucing-kucingan sama Adit, gue juga penasaran akan sikap Theo yang tidak seperti biasanya.
Sebenarnya Theo masih tengil dan cengengesan, hanya saja gue merasa dia memberi jarak. Dia selalu mengontrol sikapnya lebih kelihatan diam di saat ada gue. Pernah waktu itu, gue mencoba untuk bercanda seperti biasanya dengan dia, namun dia hanya menanggapinya dengan tertawa. Gue jadi jengah akan hal itu.
Sepertinya nasib baik tidak lagi berpihak kepada gue hari ini. Baru keluar dari swalayan tempat gue kerja, di jalan depan, sudah ada Adit yang sudah siap berdiri di samping mobilnya. Sepertinya menunggu gue.
Gue mencoba untuk kabur, namun gagal karena kini Adit telah memergoki dan memanggil nama gue dengan keras. Mungkin hari ini waktunya buat gue bicara dengan jelas sama dia, dari pada harus kabur-kaburan terus menerus.
“Ada apa?” tanya gue yang kini telah berada di hadapannya.
“Akhirnya lo mau ngobrol sama gue,” senangnya.
“Cepetan, gue harus ke restoran,” cetus gue.
“Ya udah kita ngobrol di dalam mobil,” jawabnya.
“Ogah!”
“Ayolah Nad, kita ngobrol di mobil ya, sekalian gue anter lo ke restoran. Bukannya lebih efisien waktunya,” jelasnya lembut.
Setelah menimang-nimang tawaran Adit, gue putuskan untuk mengikuti kemauannya, sekalian irit ongkos lah ya. Saat gue hendak masuk mobilnya Aditya, gue merasa ada yang memperhatikan gue. Gue menoleh ke penjuru jalanan, namun tak gue temukan siapa-siapa.
“Kenapa, Nad?” tanya Adit melihat gue yang kebingungan.
“Gak apa-apa” jawab gue seadanya.
Begitu masuk, gue melihat ada mobil jenis sport gitu melaju dengan cepatnya, yang membuat gue terlonjak seketika. Pengemudi mobil itu sepertinya sudah gila, melaju dengan kecepatan seperti itu di jalan yang cukup ramai seperti ini.
Gue tidak terlalu suka keheningan seperti ini, akan tetapi menunggu untuk Adit berbicara lebih dulu cukup tidak meyakinkan. Dua tahun menjalani kasih dengannya, sedikit banyak gue menjadi tahu sifat dan kebiasaannya. Dia jarang sekali bisa membuka topik obrolan, tidak seperti Theo.
Kenapa jadi membandingkannya dengan Theo sih? Otak gue sepertinya mulai geser nih gara-gara di racuni hal-hal konyol dia yang akhir-akhir ini sudah tidak ada.
Back to topic, Aditya tetaplah Aditya, sampai sekarang pun dia juga tidak suka mendengarkan musik di saat berkendara. Mulut gue yang gatel pun tidak bisa menahan diri lebih lama lagi untuk bicara dengannya.
“Jadi ....?” tanya gue menggantung.
Adit menoleh sekilas, “Gue mau minta maaf sama lo.”
“Udah gue maafin,” jawab gue.
“Gak bisa kah kita kayak dulu lagi?” tanyanya penuh harapan.
“Lo tau gue orang yang seperti apa.”
“Iya, gue tau. Lo paling gak mau untuk balikan sama mantan,” jawabnya lesu.
“Hmm.”
“Bagaimana dengan berteman?” tawarnya.
Gue yang sedari tadi fokus ke jalanan pun menoleh ketika mendengar tawarannya. “Buang-buang waktu.”
“Salah gue terlalu besar ya, Nad. Sorry,” gumam Adit sendu.
“Udah lah, Dit. Udah masa lalu juga,” ucap gue malas dan ingin segera sampai ke restoran.
“Apakah se-gak bisa itu ya, kita deket lagi, meski cuma sebagai teman?” ungkapnya. “Gue tau seharusnya gue lebih memilih lo, dan bisa perjuangin lo waktu itu. Tapi gue terlalu pengecut untuk membantah omongan mama gue. Jujur gue nyesel sekarang, Nad ,” lanjutnya dengan raut yang penuh penyesalan.
Gue hanya diam. Terlalu lelah dan enggan untuk mengingat kejadian yang membuat gue tampak lemah. Biarkan saja Adit berbicara panjang lebar untuk mengeluarkan semua yang di pikirannya saat ini, yang perlu gue lakukan hanya mendengarkannya saja.
Gue juga tidak sepenuhnya menyalahkan Adit, karena di saat itu pula, dia masih muda. Dia anak kesayangan orang tuanya, dan anak yang sangat di banggakan akan pencapaiannya waktu itu, di umur yang masih cukup muda. Saat itu pun, gue sudah cukup sadar diri akan posisi gue.
“Alasan gue di sini juga salah satunya karena lo, Nad.”
Perkataan Adit sontak membuat gue mengernyitkan dahi bingung. Kejadian itu sudah dua tahun lalu, lantas kenapa bisa alasan dia berada di kota ini adalah gue. Sejak 2 tahun lalu itu pun gue memutus kontak dengan dia. Gue juga tidak tau dia ada di kota ini sejak kapan.
“Maksudnya?” tanya gue. Akan tetapi gue belum mendapatkan jawaban Adit, saat gue merasa mobil berhenti berjalan. Menatap sekitar, ternyata gue sudah sampai di area parkir restoran.
Deg!
Mataku menyipit tatkala gue tanpa sengaja melihat mobil sport yang melaju cepat saat di jalan swalayan tadi. Gue jadi penasaran siapa pemilik mobil itu. Bisa-bisanya ada di parkiran khusus pegawai.
Begitu fokusnya memindai mobil di parkiran pegawai itu, membuat gue tanpa sadar melupakan Adit yang saat ini ada di samping gue.
“Nad, lo kenapa?” tanyanya khawatir dengan menepuk pundak gue pelan.
“Hah? Eh maksud lo gimana?”
“Lo gak dengerin jawaban gue barusan?” tanyanya lagi.
Gue pun gelagapan, akhirnya gue memilih untuk berterima kasih atas tumpangannya, dan segera pergi menuju restoran. Lagi pula sudah tidak penting mendengar alasan Adit, hubungan kita sudah selesai pada saat kejadian itu.
Kerja malam ini tidak terlalu menyibukkan. Gue sekarang sedang duduk di area kasir bersama Sisil dan Fika. Sedangkan Dika sedang berada di dapur, bergabung dengan para lelaki di sana yang sepertinya sedang heboh dengan kelakuan Theo dan tentunya juga Dika yang tidak jauh berbeda.
“Bulan depan udah mau tahun baru nih. Kalian udah pada punya acara, gak tahun baru akan kemana?” celetuk Sisil.
“Gue mau ke hotel yang viewnya laut biar sekalian healing,” jawab Fika heboh.
“Aaaa ... sepertinya seru juga tuh. Gimana kalo barengan aja Fi?” ucap Sisil yang tak kalah antusias.
“Nope! Gue mau me time. Setiap hari udah liat lo, bosen gue,” ledek Fika.
“Ish ... lo mah! Yaudah kalo gak mau,” sungut Sisil.
Melihat tingkah keduanya membuat gue terhibur setiap harinya. Mereka tak pernah absen ribut, tetapi cepat akur kembali. Gue jadi tau rasanya mempunyai teman sejak kenal mereka.
“Eh iyaa. Lo udah ada rencana mau ke mana gitu, Dhir,” tanya Fika membuat gue tersadar dari lamunan.
“Ohh ... soal itu. Emang restoran tutup pas tahun baru?” balas gue.
“Gak sih kayaknya. Soalnya pas tahun baru biasanya tambah rame pengunjung. Secara kan kota ini kota destinasi liburan,” jawab Fika.
“Hmm ... kalo gitu gue kerja aja sih.”
“Lo mah gak seru, kayak Chef Reymond. Liburan bukannya cuti malah kerja mulu,” gerutu Sisil yang sontak membuat gue sama Fika cekikikan.
Memang Chef Reymond berbeda dengan Chef Adrick yang sangat happy virus. Chef Reymond cenderung kaku meskipun suka membalas candaan dari para staf dapur.
Akhirnya jam pulang telah tiba. Gue bergegas keluar dari restoran guna menghirup udara segar dari angin malam. Jalanan masih terbilang cukup ramai saat waktu kini menunjukkan pukul 11 malam. Gue memutuskan untuk memesan ojek dari aplikasi hijau yang ada di ponselku, bertepatan dengan bunyi kunci mobil yang terbuka.
Lantas gue secara gak sadar menolehkan kepala ini ke area parkir. Mata gue melotot saat gue melihat Theo kini sedang masuk ke mobil sport yang tadi sore melaju cepat di swalayan tempat gue bekerja.
“Pantesan aja sok ngebut, yang punya agak laen emang,” gerutu gue dan kembali fokus ke ponsel guna memesan ojek online.
Tin Tin !
Lagi-lagi gue terlonjak kaget, membuat ponsel yang gue pegang hampir jatuh.
Dengan kesal gue ingin memaki orang yang seenaknya klakson mengageti gue. Gue jadi enggak sengaja keluar dari aplikasi ijo.
“Lo gak pu ....,” ucapan gue terhenti seketika saat gue tahu siapa yang ada di hadapan gue sekarang.
“Theo,” gumam gue.
Dia memamerkan cengiran khasnya yang beberapa hari ini hilang. “Yuk lah masuk. Gue anterin,” ajaknya.
Entah kenapa gue hanya terdiam. Tidak menolak atau pun mengiyakan ajakannya.
“Ayo, Dhir! Ini udah malem loh!" ucapnya lagi dengan sedikit berteriak.
Gue mengerjapkan mata bingung, tersadar dari keterdiaman. “Oh ... EH!” gue terkejut saat tiba-tiba Theo telah menuntunku untuk masuk ke dalam mobil.
“Lo kelamaan,” ucapnya.
Saat ini, dengan keadaan sedikit linglung gue menatap sekitar tempat yang asing buat gue. Memang dalam perjalanan tadi tidak ada obrolan yang membuat gue tertidur tanpa sadar. Menoleh ke samping, tak gue dapati Theo. Gue mulai sedikit panik karena berada di pantai yang sepi, sendiri dan tengah malam pula.
Gue memutuskan untuk keluar dari mobil yang ternyata tidak terkunci. Memberanikan diri dengan menelusuri jalanan untuk mendekat ke area bibir pantai. Udara di sini begitu dingin, namun langkah gue tak kunjung berhenti.
Bernafas lega saat mata gue mendapati seonggok manusia yang kini tengah menyesap sebuah batang rokok. Kelihatan sekali jika dia sangat menikmati benda yang kini berada di mulutnya itu.
“Kenapa ke pantai? Gue besok harus kerja, Theo!” sungut gue.
Theo menoleh kaget dan terburu-buru mematikan sisa rokonya yang masih tinggal setengah itu. “Kok bangun! Padahal gue sengaja gak bangunin lo, biar lo istirahat,” ucapnya.
Gue mengambil duduk di sampingnya. Sama-sama memandangi deburan ombak yang kini tepat di depan mata.
“Lo kenapa?” tanya gue pada akhirnya.
“Gak apa-apa. Gue hanya sedikit ada masalah beberapa hari ini. Tapi tenang aja, udah beres kok,” jawabnya seolah meyakinkan gue.
“Apa gue punya salah sama lo?” tanya gue lagi.
“Gak, Dhir. Masalah gue gak ada hubungannya sama lo. Sorry ya sikap gue akhir-akhir ini udah kelewatan ke lo,” jelasnya.
Gue hanya bergumam tersenyum mendengarnya. Entah kenapa rasanya begitu menenangkan saat apa yang ada di pikiran ternyata terbukti tidak benar.
“Eh iya, gimana mobil baru gue?” tanya antusias menaik turunkan kedua alisnya. “tapi sepertinya sih penilaian kamu bagus. Soalnya lo sampek pules banget tidurnya,” lanjutnya dengan tengil.
Gue hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan tingkahnya yang beberapa hari ini sempat hilang. Malam ini, akhirnya gue menikmati angin pantai di tengah malam bersama Theo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments