Hari ini teman semasa Dio kuliah melaksanakan pesta resepsi pernikahan. Dio meminta Shena untuk menyiapkan kemeja juga celana untuk Ia kenakan malam ini.
Shena tanpa membantah langsung melaksanakan titah suaminya. Setelah siap, Dio segera pergi meninggalkan kamarnya. Malam ini Ia akan pergi dengan kedua orangtuanya. Kebetulan Ardina dan Sakti, bersahabat dengan orangtua Gani, yang akan melaksanakan resepsi pernikahan malam ini. Maka dari itu Dio pergi bersama kedua orangtuanya. Sebab mereka sama-sama diundang.
Begitu Dio turun ke lantai bawah langsung disambut oleh mama dan papanya yang ternyata juga sudah siap untuk berangkat.
“Udah siap?” Tanya Sakti pada putra semata wayangnya itu.
“Iya udah, Pa,”
“Lho, terus Shena kemana? Shena belum siap ya?”
“Emang Shena ikut?”
Pertanyaan Dio tentunya membuat kedua orangtuanya terkejut khususnya Ardina. Apakah Dio sadar melontarkan pertanyaan seperti itu? Setelah menikah, kalau ada undangan yang datang, bisa pergi bersama pasangan alias ada kesempatan untuk pergi berdua, apalagi sudah diminta oleh yang punya acara, kenapa harus pergi sendiri? Ardina benar-benar tak habis pikir dengan anaknya itu.
“Menurut kamu gimana? Hmm?”
Lelah meluapkan rasa kesal dengan kalimat panjang lebar, makanya Ardina hanya bertanya pendapat anaknya saja.
“Menurut aku ya nggak usah ikut, Shena di rumah aja,”
“Kamu kenapa sih? Papa dan Mama dapat undangan, nah kamu sama Shena juga. Terus kenapa kamu datang cuma sendiri? Hah? Kamu boleh datang sendiri kalau memang Shena nggak diundang, atau Shena berhalangan hadir. Tapi ini ‘kan nggak,”
“Dia belum tentu mau, Ma,”
“Ya coba diajak dulu, Mama yakin Shena mau. Cuma kamu nya aja yang nggak mau ngajak. Nggak mungkinlah Shena nolak,”
“Mending dia di rumah, Ma,”
“Lho, memang kenapa?”
“Ya biar dia nggak ganggu,”
“Astaga, Dio!”
Suara Sakti menggelegar ketika menegur anak semata wayangnya itu. Bisa-bisanya Dio berkata seperti itu seolah istrinya pengganggu kelas handal. Entah apa yang akan dilakukan omeh Shena sehingga Dio menganggap bahwa Shena itu pengganggu.
“Biar Mama yang ngomong sama Shena deh. Daripada capek ngomong sama kamu, Dio. Kamu benar-benar keterlaluan banget,”
“Kok keterlaluan sih? Salah aku dimana? Dia belum tentu mau ikut juga, Ma. Lagipula, menurut aku lebih baik Shena diam di rumah aja, jadi dia bisa istirahat ‘kan,”
“Istirahat kata kamu? Mana mungkin! Shena nggak bakal istirahat sebelum kamu sampai rumah, kebiasaan dia begitu. Jadi kenapa nggak sekalian aja kamu ajak coba? Hah?”
“Sekarang kamu balik ke kamar, temuin Shena dan bilang ke Shena udah ditunggu sama Mama Papa, buruan!” Titah Sakti dengan tegasnya. Ia tidak mau anaknya menjadi sosok suami yang tak menghargai istrinya.
“Buruan, Dio!”
“Ya ampun, kenapa ribet banget sih?”
“Kamu yang bikin semuanya jadi ribet! Harusnya kamu ngomong aja dari awal ke Shena kalau kamu ngajak Shena, pasti Shena langsung siap-siap kok. Dan pasti sekarang Shena udah selesai,”
“Ya makanya nggak usah ngajak Shena, jadi ‘kan nggak ribet. Kita bisa berangkat sekarang tanpa harus nunggu dia selesai siap-siap,”
“Nggak, Papa Mama mau kamu ajak Shena. Cepat ngomong ke Shena sekarang!”
Dio berdecak pelan. Dan dengan berat hati Ia menuruti permintaan kedua orangtuanya yaitu mengajak Shena ikut serta menghadiri resepsi pernikahan Gani.
Ia membuka pintu kamar dan melihat Shena yang sedang membereskan baju gantinya yang Ia biarkan sembarangan di lantai.
“Siap-siap sekarang, kita pergi sepuluh menit lagi,”
Padahal baik Ardina maupun Sakti tak ada yang memberikan waktu untuk Shena bersiap, tapi Dio lah yang tidak mau menunggu lama makanya Ia langsung memberikan waktu sepuluh menit dengan lugas kepada istrinya dan waktu itulah yang harus digunakan oleh Shena sebaik mungkin untuk mempersiapkan dirinya.
****
“Siap-siap? Maksudnya?”
“Ya siap-siap ke resepsinya Gani. Nyokap bokap gue mau lo ikut. Jadi buruan ganti baju sekarang, waktunya cuma sepuluh menit, nggak lebih,”
“Tapi itu—“
“Satu,”
“Dua,”
Shena panik ketika suaminya mulai berhitung, dan Ia buru-buru memilih baju formalnya di dalam lemari dengan cepat. Melihat Shena bergerak cepat, Dio tersenyum kemudian keluar dari kamar tak lupa menutup pintu kamar membiarkan istrinya bersiap di dalam kamar sendirian.
“Awas aja ya kalau dia lama, bakal gue tinggalin,” gumam Dio sambil bersandar di dinding dan bersedekap dada.
Ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sudah ada satu angka di kepalanya yang harus Ia sebut dengan lumayan keras nanti sambil membuka pintu kamar.
******
“Benar-benar ya si Dio, Pa. Ya Allah Mama nggak habis pikir deh sama dia,”
“Papa nggak habis pikir emang. Bisa-bisanya dia nggak mau ngajak istrinya padahal jelas-jelas Shena tuh diundang, dan Shena juga nggak ada halangan yang bikin dia nggak bisa datang, jadi kenapa coba malah disuruh di rumah aja? Astaghfirullah, benar-benar anak itu ya, nggak ada menghargai istrinya banget. Kayak percuma semua nasehat kita, Ma,”
“Bakal susah untuk berubah, Pa,”
Sakti menghembuskan napas kasar. Jujur Ia bingung anaknya kenapa belum berubah juga padahal sudah dua bulan menikah dengan Shena.
“Kasian Shena, nggak dihargai terus sama Dio. Harus dikasih pelajaran si Dio nih, kira-kira apa ya, Ma?”
“Nggak tau, Pa. Mama juga bingung. Dimarahin udah, dinasehatin baik-baik juga udah, tapi Dio nya nggak mau berubah. Dia masih belum terima Shena padahal Mama pikir dia nggak akan sesusah ini terima Shena, Pa. Karena Mama percaya cinta dan sayang itu bisa datang setelah terbiasa bareng-bareng,”
“Mungkin Dio belum bisa move on dari pacarnya kali ya, Ma,”
Ardina berdecak pelan. Ia tidak senang mendengar ucapan suaminya tapi apa benar ya Dio masih belum bisa melupakan, atau meninggalkan kisah masa lalunya.
“Menurut Papa sih begitu ya, soalnya waktu masih pacaran dan kita jelas-jelas liat pacarnya selingkuh terus kita kasih buktinya ke Dio, itu si Dio nutup mata banget, Ma. Nggak mau percaya sama bukti itu, benar-benar udah dibutakan cinta banget Dio ya,”
“Bukan dibutakan lagi tapi dibuat bodoh mau aja. Untung deh nikahnya sama Shena nggak sama yang lain, bisa stres Mama kalau sampai dia bertahan sama mantannya itu. Kalau baik sih nggak apa-apa ya, lah orang masih pacaran aja dia selingkuh kok,”
“Semoga Dio bisa berubah deh, Ma. Mudah-mudahan dia bisa ngelupain masa lalu, dan fokus aja sama masa depannya,” ujar Sakti sambil mengusap bahu istrinya dengan maksud menenangkan Ardina yang tampak sedih karena anaknya yang terlalu mencintai perempuan yang salah, dan ketika sudah menikah Dio tidak bisa menghargai istrinya.
*****
“Jam tujuh pas nih, udah belum woy?!”
Tanpa aba-aba Dio membuka pintu kamarnya. Dan Ia melihat istrinya sedang menggunakan parfum sambil menjawab “Udah kok,”
“Ya udah bagus, ayo buruan keluar dari kamar, jangan lama-lama. Lo tuh bukan princess,”
“Emang siapa yang bilang kalau aku princess?”
“Lo nyautin gue? Hah?”
“Ya aku ‘kan emang bukan princess, aku nggak pernah bilang aku itu princess. Aku udah berusaha cepat-cepat kok tadi, dan ternyata pas ‘kan? Aku selesai di waktu yang udah kamu tentukan,”
Dio menatap Shena yang sudah berubah sekali penampilannya. Shena mengenakan gaun lengan panjang, yang jatuh hingga sedikit melewati lututnya. Shena hanya menggunakan lipstik dan pelembab wajah saja. Kemudian rambutnya dijadikan satu ke belakang. Ia hanya punya waktu sepuluh menit, dan menurut Dio Shena bisa menggunakan waktu yang Ia berikan dengan cukup baik.
“Lumayan juga dandanan lo,”
“Lumayan apa lumayan?”
“Maksud lo?”
“Ya aku ‘kan cuma nanya, lumayan apa lumayan?”
“Heh lo nggak usah geer ya. Gue bilang lumayan karena emang beda banget dari lo yang biasa kalau di rumah cuma pakai baju stelan rumah doang,”
Shena tersenyum, Ia anggap itu pujian, walaupun penyampaiannya kurang enak didengar. Ia berterimakasih pada Dio. Setidaknya Ia tidak sia-sia bersiap dengan begitu cepat tanpa membayangkan hasil akhir yang ternyata mendapat pujian dari Dio.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments