Shena memilih kamar lain untuk berdiam sebentar, karena Ia yakin Dio akan masuk kamar mereka, dan Dio bisa melihat Ia sedang tidak baik-baik saja.
Maka dari itu Ia memilih untuk menyendiri di kamar yang lain supaya bisa lebih tenang tanpa diganggu oleh siapapun termasuk suaminya.
Bayangan ketika Dio membentaknya tadi masih terus berputar di kepalanya dan karena itu Ia masih belum bisa benar-benar menghentikan tangisnya sendiri.
“Kalau marahin aku di tempat yang nggak ada siapa-siapa, rasanya nggak sebegitu nyesek, tapi Dio bentak aku di depan keluarganya, aku malu banget, aku sakit hati. Emang senggak becus itu aku jadi istrinya ya?”
Alih-alih mengobati tangannya sendiri, Shena malah tenggelam dalam kesedihannya, dan mengabaikan rasa perih di tangan kanannya.
******
“Kok cepat? Udah diobatin Shena nya?”
Ardina melihat anaknya turun dari lantai atas. Yang pertama Ia tanyakan tentunya Shena. Ia berpikir Dio sudah mengobati Shena. Tapi ternyata Dio menggelengkan kepalanya.
“Lho, kok belum? Apa Shena udah ngobatin sendiri?”
“Aku nggak tau, Ma. Dia aja nggak ada di kamar,” jawab Dio dengan santainya. Ia menyampaikan apa yang Ia ketahui. Kamar kosong dan Shena entah pergi kemana.
“Lho kok bisa nggak ada di kamar? Coba buka aja semua pintu kamar di lantai atas, nggak mungkin lah Shena kabur,”
“Ya mungkin emang kabur kali. Bairin aja deh, Ma. Dia lagi mau menyendiri mungkin,”
“Kamu gimana sih? Masa istrinya nggak ada di kamar malah biasa-biasa aja? Kamu tuh abis bikin dia sakit hati lho tadi,”
Dio berdecak pelan. Ini salah satu alasan Ia semakin tidak menyukai kehadiran Shena di hidupnya. Karena semenjak ada Shena, orangtuanya jadi lebih mengutamakan Shena. Mereka sangat menyayangi Shena sampai Ia kadang berpikir apa Ia dan Shena tertukar ya? Apa Shena yang anak kandung mama dan papanya? Tapi rasanya tidak mungkin. Apa yang ada dalam dirinya benar-benar dituruni dari mama dan papanya. Itu hanya pemikirannya yang tak masuk akal saja.
“Ya terus aku harus ngapain, Mama? Aku ‘kan udah nurutin apa kata Mama tadi. Aku datang ke kamar, tapi dia nya nggak ada dan aku nggak tau dia kemana,”
“Ya coba dicek satu-satu kamar yang ada, barangkali Shena lagi ada di kamar lain, bukan kamar kalian,”
Dio menghembuskan napas kasar. Shena benar-benar membuat hidupnya jadi sulit. Coba kalau Shena tak ada, tetap Ia yang menjadi prioritas orangtuanya, bukan Shena.
“Segitunya banget sama Shena, Ma. Yang anak Mama tuh aku atau Shena?”
“Dua-duanya, masa kamu nggak paham juga?”
“Dua-duanya? Dia tuh cuma menantu Mama aja? Tapi Mama sesayang itu sama dia, aku heran deh,”
“Ya dimana-mana memang begitu. Malah bagus dong, harusnya kamu bersyukur orang tua kamu sayang ke istri kamu,”
“Nggak, aku nggak bersyukur. Malah ribet tau nggak? Gara-gara mama papa sayang banget sama dia, cuma dia aja yang diutamain, dan aku yang direpotin. Harus beginilah, begitulah, ke Shena,”
Ardina tercengang mendengar ucapan Dio. Benar-benar tidak diduga kalimat itu terlontar dari mulut Dio. Seharusnya Dio bersyukur memiliki istri yang bisa diterima dengan baik oleh keluarganya khususnya orang tua, ini malah sebaliknya Dio merasa tidak senang.
“Cari Shena sampai ketemu! Mama nggak mau tau, cari sekarang!”
“Astaga, ngapain sih, Ma?”
“Ngapain kamu bilang? Takutnya Shena kenapa-napa, Dio,”
“Ya udah kalau kamu nggak aku, biar Mama—“
“Okay-okay, aku cari tuh orang sampai ketemu. Kalau ketemu, awas aja ya, aku bakal marahin dia karena dia udah ngerepotin aku,”
“Astaghfirullah, keterlaluan banget kamu,”
*****
Shena ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya menghapus jejak-jejak air mata. Ia berdiri di depan cermin untuk memastikan tak ada lagi sisa kesedihannya, barulah setelah itu Ia keluar dari kamar mandi.
Ia berjalan mendekati pintu kamar. Sebelum membuka kuncinya, Ia hembuskan napas kasar. Berharap dengan itu, rasa sesak akibat perlakuan Dio tadi benar-benar hilang.
Ia membuka kunci setelah dirasa benar-benar siap untuk bertemu dengan Dio dan keluarganya. Ia tidak mungkin terlalu lama menghilang. Momen berkumpul dengan keluarga adalah momen yang paling disukai oleh Shena. Lagipula tidak enak juga kalau Ia terlalu lama di lantai atas, bisa jadi mereka mengira kalau Ia merajuk atas sikap Dio. Tidak, Ia bukan perempuan yang mudah merajuk. Kalau dibuat sakit hati, paling hanya diam, akan menangis kalau perutnya sudah tepat situasinya. Sesabar itu dirinya menghadapi Dio karena Ia tahu Dio masih perlu waktu untuk beradaptasi dan entah kapan Dio bisa benar-benar menerima kehadirannya.
Bertepatan dengan Shena keluar dari kamar yang biasa digunakan oleh tamu, Dio datang dengan wajahnya yang datar, tapi rahangnya mengeras.
Pintu kamar yang semula sudah ditutup dengan baik oleh Shena langsung dibuka lagi oleh Dio, dan Dio menarik tangan Shena yang tentunya kaget dengan apa yang dilakukan oleh Dio.
Dio mengunci pintu kanar, dan itu menghadirkan rasa takut yang luar biasa. Meskipun Dio itu suaminya, tapi Shena tahu, Dio membencinya. Kalau Dik sudah mengunci pintu kamar, pikiran Shena sudah kemana-mana. Ia takut Dio melakukan hal yang tidak terduga sama sekali. Ia takut Dio melukainya.
“Nggak-nggak, suami aku nggak mungkin kayak gitu. Sekesal apapun Dio, nggak akan mungkin Dio nyakitin fisik aku, aku yakin,” Shena berusaha menenangkan dirinya sendiri yang panik. Ketika Dio mengunci pintu kamar saja Shena sudah panik, sekarang ditambah dengan Dio yang tiba-tiba menekannya di pintu menggunakan kedua tangan Dio. Posisi mereka berdua sangat dekat, dan ruang gerak Shena menjadi terbatas.
“Dio, kamu kenapa? Tolong jangan begini, aku takut,”
“Lo takut? Hmm?”
“Dio—“
“Lo tuh udah bikin hidup gue hancur tau nggak? Lo sadar itu nggak sih? Setelah ada lo, semuanya jadi berubah. Orangtua gue segitu sayangnya ke lo,”
“Aku minta maaf,”
“Maaf lo itu nggak ada artinya buat gue, Shena. Maaf lo kayak sampah bagi gue. Asal lo tau ya, gue benci banget sama lo, gue benci! Kenapa sih lo harus ada di hidup gue? Hah?”
Shena tak bisa menahan laju air mata yang sebelumnya Ia tahan susah payah. Entah apalagi yangs alah darinya. Tidak puaskah Dio membentaknya tadi? Sekarang Dio tiba-tiba datang, dan berkata dengan terang-terangan bahwa Dio membencinya.
“Dio, kita ‘kan nikah sama-sama sadar, kita sadar untuk nurutin permintaan orangtua kita, kenapa kamu jadi benci ke aku?”
“Ya harusnya lo nolak lah, gue udah berusaha nolak waktu itu tapi nyokap bokap gue nggak mau dengerin gue, dan mereka malah bilang ke pacar gue kalau gue mau nikah. Itu semua gara-gara lo!”
“Ya ampun, aku udah pernah bilang ‘kan? Aku nikah sama kamu karena aku pengen nurutin kemauan orangtua aku aja. Aku percaya pilihan mereka itu terbaik untuk aku. Jujur aku nggak ada niat apapun, Dio. Aku nggak minta orangtua kamu untuk bilang ke pacar kamu kalau kita mau nikah, aku nggak pernah lakuin itu, Dio,”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments