Bayangan Dari Masa Lalu
Terhitung sudah enam bulan Vano menjadi dosen di Universitas Pelita. Ia banyak bertemu dengan mahasiswi yang cantik dan berprestasi, terang-terangan menunjukkan rasa kagum terhadap dirinya yang masih muda, tampan, mapan, dan cerdas.
“Pak dosen, udah punya pacar belum?”
Vano tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan tegas. Siapapun yang bertanya seperti itu jawabannya selalu sama. Ia memang belum memiliki kekasih. Dan di usianya yang ke dua puluh delapan ini, sebenarnya kurang pantas lagi kalau hubungannya sebatas pacaran saja. Ia ingin memiliki hubungan yang lebih serius.
“Pak dosen, ganteng banget sih. Masa belum punya pacar? Jadi pacar saya aja kalau begitu
Vano langsung memberikan tatapan datar yang pertanda bahwa Ia tidak senang ketika ada mahasiswa bicara seperti itu kepadanya.
“Ingat, saya dosen kamu,”
“Maaf, Pak. Tapi emangnya kenapa kalau dosen saya? Bagus dong, biar ada cerita ‘pacarku adalah dosenku’ kan lucu tuh judul ceritanya,”
Vano mempercepat laju langkah kakinya karena merasa terusik dengan mahasiswi itu. Tak hanya satu atau dua orang saja yang mendekatinya, tapi semua tak ada yang berhasil memikat hatinya.
Malah yang berhasil membuat perhatiannya sulit teralihkan ketika belajar, pesona nya berhasil memikat hati Vano adalah seorang mahasiswi yang tak pernah menunjukkan rasa kagum kepadanya, apalagi mendekatinya dengan terang-terangan. Kalau Vano sudah belajar di kelasnya, Vano sulit untuk profesional karena rasanya ingin terus memandang perempuan itu.
Sekarang Vano melihat perempuan yang dikaguminya dalam diam, sedang bersiap untuk menaiki motornya hendak pulang.
Entah kenapa saat ini Vano punya keinginan keras untuk berbicara dengan mahasiswinya itu lebih dari sekedar membahas mata kuliah. Ia ingin terlibat obrolan diluar hal tentang kampus dengan perempuan itu.
Vano merasa ada dorongan kuat untuk mulai mendekati perempuan itu. Ya, Vano menyukai seorang mahasiswi yang selama ini Ia kenal dengan pembawaannya yang ceria, berprestasi, dan sederhana.
“Hai, Elvina,”
Mahasiswi yang disebut namanya itu tidak jadi menggunakan pelindung kepalanya ketika ada yang memanggil dan suaranya cukup dekat.
“Oh halo, Pak, ada apa ya, Pak?”
“Kamu mau pulang? Udah selesai jam kuliahnya?”
“Iya udah, Pak. Ini mau pulang ke rumah,”
“Saya boleh minta waktunya sebentar?”
“Iya, ada apa ya, Pak?”
Elvina mendadak canggung. Tak pernah sekalipun Ia dihampiri oleh dosen laki-laki seperti ini di luar jam kuliah, apalagi ini Vano, dosen tampan yang menjadi incaran mahasiswi di kampus tersebut.
“Makan siang sama saya bisa?”
Elvina terperangah untuk beberapa detik. Ia tidak salah dengar? Vano tiba-tiba datang dan mengajaknya untuk makan siang bersama. Ia merasa ada yang aneh, bahkan sejak Vano memanggilnya.
“Hmm gimana ya, Pak? Saya biasanya makan di rumah kalau udah selesai kuliah,”
“Sebentar, ada yang mau saya bicarakan,”
“Tentang apa kalau boleh tau, Pak?”
“Tentang saya ke kamu,”
Vano memutuskan untuk jujur saja. Enam bulan hanya mengagumi dalam diam rasanya lelah juga, dan kali ini Ia ingin mencoba untuk jujur. Dan Ia tidak tahu tanggapan Elvina nanti yang jelas Ia sudah berusaha untuk mengungkapkan isi hatinya. Hal itu sebenarnya tidak mudah. Membayangkan akan ditolak oleh Elvina atau bahkan dibenci, Vano sudah sedih duluan. Tapi kalau Ia hanya diam saja, sementara rasa di hatinya kian bertambah, Ia tidak akan tahu apa tanggapan Elvina nantinya.
“Ya udah boleh, makan dimana?”
“Kamu naik mobil saja aja, kamu mau ‘kan?”
“Saya naik motor saya sendiri aja ya, Pak. Nanti saya ikutin mobil bapak, soalnya bapak yang tau mau makan dimana,”
“Oh ya udah kalau gitu, terimakasih ya udah mau luangin waktu, maaf juga udah ganggu kamu,”
“Nggak apa-apa, Pak. Saya penasaran apa yang mau Bapak bicarakan sama saya,”
****
Elvina diajak makan di sebuah restoran yang terbilang cukup mewah di ibukota ini. Elvina semakin bingung dengan hal apa yang akan dibicarakan oleh dosennya sendiri.
Vano ingin pengalaman pertama makan dengan gadis yang sudah Ia kagumi sejak pertama kali mengajar tidaklah buruk. Maka dari itu Ia membawa Elvina ke tempat makan yang mewah seperti ini, walaupun Ia tahu tak berarti apa-apa bagi Elvina. Terlihat dari ekspresinya yang biasa-biasa saja.
“Makin keliatan sederhana nya kamu, El, dan saya makin kagum,”
“Kamu nyaman ‘kan di sini?”
“Iya nyaman, Pak. Ini ‘kan restoran yang nggak murah,” ujar Elvina seraya terkekeh.
Mana ada orang yang tidak nyaman dibawa ke tempat makan yang mahal, tiba-tiba lagi diajaknya, dan Elvina diajak oleh dosennya sendiri.
“Tapi sebenarnya ya, makan dimana aja nyaman banget buat saya, jujur saya lebih seringnya makan di pinggir jalan. Karena menurut saya nyaman juga, rasanya nggak kalah enak sama makanan bintang lima, dan yang paling penting harganya murah jadi nggak perlu rogoh kantong terlalu dalam,” ucap Elvina seraya tersenyum.
“Tapi bapak ‘kan dosen ya, wajar banget kalau senangnya ke tempat-tempat makan kayak begini,”
“Saya cuma pengen pertama kali makan sama kamu, benar-benar berkesan untuk kita berdua. Di sini ‘kan suasananya lebih private,”
Semakin tidak karuan perasaan Elvina. Sebenarnya apa yang ingin dibicarakan oleh Vano? Kenapa Vano butuh suasana yang lebih private makanya mengajak Ia untuk makan di restoran ini. Tapi sayangnya Vano tak kunjung bicara pada inti.
“Pak, mau ngomongin apa ya?”
Akhirnya Elvina yang memulai. Elvina tidak bisa lagi menunggu terlalu lama. Elvina ingin tahu secepatnya hal apa yang akan dibicarakan oleh Vano.
“Kita ngobrol setelah makan aja ya, sebentar lagi makanan datang,”
Elvina menghela napas pelan. Kenapa harus tunggu nanti? Ia penasaran nya sekarang. Menunggu setelah makan, itu terlalu lama menurut Elvina.
“Biar lebih enak ngobrolnya, kita harus makan dulu,”
“Ya udah, nggak apa-apa, Pak,”
Elvina menyerah, kalau Vano belum bersedia bicara sekarang, tidak mungkin Ia memaksa. Ia menerima ajakan Vano untuk makan bersamanya, artinya Ia juga harus menerima keputusan kapan Vano mau bicara soal hal yang belum diketahui olehnya supaya suasana tetap berlangsung nyaman.
Makanan datang, dan mereka langsung bersantap. Jujur, Elvina gugup harus makan bersama laku-laki, selain papanya. Terakhir Ia makan dengan lelaki yang bukan keluarganya adalah makan bersama mantan calon suaminya.
Ah kalau mengingat itu, perasaan Elvina jadi tidak karuan lagi. Akan tetapi Elvina belum bisa benar-benar mengusir bayangan mantan calon suaminya itu. Apalagi kalau ada di situasi yang tepat untuk mengingatnya. Seperti sekarang, makan berdua dengan laki-laki, dulu Ia dan Rendra sering melakukannya sebelum akhirnya Rendra memilih perempuan lain di saat mereka sudah tukar cincin dan punya rencana matang untuk menikah. Mengingat apapun tentang Rendra tentunya menghadirkan rasa sakit di hati Elvina, tapi tetap saja Elvina ingat, karena memang Ia akui belum ada kata move on dari Rendra.
Selepas makan, Vano menatap Elvina yang sejak tadi menghindari kontak mata. Lebih banyak mengalihkan pandangan ke arah lain, atau bahkan kepalanya menunduk.
“El,”
“Iya, Pak?”
Elvina menatap Vano sebentar, dan entah kenapa Ia kurang nyaman melihat tatapan Vano yang serius dan dalam.
“Sebenarnya ada apa sih?” Batinnya bertanya-tanya.
“Sebenarnya, sejak awal saya mengajar di kampus, saya langsung merasa tertarik sama kamu. Saya minta maaf kalau pernyataan saya ini bikin kamu nggak nyaman, tapi memang itu yang saya rasakan,”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
lanjut
2023-10-04
0
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu
2023-10-01
0