-Assalamualaikum. Elvina, ini saya Vano. Maaf ganggu waktu kamu. Maaf saya mau tanya, kira-kira saya boleh ke rumah kamu sekarang nggak?-
Elvina membelalakkan matanya ketika membaca pesan dari nomor yang belum Ia simpan di daftar kontak. Ia bingung, Vano dapat nomor ponselnya darimana? Seingatnya mereka belum pernah berkirim pesan, karena kalau ada tugas atau apapun itu tentang perkuliahan biasanya melalui surel.
-Waalaikumsalam. Pak Vano dapat nomor saya dari siapa?-
Sebelumnya Elvina ingin rasa penasarannya terjawab dulu. Ia belum memberikan jawaban boleh atau tidak Vano datang ke rumahnya sore ini.
-Saya minta ke teman kamu-
“Hah? Pak Vano minta nomor aku ke teman aku? Siapa ya kira-kira? Astaga, pasti teman aku bingung deh kenapa Pak Vano minta nomor telepon aku. Semoga aja teman aku nggak salah paham. Takut dikira aku punya hubungan yang macam-macam sama Pak Vano,”
-El? Saya boleh ke rumah kamu sekarang?-
-Kenapa ya, Pak?-
-Mau kenal sama orangtua kamu dan mau ngajakin kamu makan bareng kalau mereka izinkan-
“Ya ampun, Pak Vano kenapa sat set banget sih. Aku jadi kelabakan lho ini,”
********
“Gimana? Elvina bolehin kamu ke rumahnya? Semoga boleh ya, dan semoga kue yang Mama buat itu disukai sama Elvina, dan orangtua. Jujur Mama pengen juga lho kenal sama orangtuanya, tapi ‘kan kamu aja belum kenal ya, masa kita langsung datang rame-rame ke sana. Nanti mereka kaget lagi, dikiranya udah mau ngelamar. Ya udah Mama Papa kasih waktu aja dulu buat kamu yang mulai perkenalan itu,”
Vano tertawa dan membenarkan perkataan mamanya. Kalau datang langsung membawa orangtuanya, Ia khawatir akan canggung, dan orangtua Elvina mengira Ia tidak memberikan waktu untuk Elvina memikirkan semuanya terlebih dahulu.
“Wah, ada yang bawa kue? Aku mau ya, Ma. Tolongin potongin aku mau cobain, Ma,”
“Eh eh itu bukan untuk kamu,”
Davina datang ke ruang makan, dan melihat ada dua kotak kue. Ia pikir itu pemberian orang lain dan Ia ingin langsung mencobanya, akan tetapi dilarang oleh Lisa, mamanya.
“Lho, emang kenapa? Kok bukan buat sku? Tumben Mama pelit,”
“Eh Mama tuh bukan pelit, tapi yang buat kamu ada di meja makan, liat dulu tuh, ini buat dikasih ke orang tau,”
“Oh itu mau dikasih ke orang?”
Davina langsung membuka tudung saji yang ada di tengah-tengah meja makan, dan benar saja Ia menemukan satu piring datar berisi kue yang telah dipotong-potong oleh mamanya.
“Asyik Mama bikin kue. Makasih ya, Mama,”
“Sama-sama, semoga enak. Jadi Mama tuh bukan pelit ya!”
“Hahahaha maaf, Ma. Kirain aku nggak dapet jatah, kok tumben,”
“Nggak mungkin lah, Mama buat sesuatu tapi nggak bagi anaknya. Ini yang tadi kamu pegang untuk calon kakak ipar kamu,” penjelasan Lisa langsung mengundang senyum Vano yang senang sekali mendengar kalimat itu terlontar dari mulut mamanya. Sementara reaksi Davina adalah membelalakkan kedua matanya.
“Hah? Kakak ipar aku?”
“Masih calon, doain aja semoga jadi, dan semua lancar,”
“Ih kok bisa?”
“Lah, kok bisa gimana sih maksud kamu?”
“Ya maksud aku, kok bisa aku tau-tau udah punya calon kakak ipar? Emang Abang udah punya pacar ya? Kok belum dikenalin ke aku sih?”
“Sukanya udah lama, tapi baru bilangnya kemarin. Nah belum dikenalin ke kamu, ya karena emang Abang aja baru terang-terangan kemarin ke ceweknya, kalau ke Mama Papa sih udah dari awal jujur ya,”
“Abang, emang dia orangnya gimana? Baik?”
“Kalau nggak baik, Abang nggak mungkin cinta, Dek,” jawab Lisa yang langsung membuat Davina memmutar bola matanya. Ia yang posesif terhadap sang abang, merasa sedih belum terima karena abangnya sudah punya tambatan hati.
“Emang Abang cinta sama dia, Bang?”
“Iya, tapi cuma diam-diam aja selama ini, sekarang udah nggak dong,”
“Jadi Abang udah pacaran gitu sama dia?”
“Nggak bisa dibilang pacaran juga sih, Dek. Doain aja bisa dipermudah ke jenjang yang serius ya,”
“Mau langsung nikah? Emang Abang yakin dia perempuan baik-baik?”
“Abang sebelum lebih dalam suka sama perempuan, Abang cari tau dulu sebisa abang,”
“Yah, berarti aku bakal kehilangan abang dong,”
“Eh kok ngomongnya gitu sih? Ya nggak lah, Abang nggak bakal kemana-mana. Abang tetap abang kamu meskipun nanti abang udah punya pasangan,”
“Tapi aku takut abang nggak perhatian lagi sama aku, Bang,”
Vano terkekeh dan langsung mengusap puncak kepala adiknya yang masih menduduki bangku sekolah menengah atas.
“Tenang aja ya, jangan khawatir. Abang bakal tetap perhatian sama kamu, Dek,”
“Terus gimana sama istri Abang? Dia bakal terima aku nggak?”
“Ya harus dong, kalau dia terima Abang, ya dia harus terima keluarga abang juga. Begitupun sebaliknya. Abang terima dia, berarti abang harus terima juga keluarganya. Kita harus saling, bukan hanya satu pihak aja,”
“Emang dia siapa sih, Bang? Kerja dimana? Umurnya berapa?”
“Dia mahasiswi abang, Dek,”
“Hah? Mahasiswi, Bang? Serius? Kok bisa? Maksud aku, ‘kan Abang punya teman-teman perempuan dong pasti? Yang bukan mahasiswi lagi, tapi kenapa milih mahasiswa abang?”
“Ya karena Abang tertariknya sama dia, menurut abang dia beda. Jadi begitu pertama kali abang ngajar di kelas dia, abang langsung tertarik. Abang bahkan jadi susah untuk profesional kalau udah ngajar di kelas dia, karena bawaannya pengen merhatiin dia aja gitu, daripada ngajar. Selama enam bulan abang kayak gitu, susah banget suka cuma diam-diam itu, Akhirnya kemarin Abang beraniin untuk ajak dia makan bareng dan Abang ngomong ke dia soal perasaan Abang,”
“Terus Abang udah kenal orangtuanya belum?”
“Belum lah, orang ngomong berdua sama dia aja baru kemarin, gimana ceritanya udah kenal sama orangtuanya? Nah ini Abang pengen ke rumah dia cuma belum ada jawaban boleh atau nggak nya,”
“Umurnya berapa, Bang?”
“Dua satu, Dek,”
“Hah? Bedanya lumayan jauh tuh sama Abang,”
“Ya emang kenapa? Jodoh ‘kan nggak tergantung umur atau yang lainnya. Kalau kata Allah udah jodoh ya jodoh aja. Bahkan banyak kok yang perbedaan umurnya lebih jauh daripada abang sama Elvina, Dek,” ujar Lisa yang tidak masalah sedikitpun anaknya mau bertemu dengan jodoh yang usianya berapa. Mau lebih tua atau lebih muda, yang penting baik, menerima kekurangan Vano dan keluarga, membuat Vano nyaman berada di dekatnya, itu sudah lebih dari cukup untuk Lisa.
Ponsel Vano tiba-tiba bergetar dan ternyata balasan pesan dari Elvina sudah masuk. Buru-buru Ia membacanya.
-Boleh, Ayah Bunda aku kebetulan udah di rumah semua-
Membaca pesan itu, Vano tersenyum sumringah. Ini awal yang baik untuknya. Diberikan kesempatan untuk bertemu dengan orangtua Elvina adalah hal yang sangat membuat Vano bahagia. Terlepas dari bagaimana reaksi mereka nantinya setelah bertemu dengan dirinya, yang terpenting bagi Vano sekarang adalah Ia bisa kenal dengan orangtua Elvina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments