NovelToon NovelToon

Bayangan Dari Masa Lalu

Bab 1

Terhitung sudah enam bulan Vano menjadi dosen di Universitas Pelita. Ia banyak bertemu dengan mahasiswi yang cantik dan berprestasi, terang-terangan menunjukkan rasa kagum terhadap dirinya yang masih muda, tampan, mapan, dan cerdas.

“Pak dosen, udah punya pacar belum?”

Vano tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan tegas. Siapapun yang bertanya seperti itu jawabannya selalu sama. Ia memang belum memiliki kekasih. Dan di usianya yang ke dua puluh delapan ini, sebenarnya kurang pantas lagi kalau hubungannya sebatas pacaran saja. Ia ingin memiliki hubungan yang lebih serius.

“Pak dosen, ganteng banget sih. Masa belum punya pacar? Jadi pacar saya aja kalau begitu

Vano langsung memberikan tatapan datar yang pertanda bahwa Ia tidak senang ketika ada mahasiswa bicara seperti itu kepadanya.

“Ingat, saya dosen kamu,”

“Maaf, Pak. Tapi emangnya kenapa kalau dosen saya? Bagus dong, biar ada cerita ‘pacarku adalah dosenku’ kan lucu tuh judul ceritanya,”

Vano mempercepat laju langkah kakinya karena merasa terusik dengan mahasiswi itu. Tak hanya satu atau dua orang saja yang mendekatinya, tapi semua tak ada yang berhasil memikat hatinya.

Malah yang berhasil membuat perhatiannya sulit teralihkan ketika belajar, pesona nya berhasil memikat hati Vano adalah seorang mahasiswi yang tak pernah menunjukkan rasa kagum kepadanya, apalagi mendekatinya dengan terang-terangan. Kalau Vano sudah belajar di kelasnya, Vano sulit untuk profesional karena rasanya ingin terus memandang perempuan itu.

Sekarang Vano melihat perempuan yang dikaguminya dalam diam, sedang bersiap untuk menaiki motornya hendak pulang.

Entah kenapa saat ini Vano punya keinginan keras untuk berbicara dengan mahasiswinya itu lebih dari sekedar membahas mata kuliah. Ia ingin terlibat obrolan diluar hal tentang kampus dengan perempuan itu.

Vano merasa ada dorongan kuat untuk mulai mendekati perempuan itu. Ya, Vano menyukai seorang mahasiswi yang selama ini Ia kenal dengan pembawaannya yang ceria, berprestasi, dan sederhana.

“Hai, Elvina,”

Mahasiswi yang disebut namanya itu tidak jadi menggunakan pelindung kepalanya ketika ada yang memanggil dan suaranya cukup dekat.

“Oh halo, Pak, ada apa ya, Pak?”

“Kamu mau pulang? Udah selesai jam kuliahnya?”

“Iya udah, Pak. Ini mau pulang ke rumah,”

“Saya boleh minta waktunya sebentar?”

“Iya, ada apa ya, Pak?”

Elvina mendadak canggung. Tak pernah sekalipun Ia dihampiri oleh dosen laki-laki seperti ini di luar jam kuliah, apalagi ini Vano, dosen tampan yang menjadi incaran mahasiswi di kampus tersebut.

“Makan siang sama saya bisa?”

Elvina terperangah untuk beberapa detik. Ia tidak salah dengar? Vano tiba-tiba datang dan mengajaknya untuk makan siang bersama. Ia merasa ada yang aneh, bahkan sejak Vano memanggilnya.

“Hmm gimana ya, Pak? Saya biasanya makan di rumah kalau udah selesai kuliah,”

“Sebentar, ada yang mau saya bicarakan,”

“Tentang apa kalau boleh tau, Pak?”

“Tentang saya ke kamu,”

Vano memutuskan untuk jujur saja. Enam bulan hanya mengagumi dalam diam rasanya lelah juga, dan kali ini Ia ingin mencoba untuk jujur. Dan Ia tidak tahu tanggapan Elvina nanti yang jelas Ia sudah berusaha untuk mengungkapkan isi hatinya. Hal itu sebenarnya tidak mudah. Membayangkan akan ditolak oleh Elvina atau bahkan dibenci, Vano sudah sedih duluan. Tapi kalau Ia hanya diam saja, sementara rasa di hatinya kian bertambah, Ia tidak akan tahu apa tanggapan Elvina nantinya.

“Ya udah boleh, makan dimana?”

“Kamu naik mobil saja aja, kamu mau ‘kan?”

“Saya naik motor saya sendiri aja ya, Pak. Nanti saya ikutin mobil bapak, soalnya bapak yang tau mau makan dimana,”

“Oh ya udah kalau gitu, terimakasih ya udah mau luangin waktu, maaf juga udah ganggu kamu,”

“Nggak apa-apa, Pak. Saya penasaran apa yang mau Bapak bicarakan sama saya,”

****

Elvina diajak makan di sebuah restoran yang terbilang cukup mewah di ibukota ini. Elvina semakin bingung dengan hal apa yang akan dibicarakan oleh dosennya sendiri.

Vano ingin pengalaman pertama makan dengan gadis yang sudah Ia kagumi sejak pertama kali mengajar tidaklah buruk. Maka dari itu Ia membawa Elvina ke tempat makan yang mewah seperti ini, walaupun Ia tahu tak berarti apa-apa bagi Elvina. Terlihat dari ekspresinya yang biasa-biasa saja.

“Makin keliatan sederhana nya kamu, El, dan saya makin kagum,”

“Kamu nyaman ‘kan di sini?”

“Iya nyaman, Pak. Ini ‘kan restoran yang nggak murah,” ujar Elvina seraya terkekeh.

Mana ada orang yang tidak nyaman dibawa ke tempat makan yang mahal, tiba-tiba lagi diajaknya, dan Elvina diajak oleh dosennya sendiri.

“Tapi sebenarnya ya, makan dimana aja nyaman banget buat saya, jujur saya lebih seringnya makan di pinggir jalan. Karena menurut saya nyaman juga, rasanya nggak kalah enak sama makanan bintang lima, dan yang paling penting harganya murah jadi nggak perlu rogoh kantong terlalu dalam,” ucap Elvina seraya tersenyum.

“Tapi bapak ‘kan dosen ya, wajar banget kalau senangnya ke tempat-tempat makan kayak begini,”

“Saya cuma pengen pertama kali makan sama kamu, benar-benar berkesan untuk kita berdua. Di sini ‘kan suasananya lebih private,”

Semakin tidak karuan perasaan Elvina. Sebenarnya apa yang ingin dibicarakan oleh Vano? Kenapa Vano butuh suasana yang lebih private makanya mengajak Ia untuk makan di restoran ini. Tapi sayangnya Vano tak kunjung bicara pada inti.

“Pak, mau ngomongin apa ya?”

Akhirnya Elvina yang memulai. Elvina tidak bisa lagi menunggu terlalu lama. Elvina ingin tahu secepatnya hal apa yang akan dibicarakan oleh Vano.

“Kita ngobrol setelah makan aja ya, sebentar lagi makanan datang,”

Elvina menghela napas pelan. Kenapa harus tunggu nanti? Ia penasaran nya sekarang. Menunggu setelah makan, itu terlalu lama menurut Elvina.

“Biar lebih enak ngobrolnya, kita harus makan dulu,”

“Ya udah, nggak apa-apa, Pak,”

Elvina menyerah, kalau Vano belum bersedia bicara sekarang, tidak mungkin Ia memaksa. Ia menerima ajakan Vano untuk makan bersamanya, artinya Ia juga harus menerima keputusan kapan Vano mau bicara soal hal yang belum diketahui olehnya supaya suasana tetap berlangsung nyaman.

Makanan datang, dan mereka langsung bersantap. Jujur, Elvina gugup harus makan bersama laku-laki, selain papanya. Terakhir Ia makan dengan lelaki yang bukan keluarganya adalah makan bersama mantan calon suaminya.

Ah kalau mengingat itu, perasaan Elvina jadi tidak karuan lagi. Akan tetapi Elvina belum bisa benar-benar mengusir bayangan mantan calon suaminya itu. Apalagi kalau ada di situasi yang tepat untuk mengingatnya. Seperti sekarang, makan berdua dengan laki-laki, dulu Ia dan Rendra sering melakukannya sebelum akhirnya Rendra memilih perempuan lain di saat mereka sudah tukar cincin dan punya rencana matang untuk menikah. Mengingat apapun tentang Rendra tentunya menghadirkan rasa sakit di hati Elvina, tapi tetap saja Elvina ingat, karena memang Ia akui belum ada kata move on dari Rendra.

Selepas makan, Vano menatap Elvina yang sejak tadi menghindari kontak mata. Lebih banyak mengalihkan pandangan ke arah lain, atau bahkan kepalanya menunduk.

“El,”

“Iya, Pak?”

Elvina menatap Vano sebentar, dan entah kenapa Ia kurang nyaman melihat tatapan Vano yang serius dan dalam.

“Sebenarnya ada apa sih?” Batinnya bertanya-tanya.

“Sebenarnya, sejak awal saya mengajar di kampus, saya langsung merasa tertarik sama kamu. Saya minta maaf kalau pernyataan saya ini bikin kamu nggak nyaman, tapi memang itu yang saya rasakan,”

Bab 2

Pengakuan Vano tentang perasaannya jujur membuat Elvina terkejut. Tapi reaksi Elvina tidak kelihatan kalau Ia senang, merasa bangga karena sudah disukai oleh seorang Vano. Justru Elvina kelihatan bingung. Vano, yang istilahnya sangat luar biasa, menyukai Elvina yang hanya seorang mahasiswi biasa. Itu aneh menurut Elvina.

Walaupun sekarang perasaannya gugup, takut mendapatkan reaksi yang tidak mengenakkan dari Elvina pasca pengakuan nya, tapi di sisi lain Vano merasa lega karena perasaannya sudah tersampaikan kepada Elvina.

“Saya mau mengenal kamu dan keluarga kamu lebih dekat, boleh?”

“Hah? Pak Vano kenapa sih? Ini aku nggak salah dengar?”

Elvina benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Setelah menyatakan isi hatinya, sekarang Vano meminta izin untuk mengenalnya dan keluarga lebih dekat. Ini terlalu mengejutkan untuk Elvina.

“Saya mau mengenal kamu dan keluarga kamu lebih jauh, kalau memang cocok, saya mau beranikan diri untuk meminta kamu ke orangtua kamu,”

“Astaga, udah jauh banget pemikirannya,” batin Elvina yang hanya bisa bergumam di dalam hati. Mulutnya seolah beku, dan sulit untuk bergerak walaupun hanya bicara satu patah saja.

“Kenapa saya terkesan cepat? Karena saya rasa enam bulan cukup untuk kenal kamu dari luar, di usia saya yang ke dua puluh delapan ini, saya merasa bukan saatnya lagi untuk sekedar main-main dengan perempuan. Saya mau serius, dan orang tua saya pun begitu, oh iya saya lupa bilang. Orangtua saya udah tau soal perasaan saya ke mahasiswi saya, yaitu kamu, dan mereka dukung banget walaupun mereka belum kenal kamu secara langsung. Mereka bilang, hanya dari cerita-cerita saya aja, mereka udah bisa nilai kalau kamu perempuan yang baik,”

“Saya bingung harus gimana,” akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulut Elvina yang beberapa menit hanya diam tanpa reaksi yang nyata.

“Kamu nggak harus gimana-gimana, saya sebagai laki-laki yang harus bergerak untuk membuktikan keseriusan saya. Kamu pasti perlu waktu untuk mencerna ini semua. Nggak apa-apa, pelan tapi pasti kamu pasti bisa menilai sendiri apa yang saya omongin itu benar. Saya mencintai kamu, itu mungkin terdengar menggelikan untuk kamu ya? Tapi yang saya rasakan sudah sampai ke tahap itu, bukan lagi sekedar kagum seperti waktu pertama kali ketemu kamu,”

“Ya Allah, kenapa jadi begini? Nggak pernah ada dalam bayangan aku di sukai, apalagi dicintai sama dosen aku sendiri,”

“Saya boleh ‘kan kenal kamu dan orangtua kamu lebih jauh?”

Sekali lagi Vano bertanya hal itu. Karena Ia belum mendapatkan jawaban yang pasti dari Elvina. Ia harus izin terlebih dahulu, sebelum memulai langkah yang lebih jauh.

“Kalau kenal sih boleh aja, Pak,”

“Sambil kamu berpikir, kamu mau nggak diajak serius sama saya,”

“Tapi saya nggak cinta sama bapak,”

Vano tersenyum mendengar kejujuran Elvina. Tidak apa menyakiti, tapi yang penting jujur. “Saya rasa, ungkapan cinta bisa datang karena terbiasa itu bisa kita gunakan, El. Lagipula ‘kan kita lagi mau kenal lebih jauh dulu. Kalau memang jodoh pasti semuanya dipermudah,”

“Saya cinta sama orang lain,”

Wajah Vano langsung pias mendengar perkataan Elvina. Jujur, mengetahui fakta bahwa Elvina belum mencintainya itu lebih baik ketimbang mendengar fakta bahwa Elvina masih mencintai seseorang.

“Kalau saya boleh tau, siapa orangnya? Maaf sebelumnya, tapi sebelum saya berani ungkapin perasaan saya ke kamu, saya udah mastiin kamu nggak lagi jalin hubungan sama siapapun, jadi saya agak kaget dengar pengakuan kamu barusan,”

“Bapak tau darimana kalau saya lagi nggak punya hubungan sama siapa-siapa?”

“Saya cari tau sendiri,”

Elvina terperangah mendengar ucapan jujur Vano. Jadi Vano diam-diam sudah mencari tahu soal Elvina tanpa Elvina sadari.

Melihat ekspresi kaget Elvina, Vano terkekeh. “Kamu kok kaget? Saya kalau udah tertarik sama satu perempuan, saya bakal cari tau tentang dia. Jadi sebelum terlalu jauh perasaan saya untuk perempuan itu, saya udah tau dulu gimana dia,”

****

“Kenapa pulang-pulang keliatan sumringah gitu, Nak? Kayaknya lagi senang banget nih,”

Lisa membukakan pintu untuk anak sulungnya yang baru saja pulang. Vano mencium tangan mamanya dan setelah itu tertawa karena Lisa menjawil dagunya.

“Kenapa kamu? Ada hal yang bikin bahagia banget kayaknya,”

“Iya emang, Ma,”

“Wah, apa tuh? Mama boleh tau nggak?”

“Boleh dong, Ma. Aku tadi udah jujur soal perasaan aku ke perempuan yang aku kagumi selama ini lho, Ma, eh nggak mengagumi aja sih, cinta juga bahkan,”

“Eh ini beneran?”

“Iya beneran, Ma,”

“Alhamdulillah, terus gimana tanggapannya? Nggak apa-apa kalau buat kecewa yang penting kamu udah berani mengutarakan. Jodoh nggak bakal kemana, Bang,”

Vano menganggukkan kepalanya. Yang terpenting baginya adalah, Ia sudah jujur. Dan sebenarnya tanggapan Elvina soal kejujurannya itu biasa saja, tidak mengecewakan, tapi tidak membahagiakan juga. Yang membuatnya kecewa justru kejujuran Elvina soal laki-laki yang katanya masih dicintai oleh Elvina tapi sayang Elvina tak mau berkata lebih lanjut soal siapa sosok lelaki itu.

“Apa kata Elvina, Bang?”

“Dia kaget sih, Ma,”

“Pasti lah kaget, orang selama ini Elvina nggak tau kamu suka sama Elvina diam-diam,”

“Terus dia keliatan kesal, atau gimana?”

“Nggak kesal, Ma. Biasa aja, nggak yang senang, nggak kesal, pokoknya biasa-biasa aja,”

“Ya tandanya kamu harus berjuang yakinin dia bahwa kamu tuh serius,”

“Nah itu dia, Ma. Aku juga udah bilang ke dia, aku pengen kenal dia sama keluarganya lebih jauh lagi, sambil dia mikirin mau atau nggak aku ajakin serius,”

“Masya Allah, udah sampai situ obrolannya? Kamu keren mau mengakui perasaan, laki-laki emang mesti begitu. Harus mau mulai. Nah kalau udah dapat nanti, jangan di sia-sialan ya! Ingat, dapetinnya perlu perjuangan lho. Enam bulan kurang lebih, kamu cuma bisa perhatiin dia dari jauh karena ada status dosen dan mahasiswi di antara kalian berdua, terus setelah kamu berhasil milikin dia, malah kamu sia-siakan. Jangan sampai ya,”

“Iya, Ma. Aku cinta sama dia, dan aku janji sama diri aku sendiri nggak mau sia-siain Elvina karena dia itu perempuan yang beda, Ma. Aku suka karakter dia, terlepas dari cantik rupanya,”

Lisa tersenyum senang mendengar anak sulungnya yang usianya sudah cukup natang ini, tidak ragu untuk memulai hubungan yang serius dengan perempuan yang Ia idamkan.

“Kapan mau kenal sama orangtua Elvina, Bang?”

“Hmm…Elvina belum bilang nih kapan aku bisa ke rumahnya, Ma,”

“Ya udah ditunggu aja, dia pasti perlu waktu untuk bicara ke orangtuanya tentang kamu,”

“Iya aku bakal sabar kok, Ma. Ya udah aku ke kamar dulu ya, Ma,”

“Okay sip, silahkan istirahat,”

Vano menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua. Di tengah perjalanannya, Ia tak sengaja bertemu dengan adiknya yang sudah berpenampilan rapi hendak pergi.

“Abang, anterin aku yuk,”

“Kemana?”

“Ke mal lah,”

“Abangnya mau istirahat, Dek. Diantar pak Hendra aja ya,” ujar Lisa yang tidak ingin anak bungsunya mengganggu istirahat anak sulungnya yang baru saja pulang mengajar, dan pastinya melelahkan.

“Bang, mau ya?”

Davina menatap Vano. Davina masih berharap abangnya mau mengantarkan Ia ke mall untuk belanja. Melihat Vano diam, dan menatap ke arah mamanya, Davina berdecak kesal.

“Ih abang kok gitu sih? Nanti kalau udah nikah, gimana coba?! Aku pasti bakal nggak diperhatiin lagi deh sekarang aja belum nikah aku udah nggak diperhatiin,”

“Ya udah iya-iya, ayo Abang anterin. Baru juga sekali Abang jawabnya lama, biasanya juga langsung iya, siapa bilang kamu nggak diperhatiin? Jangan ngomong gitulah, Abang punya adik cuma satu, dan itu kamu. Mana mungkin Abang nggak perhatian. Ya udah Abang siap-siap dulu bentar,”

“Nggak usah, pakai kemeja sama celana ngajarnya aja,”

“Nggak ah, Abang mau ganti baju. Udah kayak apaan aja ke mal pakai baju formal,” ujar Vano smabil berlaku ke kamarnya.

Davina berseru kesenangan karena Vano tidak menolak untuk mengantarkannya ke mall. Kemudian Ia mendapat teguran dari Lisa.

“Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi, Davina. Abang itu sayang banget sama kamu. Abang baru banget pulang ngajar, Mama mau dia istirahat, makanya Mama suruh kamu pergi diantar sama Pak Hendra. Tapi apa? Abang kamu tetap aja tuh mau nganterin kamu, ngorbanin waktu istirahatnya,”

Bab 3

“Bunda, aku lagi benar-benar bingung deh sekarang,”

Elvina menyandarkan kepalanya di bahu sang Bunda yang saat ini menjadi temannya menonton televisi.

Elvina mau jujur pada bundanya sekarang soal pernyataan seorang lelaki tadi kepadanya, dan itu dosennya sendiri.

Elvina ingin bundanya memberikan saran apa yang sekiranya tepat untuk Ia lakukan ketika Ia belum bisa membalas perasaan Vano, dan Elvina ingin bundanya juga tahu soal keberanian seorang lelaki yang ternyata sudah enam bulan mengaguminya diam-diam dan tadi baru mengakui tentang itu.

“Bingung kenapa, Sayang?”

“Aku bingung, jadi tadi tuh, dosen aku tiba-tiba bilang mau ngomongin sesuatu sama aku, terus beliau ajak aku makan siang bareng. Aku iyain karena aku penasaran hal apa sih yang mau diomongin berdua sama aku, kali aja tentang perkuliahan ya, Bun. Tapi ternyata yang dia omongin nggak ada sangkut pautnya sama perkuliahan,”

“Terus apa?”

Dini langsung menatap anaknya dengan sorot mata yang sangat penasaran. Bagaimana tak penasaran kalau Elvina sudah menyebut dosen, makan siang bersama, ada hal yang dibicarakan antara mereka.

“Pak Vano bilang, selama ini dia mengagumi aku diam-diam, Bun. Pak Vano itu udah ngajar di kampus aku kurang lebih enam bulanan lah. Terus dia mau kenal aku sama keluarga aku lebih jauh. Aku bilang kalau kenal sih nggak apa-apa. Tapi aku bingungnya, dia kayak mau ngajakin aku ke hubungan yang serius gitu, Bun,”

Dini mengerjapkan matanya beberapa kali setelah mendengar anak tunggalnya bercerita. Tidak disangka ternyata ada yang mengagumi Elvina disaat Elvina menutup diri dari yang namanya kaum laki-laki setelah mendapat luka dari mantan calon suaminya.

“Ya coba aja kenal aja dulu, liat dia beneran mau serius atau nggak,”

“Bun, tapi aku nggak bisa balas perasaan Pak Vano,”

“Kenapa? Karena belum move on dari mantan kamu itu? Mau sampai kapan, El? Kalau ada yang lebih baik, apalagi nunjukkin keseriusannya, Bunda rasa nggak apa-apa. Bunda berharap kamu nggak dipertemukan lagi dengan laki-laki yang bakal nyakitin kamu,”

“Jadi maksud Bunda, Bunda setuju kalau Pak Vano mau deketin aku? Mau deket sama Ayah bunda?”

“Iya, kenapa nggak? Pengen liat juga dia beneran pengen serius atau cuma main-main aja. Kalau boleh tau usianya berapa?”

“Dua puluh delapan deh kalau nggak salah,”

“Udah cukup matang, pekerjaannya dosen, ya mungkin karena itu dia mau serius sama kamu. Tinggal gimana kamu nya aja,”

“Tapi aku juga insecure, Bunda. Dia dosen, lah aku baru mahasiswi,”

“Kenapa harus insecure? ‘Kan dia yang punya perasaan lebih dulu ke kamu, dia yang bergerak duluan, sebenarnya itu udah bisa jadi tanda sih kalau dia emang nggak mau main-main. Sekalinya jujur soal perasaan, dia langsung bilang kalau dia pengen kenal lebih dekat sama kita. Ya itu tandanya dia emang pengen sama kamu. Perasaan orang nggak bisa diatur, Nak. Kalau hatinya merasa tertarik sama mahasiswa nya sendiri, masa kita harus larang? Ya berarti ada dalam diri kamu hal-hal yang dia suka, dan itu alasan dia nyatain perasaan nya ke kamu,”

“Ssttt ada apaan sih? Kok kayaknya lagi ngomong serius,”

Tiba-tiba Arman datang ke ruang keluarga dan langsung duduk berhadapan dengan istri dan juga anaknya yang tampak sedang membicarakan sesuatu, dan itu membuatnya penasaran.

“Ini lho, Yah. Ada cowok yang baru aja jujur kalau dia naksir sama Elvina,”

“Hah? Serius? Siapa? Ayah boleh tau ‘kan?”

Arman kelihatan antusias mendengar cerita sekilas dari istrinya. Ia langsung menatap anak tunggalnya.

Arman tahu anaknya masih belum bisa lepas dari masa lalu, dan barangkali sekarang sudah saatnya untuk Elvina tidak lagi mengingat mantan calon suaminya. Yang menyakiti sudah sepatutnya dilupakan, untuk apa masih diingat? Apalagi ditangisi.

“Dosennya sendiri, Yah,” Dini yang langsung menjawab.

“Hah? Benar itu, El? Dosen kamu? Siapa namanya?”

“Pak Vano, Yah. Dia baru ngajar sekitar enam bulanan, terus dia bilang selama dia ngajar di kampus, dia cuma bisa kagum sama aku diam-diam. Terus akhirnya tadi dia beraniin dirinya untuk ngomong langsung ke aku. Jadi tadi aku diajakin makan di luar. Katanya ada yang mau dia obrolin sama aku. Nah aku awalnya ngira yang mau diobrolin itu soal perkuliahan, tapi ternyata perasaannya Pak Vano sendiri. Dia mau kenal aku, bunda, sama ayah lebih jauh. Tapi aku juga udah bilang ke dia kalau aku masih cinta sama laki-laki lain. Dia mau serius sama aku deh kayaknya, Yah. Aku jadi takut deh,”

“Lho, kok takut?”

“Ya karena aku nggak cinta sama dia, jadi aku nggak siap kalau mau diajakin untuk ke hubungan yang lebih serius, Yah,”

“Nak, jodoh itu udah ada yang ngatur. Mungkin hadirnya Pak Vano, bikin kamu lebih bahagia dengan kisah percintaan kamu, ketimbang sama yang sebelumnya. Lupain lah masa lalu kamu, itu cuma bikin kamu sakit hati aja. Pak Vano udah mau serius ‘kan? Jadi ya udah, kenapa nggak coba untuk buka hati aja? Maksud ayah, ayah sama bunda nggak bakal paksa kamu untuk nikah secepatnya sama dia, tapi dia ‘kan katanya mau kenal sama kita lebih jauh, ya udah persilahkan aja. Nanti selama perkenalan itu kita bisa nilai juga keseriusan dia. Kalau jodoh, pasti segalanya dipermudah,”

“Usianya berapa kalau ayah boleh tau?”

“Dua puluh delapan, Yah,”

“Kamu juga perlu kenal dia dulu ‘kan sebelum melangkah lebih jauh. Kenali keluarganya, kenali apapun tentang dia. Jangan sampai menyesal, itu hal yang mesti kamu ingat,” ujar Dini yang disetujui oleh Arman. Walaupun Vano seorang dosen, keluarganya terpandang sekalipun, kalau tak bisa menghargai Elvina buat apa? Mereka ingin Elvina tidak menutup diri lagi dari laki-laki, tapi mereka mau Elvina tetap hati-hati dalam memilih pasangan, jangan sampai kejadian yang lalu kembali terulang.

“Ya udah, jalanin aja dulu, dibiarkan mengalir kayak air. Kalau dia mau ketemu ayah sama bunda dalam waktu dekat nggak apa-apa. Kami juga mau kenal sama dosen kamu itu,”

“Iya, Yah,”

********

“Abang, kalau temenin cewek belanja itu, jangan sibuk sama handphone, Bang. Apalagi sekarang abang jalan sama adek ceweknya abang,”

Vano langsung menyimpan ponselnya ketika lengannya diraih oleh Davina yang merasa kesal abangnya berjalan di belakang dengan lambat sambil menatap layar ponsel sementara Davina ingin meminta pendapat abangnya soal baju yang tepat untuknya tapi bagaimana bisa meminta pendapat kalau abangnya saja jauh di belakangnya, dan malah sibuk dengan ponsel.

“Abang bantuin aku,”

“Bantu apa?”

“Pilihin baju buat malam minggu nanti aku mau datang ke acara ulang tahun teman,”

“Perempuan atau laki-laki?”

“Perempuan sama laki-laki,”

“Lah kok dua? Maksudnya kamu bakal datang ke dua acara ulang tahun gitu?”

“Nggak, satu aja, tapi gabung. Karena mereka kembar,”

“Oh, ya udah pilih aja lah sesuai selera kamu, Abang bingung, abang nggak bisa diandelin kalau soal baju-bajuan,”

“Ih Abang pokoknya bantuin. Aku perlu pendapat Abang,”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!