Tak kenal maka tak sayang
Pribahasa itu memang benar

Lita perlahan membuka mata, meringis pelan sambil memegang kepalanya. Gadis itu kemudian terduduk lemah, sampai akhirnya ia sadar bahwa ia tidak tahu berada dimana sekarang.
“Akhirnya sadar juga si eneng.”
Lita menoleh mendengar suara seorang pemuda. Pemuda yang beberapa kali ini memberikan efek luar biasa kepadanya.
Bahkan sampai pingsan begini. Pemuda yang luar biasa.
“Gue di mana?”
“Rumah gue.”
Lita tersentak pelan, namun berusaha tetap tenang. Ia harus pintar dalam mengatur ekspresi wajahnya, terlebih di depan orang yang tidak ia kenal.
Mendapati ekspresi Lita yang seperti menahan amarah, Darka dengan cepat mengatakan pada Lita situasi yang terjadi.
“Lo kan tadi pingsan. Nah, yang pas sama lo kan gue, ya—otomatis gue yang gendong lo sampai mobil. Kenapa gue bawa lo kesini? Jawabannya, karena gue gatau rumah lo dimana.”
Lita memperhatikan ekspresi Darka dalam diamnya. Berusaha mencari kebohongan dari wajah tampan itu.
Sayangnya, yang ia cari tidak ada. Pemuda itu benar-benar jujur terhadap ucapannya.
“Intinya gue gak macem-macem ama lo. Hanya berniat baik. Swear dah.” Kata Darka mengangkat dua jari membentuk tanda V.
“Nih, minum dulu,” Darka menyodorkan gelas berisi air dingin pada Lita. Lita hanya memandangi gelas itu beserta dengan si pemilik tangan.
“Selaw. Ini gak ada jampi-jampinya biar lo gak pingsan lihat gue.” Darka menggerakkan gelas itu lebih dekat pada Lita. “Buruan ih tangan gue pegel nih.”
“Letakin.”
“Hah?” tanya Darka bingung.
“Letakin di atas meja.”
Darka menelan ludah. Ini kedua kalinya ia mendengar gadis itu bicara. Darka jadi membayangkan ia sedang berbicara dengan Scared Riana, yang hantu-hantuan itu.
“Su—suaranya jangan serem-serem amat dong, Neng. Serem euy,” ucap Darka memegangi dadanya. Sementara Lita mengabaikan pemuda tampan itu sambil meminum air dingin tadi.
Pandangan Lita kemudian terarah pada setiap sudut rumah ini. Rumah yang cukup besar, namun banyak penghuninya. Mereka memandangi Lita dengan tatapan yang beragam. Ada yang sinis, ada yang senyum-senyum ramah, dan ada pula yang menatap dengan pandangan mengejek.
“Neng, kira-kira—"
“Nama gue bukan neng.”
Lagi-lagi Lita memotong ucapan Darka. Darka mengepalkan tangan. Merasa geram pada gadis di depannya ini. “Makanya, neng. Kita itu harus kenalan,” ucap Darka lembut. “Masih mending loh gue panggil, neng. Kalo gue panggil sayang, kan—,”
“Gue Jelita.”
Darka mengernyit. “Nama lo Jelita?”
“Jelita Geannesa. Puas?”
“PUAS BANGET DONG,” teriak Darka kegirangan, lebih tepatnya kelepasan. Darka berdehem pelan, kemudian mengulurkan tangan mengajak berkenalan. “Gue Darka Samudra.”
Lita hanya memandangi tangan itu. Paham akan situasi, Darka menarik tangannya menjauh dari depan Lita sambil memasang wajah kusut.
“Iya dah iya. Bukan muhrim.” Ucap Darka pasrah.
Kemudian keadaan menjadi hening. Lita hanya duduk diam, memandangi sekitarnya yang masih banyak berkeliaran penghuni itu. Semua menatap kearah Lita, seolah-olah atensi mereka hanya untuk seorang Jelita Geannesa. Mendadak gadis itu merasa tidak nyaman.
Bukan hanya itu yang membuatnya tidak nyaman, tapi pemuda yang ada disampingnya juga. Lita dapat menangkap lewat ekor matanya bahwa pemuda itu memandanginya dengan tatapan tak terbaca.
Jantung gadis itu semakin berdetak kencang ketika mendengar para makhluk itu menjadi heboh. Suara-suara yang tak pasti ia dengar sungguh menganggu pendengarannya. Ia tak dapat menangkap maksud mereka semua. Ini begitu aneh.
Sementara Darka tidak menyadari situasi yang dialami gadis itu. Tentu saja. Sekarang ia sedang duduk menyamping, sepenuhnya menghadap Lita. Memandangi gadis itu dengan datar.
Benarkah gadis ini tidak mempunyai ekspresi di wajahnya itu? Mengapa ia tidak heboh layaknya gadis-gadis lain kala berjumpa dengan seorang Darka Samudera? Gadis ini memandangnya dengan tatapan—jijik, mungkin.
Bahkan sampai pingsan seperti ini.
“Lo ada alergi ya?” tanya Darka membuat Lita tersentak pelan.
Darka pun berdecak, “Yaelah gue nanya pelan juga lo terkejut begitu. Takut banget ya sama gue?” tanya Darka nyolot.
Lita terdiam, tak menjawab semua pertanyaan Darka. Ia masih memandang ke depan, mendengar suara-suara itu ricuh tiada henti.
“Lo kenapa sih?” Darka hendak menyentuh gadis itu tapi Lita segera menghindar.
“Jangan sentuh gue,” kata Lita penuh penekanan. “Gue mau nanya—"
Sial. Lita hampir keceplosan.
“Seriusan lo mau nanya gue?” Darka jadi kegirangan. “Nanya apa cantik? Tanya aja pasti abang jawab kok hehehehehe.”
Lita menggigit bibir, merasa takut untuk menanyakan hal yang menganggunya pada Darka. Ia segan karena ini pertama kalinya Lita bertemu Darka.
Masa baru pertama kali bertemu malah nanya, ‘Ehh rumah lo ini banyak hantunya ya?’ Entar yang punya rumah ternyata gatau apa-apa malah pindah dari rumah ini. Secara rumah ini luas dan besar.
“Gak jadi. Gue mau pulang,” Lita beranjak dari duduknya, mengambil tas dan hendak pulang. Lagipula, makhluk-makhluk disini benar-benar tak membuatnya nyaman. Sungguh ia hendak menghajar mereka semua kalau tidak ada Darka sekarang.
“Gue anter aja gimana?” tanya Darka menawarkan diri.
“Gausah.”
“Ck, jual mahal amat sih,” ucap Darka geram. “Udah biar gue anter aja.” Darka masih memaksa.
Lita menatap mata Darka tajam. Merasa jengkel pada pemuda ini. Baru pertama kali berjumpa saja sudah membuat nya tidak nyaman, bagaimana kalau berlanjut sampai akhirnya saling mengenal lalu berteman?
Bisa-bisa Lita akan berniat meracuni pemuda itu.
Daripada Darka semakin memaksanya, Lita segera berjalan cepat keluar dari rumah, mengabaikan teriakan Darka yang terus memanggilnya.
Di depan rumah Lita berpapasan dengan seorang pria paruh baya. Ayahnya Darka. Gadis itu terus menunduk, tanpa senyum.
Ayah Darka mengangkat alis, terlebih setelahnya Darka muncul mengejar gadis itu.
“Darka, mau kemana kamu?”
Darka mencibir, tak menoleh menanggapi ayah nya itu. Darka benar-benar harus menghindari ayahnya. Firasatnya tidak enak, mengatakan bahwa ayahnya pasti akan menyinggung sesuatu yang tidak menyenangkan padanya.
“DARKA.”
Darka hendak melangkah lagi, namun suara ayahnya yang begitu lantang memanggil namanya membuat ia tak bisa mengelak lagi.
Ia memejamkan matanya rapat, mengepalkan kedua tangan menahan emosi yang sudah memuncak. Kalau saja yang memanggilnya bukan ayahnya, pemuda ini pasti sudah menonjok wajah yang kata orang-orang punya aura tegas dan berwibawa itu.
Lita juga berhenti, namun bukan karena suara pria paruh baya yang memanggil putra semata wayangnya itu. Tapi, makhluk yang tepat berdiri tak jauh dari tempatnya berhenti.
“Ikut Ayah atau Ayah hukum kamu.”
Darka langsung berbalik, berjalan melewati ayahnya begitu saja. Matanya sudah memerah menahan semuanya. Entahlah. Ia belum dimarahi saja sudah bereaksi seperti ini apalagi dimarahi nanti.
Langkah kaki kedua orang itu semakin menjauh, membuat Lita melirik sedikit ke belakang.
Darka dan ayahnya, persis seperti dia dan ayahnya di rumah.
Lita jadi penasaran apa yang akan terjadi dengan keduanya. Akan tetapi, rasa penasaran itu harus ia tahan karena pintu rumah itu tertutup rapat.
Syukurlah, setidaknya dengan pintu itu tertutup rapat membuat rasa penasarannya juga ikut tertutup.
Lita memakaikan tudung jaketnya, menutupi kepala dan sedikit wajahnya. Sekaligus menghindari tatapan makhluk itu yang masih memandanginya dalam diam.
Dahi Lita mengerut hingga menyatu, tak tahu siapa makhluk itu. Jika biasanya ia akan tahu dengan sekali melihat makhluk-makhluk halus di sekitarnya, namun kali ini berbeda.
Makhluk itu sama seperti Darka. Membuatnya penasaran sekaligus kebingungan hingga tidak tahu apa-apa.
Lita menggelengkan kepala kecil. Dengan acuh ia meninggalkan rumah itu. Sudahlah, toh itu bukan urusannya.
Sayangnya, makhluk itu sudah menandai Lita untuk berurusan dengannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Ndhe Nii
sama agak horor...untung Jum'at malam..bukan malam Jum'at....ada paksu bersin d samping aja beneran kaget 🤣🤣🤣🤣🙏
2022-07-01
0
Siti Zubaedah
sampe abis g ya bacanya...serm juga..pd hal baru episode 3
2022-06-17
0
vie🥳
ko merinding sih jadinya
2022-04-26
0