Perlu takdir untuk menemukan sebuah pertemuan, namun aku perlu pertemuan untuk menemukan takdirku
Takdirku, yang berarti dirimu
***
Suara dentuman lagu Kill This Love yang dilantunkan oleh girl group terkenal Blackpink mendominasi sebuah kamar milik Darka Samudra. Seorang pemuda 17 tahun yang kini sedang berada di kamar mandi. Kebiasaan anak muda. Mandi seolah-olah sedang mengadakan konser besar-besaran.
"Let's kill this love! Trek trektrek trek trektrek! Ram pampam pampampampam!"
Dia menjerit, dengan suara beratnya, di bawah shower yang menyala. Darka tampak menikmati, beda dengan Ibunya yang sudah frustasi untuk meneriaki anaknya itu.
"DARKA YA AMPUN, ANAK IBU! UDAH JAM TUJUH NIH, KESIANGAN KAMU, ADUH! AYO, JANGAN LAMA MAIN-MAIN DI KAMAR MANDI ! CEPET KELUAR!"
Darka berdecak kecil ketika samar-samar mendengar suara Ibunya di antara dentuman musik dan suara air mengalir. Akhirnya ia mematikan showernya dan memakai handuk.
"DARKAAAAAAAAAAA!"
"Buset," decak Darka terkesan saat mendengar lengkingan Ibunya ketika sedang menata rambutnya yang basah dengan sisir. "Semoga pita suaranya baik-baik aja," katanya santai, sambil memakai seragam sekolahnya.
Lima menit ia habiskan untuk berpakaian. Darka mematikan lagu yang masih menghentak kamarnya itu, kemudian keluar kamarnya setelah mengambil tas dan ponselnya.
Ketika ia menuruni tangga, Ibu telah menunggu di meja makan dengan tatapan tajam. Darka menyadari jika dirinya mendekati Ibu itu tidak baik, maka dari itu ia berbalik menuju pintu keluar.
"Heh, nggak ke sini, Ibu coret nama kamu di Kartu Keluarga," ancam Ibu dengan nada dingin. Tak habis pikir dengan sikap anaknya itu, telah dikhawatirkan telat, tapi justru langsung ngacir tanpa pamitan.
Darka berhenti melangkah, langsung memasang senyum lebar di wajah tanpa dosanya. "Takut telat, Bu-"
"Udah telat, nggak apa-apa nggak ikut upacara, sini sarapan dulu." Ibu memotong dengan sisa kemarahan yang tersisa. "Jangan kurang ajar. Cepet."
"Si-siap, Bu!" Darka langsung berlari, duduk di seberang Ibunya dan menyantap nasi goreng yang telah disediakan itu dengan gerakan cepat. Nasi goreng ini enak, seperti biasanya.
Ibu mengetok kepala Darka dengan sendok yang ada. "Baca doa dulu. Makannya pelan-pelan. Anak TK, bukan?"
"Hehe, aku lapar, Bu." Darka tersenyum bodoh, matanya ikut menyipit dan itu membuat Ibunya makin geram.
"Kalau lapar, kenapa tadi mau langsung pergi gitu aja?" tanya Ibu heran. Darka ini anaknya sendiri, tapi Ibu tak mampu membaca arah pikiran Darka.
"Takut, Ibu kayaknya marah," balas Darka, masih mempertahankan senyuman bodohnya.
"Ibu emang marah!" seru Ibu, membuat Darka kaget hingga terbatuk kecil.
"Aduh, hati-hati dong, nih minum," kata Ibu seraya menyodorkan segelas air mineral pada Darka. Darka meneguknya untuk merasa agak baikkan.
Ibu melipat tangannya di atas meja, memerhatikan Darka yang sedang makan. "Makanya nih ya. Mandi itu jangan sambil nyetel lagu, bangunnya agak pagian biar nggak telat. Capek Ibu teriak-teriak."
Darka tersenyum diselanya mengunyah, sebab suara Ibu masih terdengar normal-normal saja setelah melengking sekeras beberapa waktu lalu.
"Tau nggak sih, berapa banyak yang dikeluarkan Ayah biar catatan kamu tetap bersih?" tanya Ibu tanpa berpikir lebih lama, tanpa menyadari bahwa kata-kata yang dikeluarkannya bisa menyinggung hati Darka.
"Aku selesai makan, sekarang langsung berangkat aja, ya?" Darka berusaha tersenyum seraya berdiri, saat untungnya, piring sarapannya telah bersih.
"Ya udah sana, ha-"
"Hati-hati, belajar yang bener, kalau ada apa-apa bilangin, nanti diurus sama Ayah," potong Darka dengan senyum jahil, amat hafal dengan kata-kata mutiara Ibunya di pagi hari.
Ibu menepuk pundak anaknya dengan gemas. "Udah langsung berangkat aja, bikin urat Ibu naik aja kamu ini! Telat lima belas menit, tuh."
"Perjalanan lima belas menit, telat setengah jam," tambah Darka sebelum benar-benar pergi dengan langkah terburu-buru, meninggalkan Ibunya yang hanya bisa geram melihat punggung anaknya.

"Telat, lagi, bosqu!"
"Abis malming sama Tulip langsung mabok dia!"
"Gue yakin uang jajannya dipotong lagi!"
Darka disambut ledekan teman-temannya begitu sampai di kelas pada pelajaran pertama, Bahasa Inggris. Beruntung Pak Subroto belum tiba di kelas dan keadaan kelas pun belum terlalu tertib.
"Sultan itu bebas," tukas Darka puas ketika mendudukkan diri di sebelah Anwar, orang yang pertama meledeknya. Ia beralih menatap Sandi, orang kedua yang meledeknya. "Jangan jelek-jelekin gebetan gue, nyet!"
"Tukang Lipstik, disingkat Tulip, ada yang salah, Sultan?" tanya Sandi dengan nada menyebalkan. "Tia itu emang kesenangan olshop lipstik kan, sampai-sampai di sekolah aja dipake."
"Satu sekolah aja udah tau panggilannya itu Tulip, terima aja lah," tambah Putra, cowok berkaca mata yang tadi mengejeknya terakhir.
"Lo nggak tau waktu upacara ada apaan," kata Anwar memulai pembicaraan yang menarik perhatian Darka.
"Apaan emang?" tanya Darka langsung.
"Yang telat, tadi dicerca habis-habisan waktu pembina ngasih amanat. Mereka dibarisin di depan peserta upacara, anjir kasian." Anwar bercerita sambil memasang wajah sedih yang hampir menangis.
Darka mendengus, tak begitu terkesan dengan pemaparan Anwar. "Gitu aja, kirain apaan."
"Ada si Tia, geblek," tukas Putra sambil menjitak kepala temannya yang agak tumpul itu.
"Sakit, goblok!" balas Darka tak terima, langsung menggeplak kepala Putra dengan keras.
"Si anjir, kurang ajar!" Putra menampar pipi Darka kesal.
"Setan!" Darka langsung mencekik leher Putra dan hal itu sontak jadi perhatian kelas. Anak-anak langsung mengerubungi. Anwar dan Sandi dengan sigap memisahkan kedua temannya itu dan tersenyum pada anak-anak yang lain.
"Maaf ya temen-temen, ini anak dua emang kurang omega 3. Sekarang boleh kembali ke tempat masing-masing," kata Anwar dengan wajah serius.
"Mohon bantuannya temen-temen, udah ya, jangan kepo," tambah Sandi hingga membuat empat orang itu tak lagi jadi pusat perhatian.
Selepas itu, Sandi menatap Darka dan Putra yang masih saja saling melempar tatapan dendam membara, kemudian ia berdecak tak suka.
"Kalian kenapa sih, hah?" bisik Sandi merasa malu. Ia menatap Darka dengan sinis. "Apalagi lo. Obat lo kurang berapa liter sampe nyekik Putra segala?"
Darka masih mengembuskan napas membara sambil menatap Putra, ia tak terima atas kelakuan temannya yang satu itu.
"Lo pikir ini lucu, hah?" tanya Anwar ikut berbisik, merasa malu juga. Ia menatap Pita dengan mata menyipit. "Mau dapet nilai gede, itu nggak ada gunanya kalau lo masih aja jitak kepala orang bego gitu aja."
"Anwar anjing," desis Darka kesal. Namun, detik berikutnya ia tertawa lepas dengan kencang. Anak-anak kelas sampai melihatnya lagi. "Lo nggak pantes gini-ginian, njir. Muka lo tuh lawak banget."
Anwar tersenyum kecut. "Asem lo, Dar."
Putra terkekeh. "Dar, lo cocok banget. Akting lo pas. Makin baik aja."
"Lo juga, Put," balas Darka sambil menyeringai.
"Udah damai, Telor Dadar! Mulai mulu lo ah!" seru Anwar sambil menyikut Darka saat melihat Putra mulai mengeluarkan aura tak mengenakan saat dipanggil sedemikian rupa oleh Darka.
Darka terkekeh kecil. "Lo nggak tau yang namanya bercanda, ah, nggak seru, Put!"
Melihat Darka semakin gencar meledek Putra, Sandi angkat suara saat mengira kali ini Putra serius akan wajahnya yang sudah mengeras itu.
"Udah, buset, berantem mulu. Aktingnya ntar aja dilanjut, sekarang gue merasakan Pak Subroto mau masuk ke ini kelas," kata Sandi seraya merapikan meja dan duduknya.
Putra akhirnya mengikuti, begitu juga dengan Anwar, sementara Darka masih tersenyum lebar seolah Sandi hanya bercanda. Padahal, selama ini, insting Sandi tak pernah meleset tentang Pak Subroto, entah kenapa.
Darka masih santai duduk di meja, memandang remeh Sandi. "Paling kemarin-kemarin nggak sengaja, tebakan lo bener. Sekarang, siapa yang tahu? Mungkin Pak Subroto mules dan nggak masuk? Enak kan."
"DARKA!" suara keras itu mengejutkan bagi Darka. Tubuhnya menegang dan ketika berbalik, Pak Subronto rupanya telah berada di depan, melihatnya dengan mata melotot. "GET OUT FROM THIS CLASS!"
Tiga temannya di belakang menahan tawa ketika melihat Darka pura-pura murung seraya melangkah keluar kelas. Sudah jadi rahasia umum, Darka akan senang kalau tidak berada di kelas.
Tentu ia akan menikmati kemarahan Pak Subroto itu dengan senang hati.

Lita memperbaikki jaket merahnya ketika langkah kakinya mulai memasuki area ramai dengan berbagai penjual makanan. Kantin.
Mungkin, bagi kebanyakan siswa, kantin adalah surga. Namun tidak bagi Lita. Ia telah terbiasa membawa bekal dan hampir tak pernah keluar kelas untuk mencari makanan. Ia tak suka keramaian, karena artinya ia akan banyak melakukan kontak fisik dan semakin banyak kekelaman yang menakutinya.
Hari ini, entah apa yang salah pada dirinya, ia bangun telat dan memilih untuk tak membawa bekal daripada telat. Lita berusaha menjadi anak teladan, ia tak mau mendapatkan catatan akhlak buruk.
Dengan berat hati, untuk mengisi perutnya yang telah kosong karena tak diisi semenjak pagi, Lita pergi ke tempat ramai itu. Sengaja, Lita selalu memakai jaket berlengan panjang yang dapat menutup kemungkinan ia melakukan kontak fisik secara langsung dengan kulit tubuhnya.
Bagi seorang Lita, ini kali pertamanya menginjakkan kaki di kantin, setelah hampir dua tahun berada di sekolah ini. Beberapa anak yang mengenalnya melalui sebuah kejadian yang melibatkannya dengan ketua OSIS satu tahun yang lalu, menatapnya aneh.
Diantara kerumunan siswa-siswi, Lita mudah menjadi perhatian sebab memakai jaket merah yang amat mencolok. Namun Lita hanya menunduk saat ditatap sedemikian rupa.
Tujuan Lita hanya satu, membeli batagor dan air mineral. Setelah itu ia akan kembali ke kelas dan menghindari semua pasang mata yang menatapnya aneh.
Lita bergerak cepat, membeli dua materi yang dibutuhkannya. Ketika selesai, ia kembali berjalan cepat. Namun rupanya dunia tak memberikan jalan yang mudah baginya.
Karena tak terlalu memerhatikan jalan, Lita tanpa sengaja menubruk tubuh seseorang dan membuat jajanan yang ia bawa hampir terjatuh. Lita segera memundurkan diri dengan kepala yang masih tertunduk.
"Ah, sori, gue nggak liat jalan. Nggak apa-apa, kan?" tanya orang yang ia tabrak itu, seraya meraih pergelangan tangannya hingga membuat Lita refleks menatap wajahnya.
Mata mereka bertemu penuh arti. Lita sempat tenggelam dalam iris cokelat yang tampak hangat itu.
Namun, bayangan hitam segera menutupi penglihatan Lita. Sebuah pukulan yang tak jelas dari mana datangnya seolah menghantam kepala Lita dan membuatnya pusing.
"Modus lo, Telur Dadar! Pake pegang-pegang tangan cewek segala!" seseorang meledek orang itu.
"Ye, sirik lo-"
Lita segera menjauh, melepas kontak fisik itu. Membuat orang di depannya ini tercekat bingung.
"Yaah, dilepas!" suara itu meledek lagi.
Dengan rasa pusing dan aneh yang menimpa tubuhnya, langkah cepat Lita membuatnya meninggalkan kantin dengan tatapan heran dari seseorang.

Catatan penulis:
Bagaimana? Apakah Darka sesuai dengan harapan kalian saat pertama kali membaca namanya?
Apa Lita juga sesuai dengan ekspektasi teman-teman semua?
Aku hanya akan memberitahu bahwa Indah Dalam Kelam akan dipublish setiap Sabtu dan Minggu, menemani malam-malam kalian
See you next week! :*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Sagara Almeer
aku ga bisa buka
2021-12-27
0
Neno
gini ni emak2,ngomel tp tanda sayang
2021-12-09
1
Astri Astuti
śèmàñģàť ñõvéĺnya bagus banget
keren pokoknya
selamat buat juara 1 nya❤
2021-09-12
1