Bab 3

Di bawah kilauan lampu megah yang tergantung di tengah ruang makan, bersamaan dengan asap dari makanan panas yang baru dihidangkan ke meja, suara tamparan menggema bersamaan dengan kepala Sehan yang tertoleh ke samping.

Sehan tersentak sebelum menggerakan rahangnya yang kebas karena tangan Ayahnya. Sang Ibu hanya dapat menahan rasa sakit di kursi ketika melihat putra semata wayangnya di sakiti oleh orang terdekatnya sendiri.

"Siapa bilang kamu boleh dapat peringkat dua?!" Ujar Ayahnya senggak dengan intonasi mengancam.

"Ayah masukin kamu bimbel puluhan juta dan kamu masih kalah sama anak miskin yang bahkan gak bimbel sama sekali?!" Bentak Ayahnya sambil menyugar rambut kasar, merasa sakit kepala dengan kebodohan anaknya.

"Malu-maluin keluarga."

Kata-kata yang sangat sering Sehan dengar dibanding kata-kata pujian dan kasih sayang.

"Jika semester depan kamu tidak bisa peringkat satu, Ayah akan bakar gitar kesayangan dan ruang musik kamu!" Ancam Ayahnya dengan intonasi rendah yang mematikan sontak membuat Sehan menoleh tidak terima.

Pandangan Sehan redup, tangannya mengepal kuat sampai uratnya terlihat dengan napas memburu. Sehan mengumpat dalam hati sebelum berbalik sambil mengenakan hoodienya dan melangkah pergi tanpa sepatah kata membuat Ayahnya kembali murka.

"SEHAN GIOVANO! KEMBALI KE SINI!" Teriak Ayahnya menggelegar namun Sehan menutup pendengarannya.

...****************...

Sepatunya dibawa menginjak genangan air, dia memasukan kedua tangan ke dalam saku celana jeans, berjalan tanpa tujuan hanya untuk meredakan kepala dan hatinya yang panas. Juga untuk menjernihkan telinganya dari teriakan murka sang Ayah.

Sehan mendongkak, menatap langit malam tanpa bintang sebelum menggulirkan netra dan mendapati toko bertuliskan Optik Permata yang masih buka. Mungkin karena memang belum terlalu larut. Sehan menolehkan kepala sepenuhnya ketika melewati toko tersebut dan perhatiannya jatuh pada bingkai kacamata yang ditaruh berjajar dengan rapi.

Bayangan wajah Selena saat tatapan netra mereka bertemu di lapangan basket mendadak hadir di kepalanya.

Sehan menggeleng pelan. Dia mengabaikannya sebelum akhirnya berhenti melangkah dan bergeming sebentar sebelum berdecak dan putar balik lalu masuk ke dalam toko tersebut.

...****************...

Di tengah keramaian kelas 11 Mipa 3, Selena mengerjap, menatap sendu pada kanvas berukuran sedang yang dia simpan di atas meja. Lukisan yang baru dia selesaikan tadi pagi, lukisan yang dia buat karena kesedihan akibat ditinggalkan Keira.

Lukisan yang berisi warna hitam yang menyelimuti seluruh kanvas tanpa cela dengan titik tengah bulat yang berwarna putih menyerupai pintu dimensi.

Keira sudah meninggalkannya lewat pintu putih tersebut, maksud dari pintu putih adalah pintu kematian yang mengantarkan Keira ke alam lain. Dan warna hitam adalah hidup Selena ketika Keira meninggalkannya.

Selena menghela napas, bahkan lukisannya masih basah, dia harus menyimpannya dengan aman terlebih dahulu karena setelah pulang sekolah dia akan membawa lukisan ini ke pemakaman Keira.

Belum sempat mengamankannya, kanvas tersebut di rebut dari tangan Selena dengan cepat membuat Selena mendongkak untuk melihat siapa pelakunya.

Nadia menatap Selena sekilas sebelum menatap lamat-lamat pada lukisan yang barusan dia ambil sebelum berdecih.

"Dengan lukisan sejelek ini elo bisa lolos seleksi lomba ngelukis? Jangan ngimpi!" Ujar Nadia sebelum membanting kanvas ke lantai membuat kanvasnya terbalik sebelum Nadia menginjak dan menggeseknya lukisan yang masih basah itu ke lantai.

Selena menganga kecil, menatap lukisannya sebelum raut wajahnya turun dan tatapannya meredup. Dadanya bergemuruh, entah kenapa rasanya campur aduk, hal yang menyangkut kematian Keira yang bisa jadi pelakunya adalah Nadia kembali hinggap di kepalanya membuat emosi Selena naik sampai ubun-ubun.

"Gue masih belum denger pengumuman elo ngundurin diri jadi peserta lomba. Elo masih belum lakuin perintah gue? Ha?" Tanya Nadia geram.

Selena mengepalkan tangannya ketika Nadia menoyor kepalanya menggunakan satu jari berulang kali.

"Kalau orang nanya itu jawab!" Bentak Nadia.

PLAK!

Semua siswa tersentak dan menganga lebar ketika Selena bangkit dari duduknya dan menampar Nadia sampai Nadia limbung ke samping. Tanpa sepatah kata, Selena segera mengambil kanvasnya dan benar lukisannya hancur dan catnya menempel di lantai.

Netra Nadia melotot dengan tangan memegang pipinya, otaknya belum merespon kejadian sepersekian detik barusan sampai dia menoleh dengan tatapan sengit dan kembali menghadap Selena dengan perasaan bergemuruh.

"Lo barusan nampar gue? Hei, si*lan. Lo ngerasa gue terlalu lembut sama elo selama ini, kan?" Bentak Nadia melotot sebelum menjambak rambut Selena dan membenturkan kepalanya ke meja membuat mejanya terjatuh dan menimbulkan suara keras.

Selena menghela napas kasar, rautnya tidak menunjukan kesakitan meskipun jujur barusan keningnya sakit dan rambutnya perih.

"Jangan macem-macem kalau gak mau sama kayak sahabat si*lan elo!"

Gigi Selena bergemelutuk sebelum dia menegakan badan dan memukul kepala Nadia menggunakan kanvas ditangannya. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali membuat kepala Nadia tertoleh ke samping dengan cat menempel di rambutnya. Sampai pukulan Selena berhenti karena Nadia mencekal lengannya namun Selena menampar Nadia dengan tangan satunya membuat pipi Nadia tertoleh ke samping.

"Gue udah bilang kan? Jangan pernah bawa-bawa Keira." Ujar Selena dengan intonasi rendah dan tatapan tajam membuat Nadia menatapnya sengit.

Keduanya bertatapan dengan rasa amarah masing-masing sampai Selena membawa lukisan dan tasnya sebelum melangkah keluar kelas meninggalkan Nadia yang menatapnya murka dengan napas memburu dan tangan yang memegang pipinya.

Para siswa yang menyaksikan hanya bisa melongo dan ngeri menonton pertengkaran mereka. Dan lagi mereka tidak menyangka Selena bisa bertindak seperti itu. Selena yang mereka kenal pendiam, dan yang mereka lupakan adalah marahnya orang pendiam.

...****************...

Dekan yang sedang duduk di bawah pohon Mangga belakang sekolah, berdiri ketika melihat Nadia datang dengan penampilan berantakan dan muka kusut.

"ARRRGGGHHHHHH!!!!!" Jerit Nadia mengacak rambutnya sendiri dengan brutal membuat Dekan terkejut dan melotot.

Tidak berhenti sampai di sana, Nadia bergerak menendang pot di sebelah kakinya sampai jatuh sebelum membanting kursi kayu yang terletak di sana ke tanah sampai hancur.

"DASAR GEMBEL SI*LAN!!" Jerit Nadia menginjak-injakan kakinya kesal sebelum kembali mengacak-acak kursi yang ada di sana.

Jantung Dekan mencelos, dia mundur selangkah untuk menghindari lemparan kursi random Nadia. Dia belum pernah melihat Nadia semarah ini.

Napas Nadia masih memburu sebelum dia menoleh membuat Dekan tersentak merasa di tembak tiba-tiba.

"Tissu." Pinta Nadia menjulurkan tangannya dengan napas memburu membuat Dekan mengernyit sebelum menghampiri dan memberinya saputangan.

Belum sempat Nadia mengambilnya, Dekan mengambil rambut dan mencoba membersihkannya tanpa sepatah kata membuat Nadia meliriknya sekilas sebelum menghembuskan napas kasar. Emosinya sudah mulai mereda meskipun belum sepenuhnya.

"Ini cat? Lo harus keramas." Celetuk Dekan mengamati rambutnya dari dekat. "Lo habis ngelukis? Kok beratakan sih, padahal biasanya nggak."

"Lo bilang bakal ngelakuin apa aja yang gue suruh kan?" Tanya Nadia menatap Dekan.

"Bukannya itu yang selama ini gue lakuin?" Dekan bertanya balik.

"Kirim temen-temen bejat elo ke Selena. Suruh mereka bikin Selena hancur- sehancurnya." Ujar Nadia dingin dengan intonasi rendah membuat Dekan mundur selangkah.

Inilah yang Dekan tahu setelah bersahabat bertahun-tahun dari bangku SMP, bahwa Nadia itu ... benar-benar berbahaya.

Maka dari itu banyak korban yang bahkan sampai trauma.

Dia benar-benar iblis diantara iblis.

Dekan menghela napas sebelum akhirnya mengangguk dan merogoh ponselnya dan menelpon seseorang.

Nadia melipat tangannya sebelum menyeringai, "Kayaknya anjing gue mau gigit majikannya sendiri. Lo tahu cara jinakin anjing yang mulai nakal dan mau kabur?" Tanya Nadia tanpa menatap Dekan.

Dekan mengedikan bahu, "Diajarin?"

"Gue patahin kakinya supaya dia gak pernah kabur dari gue." Jawab Nadia menyeringai.

...****************...

Selena menutup pintu loker setelah membersihkannya sedikit karena berdebu dan berantakan. Hari ini moodnya hancur berantakan. Hatinya resah dan marah tidak karuan. Selena mendesah kasar, dia harus segera pulang apalagi bel pulang sudah berbunyi puluhan menit lalu.

Selena mengernyit ketika gerombolan siswa laki-laki datang dan mengurungnya membuat Selena bingung. Selena mundur sampai punggungnya menabrak pintu loker di belakangnya, jantungnya berdebar dengan keringat dingin mengalir membasahi pelipis ketika kelima laki-laki tersebut menatapnya tajam dan menyeringai mengerikan.

"Ka-kalian mau ngapain?" Tanya Selena.

"Kita mau nyulik elo, nih." Ujar salah satu lelaki dengan santai seolah itu adalah hal yang sepele.

"Tapi culik doang gak asik, kan?" Tanya lelaki yang mengenakan jaket merah sambil mengeluarkan gunting dari saku dan menyeringai senang membuat Selena bergetar ketakutan.

Sampai akhirnya Selena ingin berlari namun lengannya ditarik dan mereka mencekal tangan agar tidak bisa kabur sebelum lelaki jaket merah tersebut menggunting kemeja putih Selena dari bagian pundak.

Air mata Selena turun dengan deras, dia berontak dan menjerit keras. Tempat loker sepi karena berada di bagian samping di gedung yang terpisah dengan gedung kelas. Selana harus berpikir cara kabur dari para lelaki si*lan ini. Selena membelalak sebelum berteriak keras.

"PAK JAKI TOLONGIN SAYA!"

Sontak mereka menoleh bersamaan dan Selena memanfaatkan kelengahan mereka untuk melepas cekalannya dan berlari secepat yang ia bisa. Otak Selena kosong, ia memaksakan berlari kencang meskipun kakinya serasa ingin patah, dan akibatnya dia salah memilih jalan, bukan keluar sekolah, Selena malah berbelok ke arah belakang sekolah.

...****************...

Sehan menyukai area belakang sekolah karena disini jarang ada siswa yang berlalu lalang, itupun paling hanya kedua sahabatnya yang saat ini sudah pulang.

Sehan mendongkak dan memejamkan netra ketika cahaya matahari menerpa wajahnya dengan lembut. Telinganya disumbat earphone dan kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Begitu lagu Golden Hour yang dinyanyikan oleh JVKE mengalun merdu, Sehan ikut bersenandung.

Dia melangkah mundur teratur sambil menikmati lagu dan angin yang menerpa rambutnya ringan sampai di langkah kelima dia tersentak kecil ketika punggungnya ditabrak membuat earphonenya lepas dan terjatuh.

Sehan membalikan badan bersamaan dengan Selena mendongkak membuat tatapan mereka kembali beradu untuk kedua kalinya.

Selena dengan napas memburunya menoleh ketika samar-samar mendengar suara teriakan yang mencari dirinya. Tanpa sadar Selena menangis kembali, dia terisak membuat Sehan terdiam sambil meniti pakaiannya yang berlubang sebelum Sehan membalikan badan ketika Selena berlari ke depan dan berhenti tepat di dinding setinggi puluhan meter.

"Itu jalan buntu." Ujar Sehan datar sambil berjalan mendekat membuat hati Selena mencelos.

Tangisnya semakin menjadi sebelum dia menghadap Sehan dan tubuhnya merosot ke tanah. Sehan berhenti di depannya dengan Selena yang terisak keras.

Sehan bergeming, otaknya menyimpulkan keadaan Selena saat ini, dia bisa langsung mengerti tanpa harus bertanya. Sehan berjongkok dengan menumpu salah satu kakinya tepat di depan Selena.

"Lo ... mau gue bantuin?" Tawar Sehan membuat Selena mendongkak menatapnya.

Selena tidak pernah menyangka, tatapan mereka yang beradu untuk ketiga kalinya dan tawaran dari Sehan adalah sebuah awal untuk hubungan keduanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!