Bab 2

Untuk kedua kalinya di minggu terakhir bulan Juni, Selena kembali menginjakan kaki di pemakaman. Pertama, takdir merenggut nyawa Ibu yang merupakan dunianya. Kedua, takdir juga turut merenggut nyawa Keira yang juga dunianya.

Air mata tidak pernah berhenti turun untuk membasahi pipi. Suara isak tangisnya yang menyakitkan bagai nyanyian bagi semua orang yang melayat hari itu.

"KENAPA? KENAPA HARUS KEIRA?! KENAPA HARUS DIA?!" Jerit Selena di tengah tangisannya membuat Nenek Ayu terus memeluk untuk menenangkan.

"Tenang, nak!" Ujar Nenek Ayu mengusap bahu Selena.

"Kenapa harus Keira, Nek? Kenapa Tuhan rebut lagi orang yang paling berharga bagi aku?! Kenapa Keira? Jangan Keira!" Ujar Selena di tengah isak tangisnya.

Nenek Ayu segera memeluk Selena kembali, kedua orang tua Keira hanya bisa menelan kesedihan bulat-bulat dengan menangis dan para pelayat pun diam mengelilingi gundukan tanah yang masih basah tersebut. Sampai doa telah dipanjatkan, perlahan para pelayat mulai melangkah pergi begitu pula dengan Nenek Ayu yang mengajak Selena pergi, memberikan waktu sendiri untuk keluarga Keira.

Dengan hati yang hancur, Selena mulai beranjak dengan kepala menunduk membuat air matanya terus meluncur turun. Langkah kaki Selena terhenti ketika mendapati sepatu yang menghadang di depannya. Kepalanya mendongkak, mendapati laki-laki berkacamata berdiri dengan tatapan kosong, bekas air mata masih terlihat jelas di wajahnya.

Menyadari sesuatu, Nenek Ayu pergi meninggalkan keduanya. Air mata Selena kembali jatuh, tangannya ingin menggapai tangan laki-laki tersebut namun hatinya mencelos ketika lelaki itu melangkah mundur, menghindari dirinya terang-terangan.

Air muka Selena berubah, ada banyak pertanyaan yang tertahan dari sorotan netranya.

"Lio?" Namun hanya itu yang dapat keluar dari bibirnya.

Lio Saputra, lelaki dengan tinggi hampir sama dan kacamata yang bertengger di hidungnya itu menggeleng pelan, tangannya bergerak menyeka air mata yang keluar dari balik kacamatanya.

"Bu-bukannya elo yang selalu sama Keira?" Suaranya bergetar. "Bukannya harusnya elo yang selalu lindungin dia selagi gue gak satu sekolah sama kalian? Bukannya selama ini, itu janji kita?"

Tangis Selena pecah, dia menutup bibirnya, tungkainya melemas membuat tubuhnya ambruk ke tanah.

"Maaf." Selena terisak begitu pula Lio yang hanya menangis dalam diam.

"Gue kecewa lo gak bisa lindungin Keira dan janji kita buat terus sama-sama." Ujar Lio pelan sebelum berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Selena yang menunduk bersujud pada bumi, meraungkan rasa sakit atas kekalahannya dari takdir.

"Aku juga kecewa sama diri sendiri." Gumamnya.

...****************...

Hancur.

Dunia yang dia pijak perlahan mulai mengabur. Ibu dan Keira adalah dunianya. Jika keduanya meninggalkan Selena, tidak ada dunia bagi dirinya.

Lagi-lagi takdir mempermainkan rasa sakitnya. Mengoyaknya sampai bagian terkecil. Selena tenggelam dalam lautan kesedihan namun kali ini dia tidak ingin diselamatkan.

"Nak, makan dulu. Sudah dua hari kamu tidak keluar kamar." Suara lembut Nenek Ayu sama sekali tidak menyentuh dinding beton hati Selena.

Ketika hanya isak tangis yang menjadi jawaban, Nenek Ayu menghela napas di balik pintu.

"Kalau kamu lapar, makanannya di depan pintu. Nak, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kematian itu hal yang seharusnya, itu bukan salah siapapun." Ujar Neneknya sebelum terdengar suara langkah kaki yang menjauh.

Selena memeluk lututnya di sudut tergelap ruangan kamar, sisa rasa sedih akibat ditinggal sang Ibu yang telah dia kubur kembali menyeruak, muncul ke permukaan hatinya.

Semuanya penyebab rasa sakit terdalam kembali menghantui dan saling menyahut di kepalanya membuat Selena beranjak dan menggulingkan easel yang menyangga kanvas kosong membuatnya jatuh dan menindih beberapa cat akrilik yang terguling dan tumpah mewarnai lantai kamar yang dingin.

Tubuh Selena runtuh dengan isak tangis sebelum netranya bergulir pada kanvas kosong dan cat akrilik di samping kakinya. Selena bergeming sebelum menggerakan tangan, mengambil cat tanpa menggunakan kuas dan menggoreskan di kanvas.

Melukis adalah kegiatan menyalurkan perasaan yang tertahan di hatinya.

Selena selalu menyalurkan kesedihannya lewat lukisan. Dan Selena tidak pernah mengira akan melukis tentang Keira dengan cat berwarna hitam setelah dia melukis Ibunya dengan cat serupa.

...****************...

Di pagi hari yang terik itu, sekolah berduka atas kehilangan salah satu siswi mereka. Jantung Selena berdetak seiringan dengan langkah Kepala Sekolah memasuki podium untuk memberi nasihat yang merupakan bagian dari upacara bendera.

Namun semua murid tahu, bahwa kali ini Kepala Sekolah tidak akan memberi amanat klise tentang menjaga kebersihan atau rajin belajar.

"Selamat pagi, anak-anak. Sebagaimana kita tahu, bahwa pada hari Rabu, dua puluh delapan Juni kemarin, kita kehilangan teman kita yang bernama Keira Indah." Ujar Kepala Sekolah membuat Selena menunduk dalam.

"Setelah dilakukan penyelidikan oleh kepolisian, diduga Keira mengakhiri hidupnya sendiri. Hanya itu yang dapat Bapak sampaikan, mari kita berdoa bersama agar arwahnya tenang." Ajak Kepala Sekolah menundukan kepala.

Di tengah ratusan siswa termasuk guru yang ikut menunduk untuk memanjatkan doa, Selena mendongkakan kepala sendirian, raut wajahnya tidak terbaca, kata-kata barusan seolah palu yang memukul jantungnya.

Bunuh diri?

Hal paling mustahil bagi Keira.

Setelah petugas membubarkan upacara, Selena bergegas untuk menemui Walikelas di ruangannya.

"Permisi, Pak."

Pak Jaki mendongkak di duduknya, menatap Selena sekilas sebelum mempersilahkan masuk.

"Ada keperluan apa?"

"Kenapa kasus Keira ditutup dengan kasus bunuh diri, Pak? Saya sahabat Keira bertahun-tahun dan dia tidak mungkin melakukan hal tersebut." Ujar Selena membuat Pak Jaki bergeming sebelum menghembuskan napas kasar.

"Seseorang berubah dalam satu menit, bahkan detik. Tidak peduli kamu sudah mengenalnya puluhan tahun, itu tidak mengubah fakta bahwa manusia itu berubah." Jawab Pak Jaki dengan intonasi tenang.

"Tapi pak, saya jamin Keira bukan orang yang seperti itu! Dia orang baik yang hanya bercita-cita punya pekerjaan layak untuk bantu perekonomian kedua orang tuanya! Dia juga tidak mudah menyerah! Tidak mungkin Keira melakukan hal seperti itu!"

"Kamu hanya tahu dia sebagian kecil, mungkin ada beban tersendiri yang dia tanggung dan dia sudah tidak kuat menanggungnya lagi. Kamu pikir membantu agar perekonomian keluarga naik itu bukan beban sulit?" Tanya Pak Jaki membuat Selena tersentak, mati kutu.

"Tapi ... Pak--"

"Silahkan Keluar! Bapak masih banyak pekerjaan dan kelas kamu juga akan segera dimulai."

...****************...

Jam pelajaran terakhir diisi dengan canda tawa dan kegaduhan karena guru tidak masuk. Hanya Selena yang nampak berantakan dan murung, dia menelungkungkap kepala ke lipatan tangan di atas meja.

Air matanya tidak kunjung surut.

Mungkin Pak Jaki benar. Bisa jadi dirinya yang tidak tahu beban seberat apa yang ditanggung Keira.

Nadia yang duduk di kursi paling belakang itu jadi mengedikan dagu pada Dekan membuatnya mengangguk, menggeser kursi dan menaikinya sebelum memutar CCTV ke belakang agar aksi mereka tidak ketahuan.

Hal yang sudah biasa mereka lakukan.

Setelah Dekan mengacungkan jempol baru Nadia beranjak ke kursi Selena, tangannya bergerak menjambak rambut belakang Selena membuat kepalanya mendongkak diiringi jeritan kecil karena perih dan terkejut. Sontak para siswa yang gaduh jadi mendadak sunyi. Sebenarnya bukan tontonan yang asing dan mengasikan, malah mereka menaruh kasihan pada Selena yang nampak sangat berantakan karena baru ditinggal sahabat dekatnya dan lagi masih harus berurusan dengan setan di kelas. Meskipun begitu, hal terbodoh yang bisa mereka lakukan adalah hanya menjadi penonton saja.

Setelah menjambak, Nadia mendorong kepalanya sampai badan Selena terjatuh dan menubruk kursi samping sampai jatuh. Selena meringis, mengusap lengannya yang terkena ujung kursi dan menunduk, menitikan air mata dalam diam.

Nadia melirik botol minum di meja sampingnya sebelum mengambil dan menumpahkan seluruh isinya ke atas kepala Selena membuat rambutnya basah dan airnya menitik ke lantai.

"Elo harus ngundurin diri dari lomba ngelukis." Ujar Nadia akhirnya membuat Selena hanya bisa mengangguk.

Kepalanya benar-benar kosong.

Di tengah semuanya, hanya titikan air yang menetes dari rambutnya ke lantai yang dapat didengar oleh Selena.

Nadia bergeming sebelum berdecih, "Bagus! Gue suka anjing yang nurut." Ujarnya tersenyum sembari melipat tangan.

"Setidaknya elo harus bertahan karena si cupu rambut pendek udah gak ada. Seharusnya dia kalau mau pergi, harus ijin sama majikannya dulu. Dasar si*lan, anjing gue kan jadi berkurang."

Mendadak pendengaran Selena menjadi jelas, dia mengepalkan tangan ketika dadanya bergemuruh. Selena bangkit berdiri membuat Nadia mengernyit, dia mendongkak menatap Nadia terang-terangan dengan berani.

Tatapannya berbeda dengan biasa, kali ini netra cokelatnya berkilat tajam dan dalam.

Selena yang biasanya tidak pernah berani menatap Nadia, kini melayangkan tatapan permusuhan yang nyata membuat seisi kelas jadi sunyi dengan aura dingin.

"Jangan bawa-bawa Keira." Ujarnya padat dan jelas tanpa gagap seperti biasa membuat Nadia sontak terkejut.

Dia tidak menyangka, si cupu rambut panjang ini punya keberanian yang seperti ini.

Nadia melipat tangan, balas menatap Selena dengan marah. Anjingnya sudah berani melawan.

"Turunin pandangan elo." Titah Nadia namun Selena masih menatapnya tajam.

"Gue bilang turunin pandangan elo." Ujar Nadia menekankan setiap kata sebelum melayangkan tamparan pada pipi Selena sampai bunyinya keras dan membuat seisi kelas yang mendengarnya ngilu.

Selena shock, mendadak keberaniannya menguap dan kepalanya kembali mengingat bahwa Nadia benar-benar orang yang menyeramkan.

"Anjing gue udah mulai mau berontak ya?" Tanya Nadia menyunggingkan senyum dan menjambak rambut Selena membuat kepalanya mendongkak.

PLAK!

Wajah Selena tertoleh ke kiri.

PLAK!

Wajah Selena tertoleh ke kanan.

PLAK!

Dan satu tamparan terakhir bersaaman dengan Nadia melepas jambakannya membuat Selena sampai terlempar kecil dan tersungkur pada lantai. Selena meringis, sudut bibirnya berdarah dan kedua pipinya biru lebam.

Hari itu atmosfer di kelas benar-benar membuat merinding.

**

Selena berjalan menunduk membuat rambutnya turun menutupi wajahnya, dia menarik lendir di hidungnya, mengeratkan gendongan tas di pundaknya sebelum melangkah menuju toilet sebelum pulang.

Hari ini benar-benar menyakitkan. Tidak hanya jiwanya yang sakit tapi juga raganya.

Ternyata ... keberanian Selena tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kengerian Nadia.

Dia tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa pasrah ketika Nadia kembali menyakitinya.

Langkah Selena terhenti ketika tidak sengaja mendengar percakapan antara seorang wanita paruh baya dan Pak Jaki di ruangannya.

Selena berpindah tempat, menempelkan telinga pada celah pintu yang sedikit terbuka. Sebenarnya dia buka tipe orang yang kepo, namun sekilas dia mendengar nama almarhum sahabatnya disebut.

"Saya ingin mengucapkan terimakasih karena Bapak mengurus kasus kematian Keira dan menutupinya dengan baik." Ujarnya membuat jantung Selena berpacu cepat.

Tungkainya melemas dan tangannya gemetar, Selena membekap mulutnya sendiri agar tidak bersuara.

Apa maksudnya? Jadi benar bahwa Keira tidak bunuh diri? Kenapa kasusnya harus di tutupi?

Satu kesimpulan yang dapat dia tarik dari percakapan barusan adalah wanita itu melindungi pelaku atas perbuatannya.

Yang menjadi pertanyaan, siapa pelakunya?

"Semoga ini bisa membantu." Ujar wanita paruh baya itu membuat Pak Jaki menampilkan senyum terbaiknya sebelum menerima amplop tebal berisi uang.

"Kalau begitu, saya permisi. Saya ingin menitipkan anak saya agar dia bisa bersekolah dengan baik." Pintanya membuat Pak Jaki mengangguk.

"Tentu saja, Nak Nadia selalu dalam pengawasan saya." Jawab Pak Jaki.

Netra Selena membelalak lebar, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat dengan amarah yang meluap ke ubun-ubunnya. Selena mengepalkan tangannya, baru kali ini dadanya bergemuruh dan alasannya adalah karena benci dan marah.

Netra Selena berkilat, tatapannya rendah dengan gigi bergemelutuk.

Jika menyangkut sahabatnya, Selena bisa melakukan apa saja.

Dia pasti akan membalas semua perilaku buruk Nadia pada Keira dan mengungkap pelaku kematian Keira.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!