Korban VS Pembully
Ringisan keluar dari bibir gadis berambut panjang sepinggang dengan poni lurus dan kacamata kotak berbingkai putih ketika rambutnya di cengkram dan ditarik membuat badannya terseret, pasrah kepada gadis yang sedang menariknya kasar masuk ke dalam toilet perempuan.
"Aw!" Selena Intan meringis ketika badannya didorong membuat punggungnya menabrak closet duduk dan berakhir badannya jatuh ke lantai.
Selena mengernyit ketika punggungnya terasa perih dia menunduk membuat rambut menutupi wajahnya, tidak berani menatap gadis yang sedang berdiri menjulang dengan dagu terangkat dan wajah pongah.
Nadia Cantika, gadis berparas cantik dengan rambut cokelat sebahu dan karang di bawah mata kiri itu menyeringai sebelum menyilangkan tangannya.
"Lo tahu kenapa gue bully elo lagi hari ini?" Suara yang indah namun itu mengalun bagai nyanyian kematian di telinga Selena yang membuat bulu kuduknya meremang dan jantungnya berpacu cepat.
Selena menggeleng cepat tanpa mendongkak membuat Nadia mengangguk.
"Gak ada alasannya." Jawab Nadia mengedikan bahu acuh.
Tidak ada alasan konkrit di kepala gadis cantik itu mengapa dia selalu membully Selena, jika ditanya, mungkin jawabannya adalah hanya karena Selena terlihat pendiam, cupu dan miskin. Orang dengan tiga kategori barusan adalah sasaran empuk para pembully seperti dirinya. Sudah hampir dua tahun Selena menuntut ilmu di SMA BINTANG dan itu adalah waktu bahwa Selena sudah menjadi target bully.
Nadia menutup bilik pintu toilet dengan kaki sampai menimbulkan bunyi keras sebelum menguncinya. Selena pikir aksi jahat Nadia hari ini sudah selesai sebelum dirinya membelalak terkejut ketika air dingin mengguyur kepalanya dari atas disusul tawa puas dari Nadia.
Selena mengernyit ketika air yang ditumpahkan di atas kepalanya berbau busuk, Selena hanya menghela napas kasar sebelum bangkit berdiri dan duduk di atas closet duduk.
"Sel?"
Netra Selena mengerjap, dia menoleh sebelum mendekatkan telinga pada dinding bilik.
"Keira? itu kamu?" tanya Selena.
"Iya." jawab Keira di bilik sebelahnya.
"Sejak kapan kamu ada di sana?"
"Sejam yang lalu mungkin. Mereka ngunci dan nyiram aku juga. Maaf aku gak bisa bantu kamu barusan. Maaf aku selalu jadi sahabat yang gak berguna, padahal kalau bisa ngelawan, mungkin sekarang kamu bisa tidur di UKS, bukan mendekam di toilet kayak gini."
Terdengar isak tangis dari seberangnya membuat hati Selena terenyuh. Selena meneguk ludahnya sebelum mencoba tersenyum.
"Gak apa-apa, Kei."
Keira makin terisak, dia tidak bisa membayangkan sakitnya menjadi Selena, setelah kehilangan Ibu tersayangnya dua hari lalu karena tabrak lari, Selena harus tetap kuat. Tidak ada hari berduka untuk dirinya, dia harus tetap bekerja serabutan untuk hidupnya dan harus di bully ketika di sekolah meskipun jiwanya sakit dan raganya lelah. Keira menyadari bahwa Selena tidak sehat ketika melihatnya pagi tadi.
"Maaf." Bisik Keira serak membuat Selena menggeleng.
"Jangan nyalahin diri sendiri. Kamu gak salah apa-apa. Aku gak papa, asal ada kamu, Kei." Ujar Selena menjauhkan kepalanya dari dinding, dia mengangkat kedua kaki dan memeluk lututnya sebelum menenggelamkan kepala di sana.
"Aku juga minta maaf, kalau aku bisa ngelawan mungkin kamu bisa belajar dengan tenang agar kamu bisa ngeraih cita-cita kamu. Padahal kamu harus pertahanin nilai dan peringkat kamu." Ujar Selena membuat Keira menggeleng dalam diamnya.
"Aku kuat karena masih ada kamu, Kei." Ujar Selena pelan. "Aku bahkan gak bisa ngebayangin gimana hidup aku di sekolah tanpa kamu."
Bagi Selena, Keira adalah dunianya setelah Ibunya. Dia adalah orang yang paling berharga, dia selalu berada di sisi Selena selama ini, bahkan dari mereka masih duduk di sekolah dasar. Karena Keira lebih dewasa, Selena merasa dia adalah Kakaknya.
Keira benar-benar dunia Selena.
Selena tidak peduli sejahat dan sekejam apa perlakuan Nadia, asalkan Keira masih ada di sisinya.
...****************...
Selena kira kemalangannya sudah berakhir di toilet, ternyata dia salah besar. Seharusnya dia tidak pernah berekspetasi akan mempunyai hari damai di sekolah karena itu akan membuatnya semakin sakit hati. Selena bergidik ngeri ketika bola basket memantul tepat di depan sepatu kumalnya yang langsung di tangkap oleh pria tinggi dengan kemeja putih yang semua kancingnya terbuka dengan dalaman kaos hitam dan kalung perak di lehernya.
Dekan Candra menembakan bola basket pada keranjang dan berseru heboh ketika berhasil mencetak poin membuat enam orang yang berbaris itu mengerjap kaget karena seruannya yang menggema di lapangan basket indoor yang mereka pijak.
Dekan, pria yang nampak sleangan itu tersenyum menampilkan deret gigi putihnya pada Nadia yang duduk di tribun paling bawah. Nadia hanya melengos sambil menggulirkan netra jengah, dia melipat tangan di depan dada dan mulai menatap satu persatu enam orang yang tengah menunduk di depannya.
"Kenapa lo bawa semua anak cupu kesini? Dan lagi kenapa lo suruh gue datang? Gue sama Sehan orang sibuk." ujar Nadia mengedikan bahu pada laki-laki yang duduk di sampingnya.
Laki-laki dengan kemeja putih yang dikeluarkan dari celana itu hanya melengos, parasnya tampan dengan rahang tegas dan hidung mancung, namun wajahnya datar dan pembawaannya dingin juga misterius. Meskipun bersahabat dengan Nadia dan Dekan, yang notabennya adalah tukang bully, tapi Sehan Giovano jarang terlibat aksi mereka. Hanya sekedar menonton, seperti kali ini. Meskipun itu sama sekali bukan hal yang bagus dan patut dibanggakan karena dia tidak punya empati ketika melihat orang di sakiti di hadapannya.
"Gue mau malak mereka!" Ujar Dekan membuat Nadia mengernyit.
"Lo kan udah kaya raya, kenapa minta uang sama orang miskin?" Tanya Nadia membuat Dekan berdecak.
"Lo lupa ya? Hari ini kan pembagian raport dan nilai gue pasti anjlok. Bokap gue pasti uring-uringan dan akhirnya potong uang jajan gue." Ujar Dekan menoleh menatap kedua sahabatnya sebelum melangkah ke depan Selena.
"Lo gak tuli kan? Masa gue harus minta dua kali?" Tanya Dekan menunduk, mendekatkan wajah pada Selena membuat Selena buru-buru merogoh saku rok dan memberikan satu lembar uang lima puluh ribu.
Uang jajannya selama seminggu yang dia dapat dengan banting tulang.
Dekan menerimanya sambil berdecih, "Cuman lima puluh ribu, tapi lumayan." Ujarnya.
Kening Dekan mengernyit ketika Keira hanya memberikan selembar uang dua puluh ribu.
"Lo beneran miskin tingkat tinggi, ya? Dua puluh ribu di kantin SMA ini dapat apa? Aqua dua botol?" Tanya Dekan sakarstik sebelum menoleh menatap kedua sahabatnya.
"Kayaknya si cupu rambut pendek ini beneran ada di tingkat terbawah kasta perekonomian. Kenapa gembel kayak elo berhasil masuk sekolah elit? Beasiswa? Meskipun beasiswa seharusnya elo sadar diri dong, siswa dari kalangan kaya gak tahan lihat elo." Ujar Dekan membuat Keira menahan tangisnya sementara Selena mengepalkan tangannya kuat.
Hatinya mendadak tidak enak mendengar sahabatnya dihina habis-habisan.
Dekan menunduk mendapati sepatu Keira yang sudah kusam dan jelek sebelum menginjaknya membuat Keira menjerit, tidak urung siswa dan Selena yang di sampingnya berjengit kaget.
"Bahkan sepatu jelek elo, gak berhak nginjak lapangan bola basket kesayangan gue!" Bisik Dekan menekankan setiap katanya pada Keira yang memejamkan netra sambil meringis, menahan sakit.
"Menjijikan." Bisik Dekan.
"Ja-jangan nginjek Keira! Aku mohon!" Pinta Selena bergetar sambil memegang lengan Dekan membuatnya berjengit jijik dan menepis Selena kasar.
"Jangan pegang gue, miskin!" Bentak Dekan.
Dekan mencekal pipi Selena dan memaksanya mendongkak. Selena meringis ketika kuku Dekan menggores kulitnya.
"Dasar sialan, beraninya elo perintah gue!" Bentak Dekan mendorong kepala Selena sampai terjatuh ke lantai dengan keras dan kacamatanya terlempar.
Keira menjerit, menutup mulutnya dengan air mata mengalir deras, ingin rasanya menolong, namun kakinya tidak bisa dia gerakan, dia terlalu takut untuk bergerak.
Selena terdiam dalam jatuhnya, dia meneguk ludah menahan tangis, sebelum menjulurkan tangannya untuk menggapai kacamatanya namun kaki Dekan menginjaknya sampai kacanya pecah berserakan membuat tangan Selena berhenti bergerak.
Selena bergeming sebelum akhirnya dia mendongkakan kepalanya perlahan membuat netranya bertubrukan dengan netra gelap Sehan yang juga sedang menatapnya.
Sehan nampak tersentak dan tenggelam dalam netra cokelat Selena sebelum dia membuang pandangan.
Sehan berdiri membuat Nadia mendongkak menatapnya bingung, tanpa sepatah kata, Sehan meninggalkan lapangan basket dengan aura yang terasa dingin dan menusuk hati Selena di setiap ketukan langkahnya.
Dekan menatap dengan pandangan bertanya pada Nadia yang masih menatap punggung Sehan dengan tatapan yang sulit diartikan sebelum menggulir netranya pada Selena yang masih terduduk di lantai dengan pandangan terpaku pada Sehan.
...****************...
"Ini bau apa, sih?"
"Gila, bau banget!"
"Kalau berangkat sekolah itu mandi, dong!"
Selena menunduk di duduknya ketika telinganya menangkap protesan dari anak kelasnya. Dia mencoba mencium seragamnya dan memang sangat berbau tidak sedap. Mau bagaimana lagi, Selena tidak mempunyai baju ganti, air yang disiramkan padanya ketika di toilet adalah air got.
Pantas baunya tidak hilang.
Semua perhatian teralihkan ketika Walikelas memasuki kelas dengan membawa setumpuk raport dan setengahnya dibawa oleh ketua kelas di belakangnya.
"Baik anak-anak, hari ini adalah pembagian raport dari hasil belajar kalian selama di kelas 11 semester 1." Ujar Pak Jaki membuat anak-anak bertepuk tangan.
"Dimulai dari pengumuman rangking sepuluh besar, rangking satu yaitu Keira Indah." Ujar Pak Jaki membuat seisi kelas bertepuk tangan termasuk Selena yang senang.
Suara gebrakan meja itu membuat semua murid kelas berjengit kaget dan mendadak sunyi ketika mereka melirik bahwa sang pelaku berasal dari kursi paling ujung, barisan dekat jendela.
Sehan Giovano.
Kesunyian itu menggigil dan menusuk kalbu dengan ketakutan nyata yang membuat bulu kuduk berdiri ketika mereka semua sudah mengetahui penyebab Sehan, laki-laki pendiam dan cuek itu mendadak menyebarkan emosi dan hawa tidak enak ke seluruh penjuru ruangan.
Karena Sehan kalah dari Keira.
Apalagi ketika Pak Jaki menyebutkan peringkat dua adalah Sehan Giovano yang membuat seluruh anak kelas menahan napas. Setelah pembagian raport selesai dengan Selena sebagai rangking sepuluh, Pak Jaki yang semula ingin bangkit dari duduk jadi mengerjap, teringat sesuatu.
"Bapak hampir lupa, satu pengumuman lagi. Kita ucapkan selamat kepada Nadia Cantika karena lolos seleksi untuk menjadi peserta lomba Melukis SMA tingkat Nasional." Ujar Pak Jaki membuat semua murid bertepuk tangan.
Dekan yang duduk di sebelah kiri Nadia bertepuk tangan paling kencang. "Selamat Nad, gue gak kaget sih." Ujarnya membuat Nadia tersenyum pongah dan mengibaskan rambutnya ke belakang.
"Gimana? Gue keren kan?" Tanya Nadia menoleh pada Sehan di sebelah kirinya yang dijawab deheman oleh Sehan dan Dekan yang menatap keduanya dengan senyum yang perlahan luntur dan tepuk tangan yang memelan.
"Dan kabar baiknya, bukan hanya Nadia yang lolos seleksi. Selena Intan, kamu juga dinyatakan lolos seleksi. Bu Puspa bilang bahwa gambar kamu bagus!" Ujar Pak Jaki membuat Selena yang awalnya murung jadi menganga kecil, tidak percaya.
Keira yang duduk di sebelahnya bertepuk tangan senang dan merangkul Selena dengan bahagia, namun kebahagian itu hanya mereka berdua yang merasakan.
Tidak pada anak sekelas yang lain yang lebih memilih diam, karena peka atas ekspresi dari wajah Nadia saat ini. Sampai akhirnya Selena menyadari sesuatu, dia mengerjap sebelum mengkode Keira dengan tatapan membuat Keira jadi tersadar dan kembali bersikap biasa, menunduk tenang di kursinya.
Selena jadi meneguk ludah, Nadia pasti tidak akan senang.
Dia baru menyadari bahwa dia tidak akan baik-baik saja sekarang.
Selena jadi menghela napas, memangnya kapan dia pernah baik-baik saja?
Selena jadi menggelengkan kepala pelan, tentu saja dia akan selalu baik-baik saja selama ada Keira di sisinya.
...****************...
Selena memperbaiki letak tali tas gendongnya di depan cermin toilet, dia mengeluarkan kacamata pecahnya dari saku rok sebelum menghela napas. Padahal dia tidak punya uang untuk membeli lagi.
Selena membutuhkan kacamatanya untuk membaca dan melukis karena minusnya sudah bertambah menjadi dua.
Sepertinya butuh waktu lama untuk Selena mengumpulkan uang, apalagi Ibu sudah tidak ada dan Ayahnya meninggalkan dia dan Ibunya tepat setelah Selena lahir. Tidak mungkin Selena meminta pada Nenek yang sekarang tinggal bersamanya. Nenek yang bekerja sebagai pemilik warung nasi.
Selena kembali memasukan kacamatanya dan bergegas untuk pulang. Dia harus membantu Neneknya.
Bertepatan dengan pintu toilet dibuka, Selena membelalak ketika tangannya dicekal kuat dan di tarik paksa sampai ke belakang sekolah.
Dan Selena sudah bisa menebak pelaku dan permasalahannya.
Plak!
Selena membelalak ketika Nadia menampar pipinya tanpa aba-aba. Selena meringis ketika rasa perih menjalar sampai ke ujung netranya membuat netranya memanas. Bahkan kedua orang tuanya tidak pernah menampar Selena. Selena mendongkak, mendapati wajah putih Nadia yang memerah dan murka.
"Lo seneng karena dipuji Bu Puspa?" Tanya Nadia membuat Selena sontak menggeleng kuat.
"Jangan pernah tunjukin wajah kesenangan elo di depan mata gue, sialan!" Bentak Nadia. "Dan lagi, jangan ngerasa elo lebih hebat melukis daripada gue!" Ujar Nadia menekankan setiap satu kata membuat Selena mengangguk.
Nadia menghela napasnya kasar, menatap jijik pada Selena sebelum perhatiannya teralihkan karena dering ponsel. Nadia mengangkat telepon sebelum bergeming sambil menyugar rambutnya ke belakang. Ekspresi marahnya berubah menjadi serius dan itu ditangkap oleh Selena.
"Oke, gue kesana sekarang." Ujar Nadia menutup panggilan.
Nadia segera berbalik dan melangkah pergi membuat Selena menghembuskan napas kasar. Teringat sesuatu, Selena jadi merogoh ponselnya di saku rok dan menelpon Keira.
Tidak diangkat.
Apakah Keira sudah pulang ke rumah? Dia tidak melihatnya sejak bel pulang padahal mereka selalu bersama. Padahal Selena hanya mengalihkan perhatian sebentar, tapi Keira sudah menghilang.
Selena melangkah pergi, dia melirik kanan kiri, siapa tahu Keira belum pulang sambil terus menelpon Keira. Menyadari sekolah sudah sepi, Selena mempercepat langkahnya di koridor dan akhirnya berlari kecil ketika sampai lapangan utama.
"Keira, kenapa gak diangkat?" Gumam Selena dengan telepon masih menempel di telinganya.
Selena mengerjap, dia menoleh bertepatan dengan tubuh terjatuh dari atas dan menabrak lantai lapangan dengan keras, bahkan suara sesuatu yang hancur mengalun jelas di pendengarannya sampai darahnya memercik pada muka Selena dan sebagian seragamnya.
Selena mematung dengan tangan bergetar, dia meneguk ludahnya sebelum menunduk sampai bibirnya menjeritkan teriakan keras, sakit dan penuh kesedihan yang terdengar sampai ke seluruh penjuru sekolah ketika netranya yang minus bahkan dapat melihat dengan jelas bahwa mayat tergeletak yang darahnya mengalir dibawah sepatunya adalah Keira Indah.
Sahabatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Yulia Irawan
ya Allah.... sadis amat. anak sekolah udh berani ngebunuh temennya.
2024-01-01
0