"Kapan kita akan tiba di desa itu?"
Markus yang awalnya santai, kini langsung mengecek iPad miliknya. "Masih cukup jauh, Zane. Sekitar lima jam lagi, kita akan sampai di desa Mentari."
Zane tampak berdecak kesal, Markus melirik Nicholas yang juga terdiam sejak tadi.
"Sepertinya Nyonya Nadine mendesak mu untuk menikah," celetuk Nicholas tiba-tiba.
"Ck, jangan membahas itu!" tegas Zane yang di sambut tawa kecil dari Nicholas.
"Jadi, Nyonya Nadine memintamu untuk menikah? Zane, itu sangat mudah sekali."
Zane membuka matanya dan menatap Markus yang ada di kursi depan, "Berisik!"
"Lebih baik segera menikah daripada nanti terdengar rumor yang tidak sedap," kata Nicholas dengan menatap Zane di sebelahnya.
"Aku tidak ingin tergesa-gesa,"
"Kamu tidak ingin tergesa-gesa karena kamu belum menemukan wanita yang cocok, Zane." sahut Markus yang di anggukan oleh Nicholas.
"Kenapa membahas tentang ku! Lebih baik kalian berdua saja yang menikah lebih dulu!" cemooh pria itu dengan tatapan tajam.
"Bagaimana kalau kamu memilih salah satu dari banyaknya gadis di desa Mentari? Aku dengar, desa itu terkenal karena banyak gadis cantik,"
"Aku tidak tertarik!" balas Zane dengan cepat. Bahkan pria itu tidak memperlihatkan ekspresi apapun.
"Kamu jangan terlalu cepat mengatakan tidak tertarik, karena kamu belum melihat mereka!"
"Zane, dengarlah pepatah mulut mu adalah harimau mu." ucap Nicholas dengan menyeringai.
Zane benar-benar tidak habis pikir dengan dia pria di dalam satu mobil yang sama dengannya. "Kalian berisik!"
Markus tertawa kecil melihat jawaban dari sang atasan. Hari yang gelap, kini berubah menjadi matahari yang begitu terik, Nicholas melemparkan satu buah kacamata kepada Markus dan Zane.
"Udara di desa jauh lebih segar dari Ibu Kota, mungkin kita bisa betah berlama-lama di sini." kata Nicholas memberitahukan kedua sahabatnya.
"Aku tidak ingin berlama-lama,"
Markus yang sudah antusias, kini mengomel tanpa mengeluarkan suara. Suasana hati Zane sangat buruk karena perbincangannya dengan Mama Nadine yang begitu menguras jiwa kesalnya.
Drttt ....
Zane menatap layar ponselnya, "Mama?"
"Angkat saja, Nyonya Nadine pasti menanyakan posisi kita."
Zane menyunggingkan senyum, "tidak."
"Pria bodoh!" umpat Nicholas yang langsung merebut ponsel Zane dan mengangkat telpon dari Mama Nadine.
"Nicholas!" berang Zane dengan menggebu-gebu.
"Zane! Kenapa kamu mematikan ponsel? Mama belum selesai bicara tadi!"
Zane menutup kedua telinganya saat suara Mama Nadine begitu memecah gendang telinganya. Nicholas menampilkan mata sinis dan mendekatkan ponsel Zane pada sang pemilik.
"Bicara!" desak Nicholas dengan berbisik pelan.
"Ma, tidak ada sinyal ...."
"Banyak sekali alasan mu itu ya, dasar anak nakal!" potong Mama Nadine dengan kesal.
"Ma, aku matikan ya, aku mengantuk sekali!"
"Bila kamu mematikan panggilan, kamu tidak boleh ketemu dengan Twin!"
DEG ....
Markus dan Nicholas tersenyum mendengar ancaman dari Mama Nadine, Zane membulatkan kedua matanya dan merebut ponselnya dari Nicholas.
"Ma! Itu tidak adil!"
"Oh ya? Kalau begitu, bawa satu gadis dari desa dan perkenalkan kepada Mama! Aku tidak menerima penolakan!"
"Tapi, Ma ...."
Terputus.
Zane meremas ponselnya dan mengacak rambutnya dengan frustasi. "Percepat sedikit mobilnya,
...****************...
Saat matahari mulai tenggelam, di saat itu lah dua mobil mewah tiba di permukiman penduduk. Semua warga yang akan pulang dari sawah, terheran-heran dengan kedatangan dua mobil mewah di desa mereka.
"Pak, kayaknya ada pelancong ke desa kita,"
"Kayaknya bukan pelancong, tapi mereka bawa orang kekar tuh."
"Mereka dari desa kelihatannya,"
Desas-desus kedatangan dua mobil mewah mulai menyebar di seluruh desa Mentari, banyak gadis-gadis desa yang sengaja berjalan melewati penginapan di desa.
Zane yang merasa ada yang tidak beres, mulai kesal dengan gadis-gadis desa yang seperti ingin mengetahui tentang mereka.
"Mereka ini sengaja lewat ya?!" ujar Zane dengan kesal. Pria itu memakai kemeja hitam dengan kecamatan yang masih bertengger di batang hidung.
"Wajar saja, karena kita ini seperti tamu yang tidak di undang," celetuk Markus dengan memberikan sang atasan segelas kopi.
"Mereka mengira kita pelancong,"
Zane melirik Nicholas yang terduduk di lantai teras dengan semua alat-alat yang ia bawa. "Pakai ini,"
"Untuk apa HT ini?" tanya Markus setelah menerima HT kabel dari Nicholas.
"Hanya untuk berjaga-jaga,"
Markus mengangkat bahunya acuh dan tetap memakai HT telinga itu. Zane memutar matanya dan menyeruput kopi miliknya.
"Kepala desa akan datang sebentar lagi, jadi bersiap lah." kata Markus kepada kedua sahabatnya.
"Besok, kepala desa akan ikut melakukan peninjauan ke lokasi proyek, beliau juga yang akan menjelaskan tentang kondisi tanah di sekitar proyek," tambah Nicholas yang hanya di anggukan oleh Zane.
Zane, pria itu sejak tadi seolah-olah tidak berminat untuk membahas tentang proyek pembangunan penginapan elit, pikirannya terus saja tertuju kepada Alexia yang pasti sedang merengek meminta dirinya.
Menyadari Zane yang hanya diam, Nicholas menghela napas panjang dan melempar sesuatu ke arah Zane.
"Apa ini?"
"Aku dengar, Nona Alexia menyukai senja sore. Bagaimana kalau kita berburu sunset?"
Netra mata Markus seketika membesar, "aku setuju dengan ajakan mu!"
"Di sini kan tidak ada pantai,"
"Tapi Tuan Muda, walaupun di desa tidak ada pantai, bukan berarti tidak memiliki sunset." sahut seorang bodyguard dengan kepala tertunduk.
"Sekalian kita akan menyapa warga sebagai ramah-tamah,"
Nicholas memakai sepatunya dengan segera, melirik Zane yang ternyata tidak menolak ajakannya itu. "Baiklah,"
Zane, Markus, dan Nicholas berjalan menyusuri jalanan berbatu yang belum terkena aspal itu. Kelima body yang ikut dengan mereka, tampak menikmati jalan-jalan sore mereka dengan menyapa beberapa para warga yang hendak pulang.
"Selamat sore, Tuan." sapa seorang Bapak dan Ibu dengan ramah.
Nicholas menatap penampilan pasangan suami-isteri tersebut dan membungkuk hormat sebagai balasan, "selamat sore juga, Bapak dan Ibu."
"Kalian dari Kota?" tanya wanita paruh baya tersebut dengan senyuman yang tak luput menghiasi wajahnya.
Markus mengangguk semangat, "Benar, Bu! Kita dari kota,"
"Berarti kalian yang digosipin sama anak-anak gadis ya?"
Zane menaikkan alisnya, "anak-anak gadis?" gumamnya.
"Iya, Tuan. Banyak anak-anak gadis yang membicarakan tuan kota yang datang ke desa kami, bahkan mereka terus bolak-balik tidak jelas melewati sawah Bapak sama Ibu,"
Zane berdecak kesal dan memasukkan tangannya ke saku celana dengan angkuh. "Mereka seperti tidak memiliki pekerjaan yang lain saja!" cibirnya dengan sinis.
"Bapak sama Ibu mau pulang? Kayaknya berat bawaannya, mau kami bantu?" tawar Markus dengan senang.
Melihat banyaknya bawaan, pasangan suami-isteri tersebut menggeleng sungkan. "Tidak perlu, Tuan. Kami sudah terbiasa, kalau begitu kami pamit, mari."
"Hati-hati, Pak." Markus tersebut menatap kepergian suami-isteri tersebut.
"Sepertinya kamu sangat senang bila tinggal di desa," sindir Nicholas.
Markus menyisir rambutnya dengan jari. "Tentu saja, desa adalah satu-satunya wilayah yang tidak tercemar asap kendaraan, udaranya bersih dan segar, apalagi kita bisa melihat sungai yang bersih tanpa sampah,"
"Bahkan di sini juga ada sawah, sapi, bebek, dan juga kembang desa." tambah Markus dengan melirik Zane yang juga menatapnya dengan wajah tajam.
"Kenapa kamu menatapku?!" tanyanya dengan nada tinggi.
"Bos, aku memiliki informasi, apakah kamu ingin dengar?"
"Tidak," Zane melenggang pergi meninggalkan yang lain begitu saja. Nicholas menaikkan alisnya dengan menatap Markus yang semakin tersenyum lebar.
"Kamu tidak berencana untuk menikahkan kembang desa itu dengan Zane kan?"
Markus menyunggingkan senyum miring. Nicholas seketika menggelengkan kepalanya, "terserah kamu saja!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Nova Azzuhra
pasti
2023-06-23
1
Nova Azzuhra
wow mau dong
2023-06-23
0