“Heh topeng monyet! tolong mulutnya di sekolahin ya!” raung Maya dengan nada menggema, cocok sekali kalau untuk jualan obral di dalam pasar.
“Hah, apa kau bilang?” Ibu Carla tentu saja tak bisa menerima begitu saja ocehan kasar dari mulut sang tetangga, “Keluar sini kalau berani, jangan cuma di kandang sendiri aja beraninya!” teriak Carla memancing emosi.
Maya sebenarnya tidak menyukai situasi rusuh seperti ini. Tapi mungkin pengaruh hormon bulanannya, jadi pantang baginya untuk mundur walau sejengkal.
Sanaya dengan cepat menangkap tubuh ibunya, gadis itu memeluk tubuh bak gitar spanyol milik Maya dengan erat. Ini harus dihalangi, jangan sampai membuat keduanya gelap mata hingga tidak punya urat malu lagi.
“Emak, udah-udah … sabar, Mak. Jangan di ladenin, kan udah tau dia orangnya kurang sesendok. Ntar kalo cantiknya Mak luntur gimana dong? Atau kalau pita suara Emak rusak gara-gara ngeladenin wanita sirik kayak dia, gimana coba? Sanaya nggak bisa lagi dong dengar nada merdu penuh rindu kalau Emak lagi mengaji,” ucap Sanaya merayu biru.
Napas Maya sudah memburu, siap untuk menyeruduk musuh seperti banteng yang selalu unggul.
Sementara di luar pagar, tepatnya di halaman rumah Bu Dewi. Wanita yang seumuran dengan Maya dan Carla itu pun melakukan hal yang sama dengan Sanaya. Sekuat tenaga dia memeluk erat tubuh Carla agar tidak memanjat pagar rumah Maya. Rumah Dewi tidak memiliki pagar, jadi memang sering dibuat mangkal paman sayur dan paman bakso.
“Carla, udah ya … malu di lihat orang. Udah jangan dilanjutin, aku rasanya kok pengen tobat liat kalian berdua selalu kayak gini.” Dewi berusaha membujuk Carla yang masih mencak-mencak. Setelah mendengar ucapan temannya, Carla menoleh ke arah Dewi.
“Loh, kenapa malah kamu yang jadi mau tobat, Wi, harusnya aku kan yang tobat?!” tanya Carla dengan tatapan heran binti kebingungan yang kakak adik sama cengo.
“Yaakkk ….” sahut Dewi tak kalah heran dengan jawaban orang yang dia peluk dari belakang.
Sebenarnya Maya dan Carla adalah sahabat Dewi, tapi ajaibnya Dewi tidak bisa mendamaikan kedua orang itu. Tiga orang wanita dengan status janda itu memiliki karakter yang berbeda, tapi Dewi sangat menyayangi kedua sahabatnya itu dengan cara yang berbeda tentunya.
Setelah lelah dengan saling berbalas ucapan yang unfaedah, akhirnya kedua wanita sakti itu pun berhenti. Lelah mendera tubuh mereka yang tidak lagi muda, Carla duduk di teras rumah Dewi dan menikmati segelas air dingin yang wanita itu berikan.
Sementara Maya pun duduk di kursi yang ada di teras rumah nya sambil meminum segelas air dingin pemberian putri tercintanya.
Huft!
Entah sampai kapan keadaan ini berlangsung, terkadang Dewi dan Sanaya merasa jenuh dengan ulah mereka berdua. Warisan kebencian yang tidak jelas akar masalahnya itu, sudah menjadi cerita rakyat di daerah mereka. Bahkan sampai segitu melegendanya ya kisah mereka ini.
Setelah keadaan kembali tenang, kini Sanaya dan Maya sudah kembali masuk ke dalam rumah masing-masing. Waktu terus berjalan, untuk pertengkaran ajaib itu sukup sudah menguras tenaga Sanaya. Gadis itu sibuk memikirkan untuk mencari waktu yang tepat.
*
*
Waktu yang dirasa tepat sudah tiba, gadis itu juga harus berusaha sabar menghadapi sang emak yang seringkali moodnya berubah-ubah. Ingatan Maya kembali pada pembicaraan mereka, yang terputus karena teriakan Carla tadi.
“Emak, kita jadi ngundang pakde dan bude nggak, nih?” tanya Sanaya hati-hati. Gadis itu tentu saja harus bertanya kembali karena tak ingin dirinya salah dalam mengambil tindakan ketika emosi sang emak sedang berada di tingkat tertinggi.
Sesaat Maya berpikir memang ada benarnya juga, mereka semua adalah keluarga dari sebelah almarhum suaminya. Semantara Maya sendiri tidak punya saudara di Indonesia, mereka semua berada di negeri Jiran.
Sejatinya Maya adalah warga negara asing yang terdampar di bumi pertiwi ini dan ditemukan oleh pak Budi yang baik hati. Karena cantik, sopan dan rajin memasak, Budi pun jatuh cinta karena terbiasa dengan masakan Maya.
Pernikahan mereka menghasilkan Sanaya dan ternyata Budi tidak berumur panjang. Serangan jantung di usia yang terbilang masih muda membuat Maya jadi janda kembang beranak satu. Pola hidup Budi yang tidak sehat membuat pria itu mengidap penyakit diabetes parah, makanan serba instan dan minuman bersoda adalah kesukaannya. Hal itu dia lakukan jika sedang bekerja, kalau di dalam rumah sudah jelas Maya membuat perutnya mengkonsumsi makanan yang sehat semua.
“Okelah anak emak yang paling cantik, berangkatlah siang nanti ke rumah mereka, ingat jangan keluyuran. Kamu itu anak perempuan emak, jadi tolong jaga nama emak baik-baik, jangan sampai merusak citra keluarga kita selama ini yang belum pernah memperlihatkan sifat buruk pada masyarakat!” pesan Maya pada akhirnya.
Sanaya akhirnya bisa bernafas lega, tidak sia-sia dia memberikan senyuman terbaiknya dengan alibi yang sempurna kepada sang ibunda.
Mereka berdua berjibaku menyiapkan syukuran dadakan sebagai hasil ide dari Sanaya. Setelah sampai pada waktu yang sudah ditetapkan, Sanaya pun pamit pada sang emak untuk berangkat ke rumah pakdenya. Rumah pertama yang akan dia datangi adalah rumah pakde Amin, setelah itu dia akan menemui Jordy, baru kakinya akan dilangkahkan ke rumah pakde Gun dan bude Dar.
Sempurna sudah rencana yang dibuat oleh Sanaya. Tidak lupa gadis itu membawa cemilan untuk mengunjungi para tetua itu, dengan sedikit memberikan bedak pada wajahnya yang berminyak akibat kepanasan di dapur tadi, sekarang terlihatlah seorang gadis yang lumayan rapi.
Setelah dirasa rapi dan enak dipandang, gadis itu pun melangkah ke dapur untuk berpamitan pada sang emak. Sanaya melihat Bik Sri yang sudah bergabung dengan emaknya di dapur. Seperti biasa, bik Sri akan menyelesaikan pekerjaannya cuci-cuci dan membereskan rumah serta halaman belakang, barulah dia akan menemani Maya di dapur.
“Mak … Aya jalan dulu, ya!” teriaknya setelah berada di ruang tamu berpamitan pada sang emak yang masih berada di dapur.
Sanaya memang gadis seperti itu, berteriak di dalam rumah adalah hobinya. Itu juga yang membuat suasana rumah menjadi ramai dengan suara cemprengnya.
Kini dia sudah berada di rumah pakde Amin, hanya sebentar saja Sanaya berada disana. Menyampaikan maksud dan tidak lupa mencium punggung tangan sang pria sepuh.
“Pakde jangan lupa dateng ya di syukurannya Aya, hadiahnya juga loh pakde,” ucap Gadis itu sambil berpamitan.
Pakde Amin yang sudah terbiasa dengan permintaan keponakannya itu, hanya bisa mesem-mesem manis demi menutupi giginya yang ompong dan sedikit menghitam pengaruh rokok dan minuman kopi.
“Kamu kan nggak ulang tahun, Ya, mana ada pake hadiah segala,” sahut pakde Amin terkekeh geli.
Gadis itu mengerucutkan bibir mungilnya, tanda tidak terima dengan jawaban dari sang pakde.
Melihat hal itu tentu saja Amin merasa tidak tega. Apalagi sejak sang keponakan menjadi yatim pria itu selalu tidak merasa tega membiarkan sananya merasakan kesedihan tak punya ayah lagi!
“Hehehe, iya-iya, sudah sana jalan lagi,” ucap pakde Amin penuh pengertian. Sontak senyum lebar ala iklan odol pun terpampang indah pada wajah bulat telur asin milik si gadis.
“Kamu kapan nikahnya, Ndok?”
Glek!
Ini merupakan pertanyaan maut yang paling dihindarinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments