“Alhamdulillah … tapi tunggu!! Kamu masuk ke sana gak lewat jalur si hidung belang itu kan?” tanya sang Emak kembali menatap tajam wajah putrinya sebab ada kabar menyebar beberapa pekerja di bagian personalia memiliki kebiasan buruk mengajak gadis-gadis bekerja setelah ‘saling mengenal’ luar dan dalam. Tentu saja yang dikenal bagian luar dan dalam pakaiannya dan itu membuat Maya ikutan cemas dengan anak gadisnya.
“Ya enggak lah, Mak! Apaan sih pikirannya, anak Emak ini pintarnya bukan kaleng-kaleng tapi ori!” sanggah Sanaya tak habis pikir darimana emaknya mengerti hal yang begituan.
“Baguslah kalau begitu, jangan bikin jasad bapakmu merasa malu di kuburan sana!” omel emaknya sembari berlalu.
‘Emangnya orang yang udah mati bisa ngerasa malu, apa?’ tanya Sanaya sok polos di dalam hati.
Mereka berdua kini sudah sampai di depan pagar. Dengan cekatan Sanaya membuka pintu. Sekilas tatapan Maya melihat Carla dari arah pagarnya. Dengan cepat mereka berdua mendengus dan sama-sama membuang muka, entah permusuhan apa yang membuat mereka saling mengumbar emosi seperti ini.
Sanaya yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala saja. Gadis itu selalu bersyukur karena telah dilahirkan pada era milenial. Jadi semua doktrin dendam kesumat yang ditanamkan Maya tidak mempan pada dirinya. Secara perhitungan Sanaya adalah keturunan ke delapan, itu artinya dia tidak harus menerima warisan kebencian dari kedua keluarga itu, bukan?
“Kenapa sih dia harus ikutan keluar juga, keliatan banget kalo caper. Ish … keturunan mak lampir mah nggak mungkin bisa berubah kan, ya?” gumam Maya lirih jelas bertanya tapi entah pada siapa.
Wanita itu bahkan terus saja menggerutu dengan sebutan-sebutan aneh yang jika Sanaya rajin mendengarnya, mungkin gadis itu bisa memiliki banyak kosakata baru dan juga koleksi nama para tokoh fiksi di masa lalu.
“Mak, udah deh jangan ngomel gitu. Emangnya Mak nggak mau bikin selametan buat Aya udah keterima kerja?” tanya Sanaya dengan sengaja mengalihkan perhatian sang emak agar tak lagi menggerutu sebelum sampai ke pintu.
Kini mereka sudah memasuki rumah dengan desain arsitektur lama bergaya kuno, inilah rumah peninggalan leluhur yang sudah berusia ratusan tahun. Namun, bangunannya masih saja kokoh dan baru sedikit ada yang diperbaiki atau direnovasi agar tetap kuat sepanjang masa.
Maya dan Sanaya berasal dari keluarga menengah, ekonomi mereka ditopang dengan beberapa unit toko yang disewa oleh orang di pasar besar dan tiga unit toko peninggalan ayah Sanaya yang berada di pasar kota.
Sepasang ibu dan anak itu terkadang memang sangat lucu, suka sekali berbicara seperti orang Betawi tetapi tak lama kemudian akan kembali ke mode asli. Entah kenapa keduanya selalu memiliki sifat yang sangat serasi, hingga rumah pun tak pernah sepi walau sebenarnya hanya dengan sedikit penghuni.
Rumah mereka berada tepat di perbatasan antara desa dan kota, jadi tidak butuh waktu lama jika mereka ingin ke kota. Sanaya sendiri kini sudah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi dengan cepat. Kecerdasan gadis itu mungkin menurun dari eyang buyutnya, karena cara pikir Maya sendiri tidaklah seberapa dan pak Budi pun punya IQ biasa-biasa saja.
“Looh jelas itu, abis ini mak buatin tumpeng setinggi gunung deh hahaha, nanti kabari pakde Gun dan pakde Amin, suruh datang kesini, ya. Eh iya, jangan lupa bude Dar juga, mereka pasti akan ngasih angpao ke kamu buat jajan pergi kerja, kan lumayan dapat tambahan hihihi,” sahut Maya penuh semangat selaras kekehan yang selalu tersungging dari bibirnya, sungguh emak sangat semangat, seperti semangatnya para pengantri yang berjibun di depan kantor pos untuk menunggu mengucurnya dana BLT dari pemerintah.
Jiwa yang selalu merindukan uang memang tidak pernah enyah dari pikiran seorang Maya, walaupun sudah beberapa kali di ruqyah tetap tidak mempan karena peruqyah ternyata salah sasaran.
‘Kesempatan nih ketemu mas Jordy, kan rumah pakde Gun ngelewatin mushola. Yes … emang kalo jodoh itu nggak akan lari kemana, hihihi,’ gumam Sanaya di dalam hati sembari terkikik geli.
Untung saja kekehannya hanya tertutup di dalam hati, entah apa jadinya kalau suara hatinya itu sampai terdengar keluar, bisa-bisa emaknya akan memanggil sang peruqyah lagi untuk mengeluarkan kuntilanak dari dalam tubuh putrinya. Itupun kalau ada hahaha.
“Siap 86, Mak! Nyonya Emak tenang aja, ntar sang putri Aya tercantik sejagat hati Emak akan pergi ke sana dengan penuh pesona hehehe,” sahut Sanaya ringan tanpa dosa.
Maya hanya bisa menggelengkan kepala, selalu merasa terhibur dengan tingkah konyol putrinya. Bahkan terkadang senyuman itu perlahan-lahan terlihat sendu, karena Maya sering merasa rindu akan sosok sang suami, yang memiliki sifat humoris persis seperti putrinya. Wanita paruh baya itu akhirnya melangkahkan kaki menuju ke arah dapur meninggalkan Sang Putri yang entah sedang memikirkan apa? Namun, baru saja wanita yang telah melahirkan Sanaya itu melangkah, tiba-tiba dirinya berhenti dan langsung membalikkan badan, berputar mengarah lagi menghadap putrinya.
Seeettt!
‘Sepertinya Aya nggak perlu harus pergi kesana deh. Duh otak ini memang suka sekali lelet kayak signal kegantung, kan ada benda canggih yang bisa digunakan untuk menelpon hehehe!’ Alisnya saling bertaut dan matanya menatap sang putri penuh selidik.
“Aya, sepertinya kamu nggak perlu capek-capek pergi ke rumah mereka segala! Bukankah kamu bisa telpon aja pakde dan budemu. Emak nggak mau kamu sampai kecentilan nantinya, apalagi si ono noh, pasti mikirnya liat kamu keluar rumah langsung yang macem-macem.” Maya menelisik sengit seolah sedang memperingatkan.
Sanaya terpaksa mengembangkan senyum super mautnya, hal ini tentu saja untuk menutupi rasa gugup yang sedang melanda.
“Emaak jangan gitu, Aya ini kan mau minta para tetua untuk datang ke rumah kita, ya sopan-sopannya kan Aya yang harus mendatangi dengan tampak muka, Mak. Mana bisa main telepon kayak begitu, apalagi main telepati, ntar dikira anak cantik Emak ini gak punya etika,” jawab Sanaya santai dengan segudang alibi yang biasanya sangat mempan mempengaruhi pikiran emaknya.
“Lagian kamu itu lucu sekali pake gaya sok ngajarin anak sopan segala, gimana anaknya mau sopan kalo emaknya aja norak kayak kuda lumping, begitu! kalo nggak percaya coba tuh pake cermin yang paling gede, pasti nampak wajah asli yang kurang ajar!” Suara cempreng Carla terdengar menggema dari arah jendela yang menghadap ke halaman rumah tetangga sebelah utaranya.
Rumah Bu Dewi, pas sekali waktunya paman sayur lagi mangkal disana. Carla yang sedang belanja pun sempat-sempatnya mendengarkan pembicaraan ibu dan anak itu.
“Ya Tuhan, terbuat dari apakah si Carla itu! Kenapa telinganya bisa mendengarkan suara yang selembut salju dari tenggorokanku?” Gerutu Maya bertanya kesal, dengan cepat wanita itu menutup gorden jendelanya. Hatinya merasa panas karena dibilang kuda lumping norak.
“Huuff … again,” keluh Sanaya yang menghembuskan nafasnya kasar. Maya sudah bersiap untuk beranjak keluar rumah ke sisi pagar yang menghadap ke rumah Bu Dewi. Tidak lupa wanita itu menyingsingkan lengan daster yang memang sudah berlengan tiga perempat
“Heh topeng monyet! tolong mulutnya di sekolahin ya!”
“Hah, apa kau bilang?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
💖⃟🌹Ʃеᷟʀͥᴎᷤᴀᷤ🌹💖👥
dan perang antar emak" pun dimulai
2023-06-11
1
anna dharta
hajaaarr mak, hajaarrr... seru nih 🌹
2023-06-10
2