Leon merasakan ada sesuatu yang menggerayangi tubuhnya. Perlahan Leon membuka matanya, alangkah terkejutnya ia melihat Anna yang tengah duduk di atas perutnya.
“Lo--” Anna menempelkan jari telunjuknya di bibir Leon. Leon terdiam melihat itu semua, tubuhnya terasa kaku untuk merespon setiap pergerakan Anna.
Perlahan jari telunjuk Anna turun semakin turun hingga berhenti di jakun Leon. Anna menaik-turunkan jarinya searah jakun Leon, Leon panas dingin melihatnya seperti ada sesuatu yang bergejolak di dalam tubuhnya.
“Jangan kurang ajar lo!” Leon mencekal tangan Anna yang hendak menyentuh dadanya.
Anna menyeringai misterius, dia melepas cekalan Leon lalu tangannya mengusap-usap bibir bawah Leon. “Apa salahnya kamu, kan suami aku?”
Leon membulatkan matanya, Anna sungguh berani dengan jiwa singa seperti Leon. “Lo!”
“Diam Leon, tenang kamu akan menikmatinya.” Anna mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka menempel. Leon memejamkan matanya diikuti tangannya yang menahan tengkuk Anna.
“Anna ....” Leon memejamkan matanya menikmati. Aksi Anna yang sangat liar menurutnya, entah mendapat keberanian darimana hingga Anna bisa melakukan semua ini.
Tangan Anna bergerilya nakal dibalik kaos tipis yang dipakai Leon, tangannya membelai naik turun dada bidang Leon.
“Anna ... Mmhh ....”
Leon membuka matanya kaget, dia mengatur nafasnya kasar sambil memukuli kepalanya. Leon memandang Anna yang tertidur di sofa sambil membelakanginya, jadi semua itu hanya mimpi. Bisa-bisanya dia bermimpi liar seperti itu, dan lebih parahnya lagi dia memimpikan Anna yang bergerak liar di atas tubuhnya.
“Jal4ng sialan!” Leon mengumpati Anna. Leon menyesal telah mengajak Anna untuk tidur di kamarnya tadi.
Perlahan Leon beranjak dari ranjang lalu menghampiri Anna. Leon memandang lama wajah teduh Anna, rasanya nyaman melihat wajah Anna yang terlihat polos. “Gue gak mau semakin jauh Anna, gue belum siap.”
Anna melenguh pelan. Leon membenarkan letak selimut Anna lalu menyelimutinya. Leon ingin berlama-lama menikmati wajah teduh itu, Leon mengulurkan tangannya lalu membenarkan beberapa helai rambut Anna yang menutupi wajahnya.
Setelah kejadian tentang mimpinya tadi malam. Leon mendiamkan Anna pagi ini. Anna menggaruk kepalanya bingung, jika dipikir-pikir kemarin Anna tidak membuat kesalahan tapi Leon tiba-tiba mendiamkannya.
“Leon makan dulu.” Anna menyodorkan piring yang sudah diisi dengan nasi dan lauk pauknya.
“Ini masakan Lina, Leon. Kamu tidak usah khawatir aku tidak akan masak lagi sesuai perintah kamu.” Semenjak Leon menghina masakan Anna, Anna memutuskan untuk tidak memasak lagi untuk Leon setelah ia pikir-pikir cukup lama.
Leon memandang makan di depannya dengan malas, apalagi setelah mendengar kata-kata Anna. “Baperan lo!”
“Kaku bilang masakan aku gak layak untuk kamu makan.” Anna mengulang perkataan Leon tempo lalu.
“Berisik!” sekarang mood Leon sedang buruk. Leon masih merutuki dirinya yang bermimpi liar tadi malam. Leon menatap Anna intens, apakah Anna juga bermimpi seperti dirinya tadi malam.
Anna yang ditatap seperti itu menjadi gugup. “Kenapa Leon? Ada yang salah dengan diriku?” tanya Anna sambil meneliti penampilannya.
Tidak ada yang aneh dengan penampilan Anna, malahan dia terlihat cantik dengan blonde bunga matahari di kepalanya. “Lo suka bunga matahari?”
Anna berpikir sebentar, untuk apa Leon menanyakan hal yang tidak penting. “Iya, karena--”
“Gue gak nanya alesan lo!” Leon berdecak kesal.
Anna mengerucutkan bibirnya, ia kira Leon ingin tahu tentang dirinya, dengan senang hati Anna akan memberitahunya. “Oh begitu, terus ngapain kamu tanya?”
“Salah gue nanya gitu sama lo?!” jawab Leon ngegas.
Anna menggelengkan kepalanya cepat, hari ini Leon sensi sekali seperti sedang datang bulan saja. “Nggak Leon, kamu selalu benar.” Anna mengingat isi kontrak bahwa di sana tertulis jika pihak pertama selalu benar.
Leon mendengus kesal, selera makannya sudah hilang sekarang. Leon membanting sendok ke bawah hingga menimbulkan suara.
“Leon mau kemana? Kenapa gak makan dulu?” teriak Anna dari sana yang melihat Leon pergi begitu saja.
“Males,” Leon memakai sepatu putihnya lalu mengambil kunci motornya.
“Aku bikinin bekal ya?” tanya Anna sembari mengambil kotak bekal dari lemari.
“Gue bukan bocah! Gak usah sok perhatian deh lo, enek banget gue liatnya.” Seketika pergerakan Anna terhenti, padahal Anna takut Leon kenapa-napa jika tidak sarapan mungkin Anna terlalu lebay.
Anna menaruh kembali kotak bekal itu. Dilihatnya Leon yang sudah pergi tanpa berpamitan padanya. Anna mendesah sedih. Anna siapa? Anna hanya istri kontraknya Leon saja, Anna tidak pantas menerima semua perhatian Leon, Anna pun tidak berhak memaksa Leon untuk mencintainya lagipula kontrak mereka hanya satu tahun, itu waktu yang singkat bukan?
***
“Hari ini toko roti rame, kata Mama lo dateng pulang Sekolah nanti gue anterin.”
Anna menganggukkan kepalanya. Sudah dua tahun lebih Anna bekerja di toko roti milik Mamanya Eliza untuk menghidupi kebutuhan ekonominya. Ayah tirinya hanya bekerja sebagai kuli bangunan dan Ibunya bekerja sebagai pencuci piring di restoran kecil.
“Kalo memang masih sakit gak usah dipaksain Na, gue bisa bilang sama Mama nanti,” ujar Eliza dengan kejadian yang terjadi kemarin membuat Eliza khawatir kepada Anna.
Anna menggelengkan kepalanya. Kemarin Anna sudah meliburkan diri karena pernikahannya, Anna butuh pekerjaan itu untuk Ibunya. “Aku gak papa El, nanti aku datang.”
“Oky! Nanti berangkat bareng gue.” Eliza merangkul bahu Anna.
“Iya.”
Di sisi lain tepatnya di Sekolah Leon. Leon tengah duduk di bawah pohon sembari memainkan gitarnya. Di sampingnya ada Vano yang setia menemaninya.
“Bosen gue, dari tadi lagu sedih mulu yang lo nyanyiin,” ujar Vano sambil mengeluh pelan. Sudah dua jam ia menemani Leon di sini, tapi dia tidak terganggu sedikitpun dengan keberadaannya apalagi Leon terus menyanyikan lagu sedih, sangat mendukung sekali padanya yang baru putus cinta.
“Kalo bosen ya, tinggal pergi apa susahnya.” Leon memukul kepala Vano dengan gitarnya pelan.
Vano meringis sambil memegang kepalanya. “Anjir, bisa-bisa otak gue pecah, kalo gue mati gimana hah!”
“Mati ya, tinggal mati aja apa susahnya,” dengan watadosnya Leon berkata.
Vano membulatkan matanya tak percaya. Giliran susah aja Leon datang padanya, dan sekarang Leon berkata seolah tidak menyakiti. Sungguh biadab sekali Leon.
“Gue mati lo sedih.” Dramatisir Vano sembari mengusap matanya pelan.
“Mau lo mati, kecebur got, guling-guling di api, gue gak peduli.” Leon tertawa pelan sembari melihat ekspresi kesal Vano.
“Wah anak anj*ng! Gue sumpahin lo mati kesepian!” Vano mengepalkan tangannya hendak meninju wajah Leon.
Leon menahan tinjuan Vano. “Cih baperan!”
Vano mendengus kesal, awas saja dilain waktu Vano akan membalasnya sampai Leon bertekuk dan menyerah padanya. “Awas lo!”
“Van?” panggil Leon sembari melihat Vano.
“Apaan?! Mau minta maaf, cih! Gak sudi gue.” Vano menyilangkan kedua tangannya.
Leon menggeplak lengan Vano. “Pede banget lo. Gue mau tanya kalo mimpi gituan itu mimpi apaan?” tanya Leon penasaran dengan jawaban Vano.
Vano mengerutkan keningnya tidak faham. “Gituan apaan bego?” tanya Vano.
“Ya, gituan. Lo jangan pura-pura polos gue tahu lo sering nonton, kan? Malahan lo diusir emak lo gara-gara nonton tuh film.” Leon menjelaskan aib Vano yang selalu nonton film biru di bawah kasur Ibunya.
“Jangan buka-buka aib gue bego!” Vano tidak terima aibnya dibeberkan apalagi mereka di lingkungan Sekolah, bagaimana jika ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments