Bab 5

Anya masih tetap duduk di sofa sambil melihat nomor ponsel yang tertera di kertas yang dipegangnya. Ia segera meraih ponselnya dan menyimpan nomor itu. Siapa tau suatu hari nanti ia butuh bantuan Haris, ia bisa langsung menghubunginya. Setelah menyimpan nomor Haris, ia segera memencet nomor lain, ia segera menelfon Bu Ribi untuk berterimakasih karena Bu Ribi sudah membantunya. Setelah menelpon bu Ribi, Davin muncul di ruang tamu. Seperti biasa ia langsung rebahan di sofa dan fokus pada ponselnya. Anya memberitahunya bahwa listriknya sudah menyala dan teknisinya sudah pulang. Ia juga menjelaskan bahwa Bu Ribilah yang memberikan ongkos pada Haris tanpa sepengetahuan Anya. Davin hanya menjawab “Oh” singkat tanpa menatap Anya. Hmmmm, ia begitu bertolak belakang dengan Haris pikirnya.

Keesokan paginya ketika Azriel sedang bermain mobil-mobilan seperti biasanya di teras, Anya meninggalkannya dan pergi ke dapur untuk melakukan tugas-tugas rumah yang sudah menantinya sejak pagi. Sebab pagi itu Azriel sedang rewel dan meminta untuk terus ditemani Anya sejak bangun tidur sehingga pekerjaan rumah Anya menjadi terbengkalai. Anya selalu saja merasa tak tega untuk melihat Azriel menangis. Ia selalu berusaha untuk menjadi ibu yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang sepenuhnya pada Azriel. Setelah menunggu beberapa lama,akhirnya ia memiliki kesempatan untuk “lepas” dari Azriel. Ia segera bergegas ke dapur dan terburu-buru memasak. Sebenarnya ia tidak meninggalkan Azriel bermain sendirian, di depan ada Davin yang menjaganya. Walaupun sebenarnya Davin tak bisa dibilang menjaganya karena ia pun juga sibuk dengan gadgetnya dan pastinya ia asik sendiri. Namun setidaknya Azriel tidak benar-benar sendirian di teras.

Baru beberapa menit ia memasak, terdengar suara Davin memasuki dapur. Ia berjalan ke arah rak piring dan bergegas mengambil piring dan sendok. Ketika ia membuka penanak nasi, ia mendengus kesal karena nasinya masih belum masak. Ia menutup penutup magic-com dengan sekuat tenaga seolah ia ingin melampiaskan kekesalannya pada barang itu. “Ini jam berapa kok nasinya masih belum matang. Aku lapar banget. Terus kamu dari tadi ngapain aja kok masih belum selesa masak?” ujarnya penuh emosi.

“Tanya saja pada Azriel aku ngapain aja dari tadi.” Jawab Anya dengan tegas. “Kalau kamu maunya sarapan pagi dan tepat waktu, setidaknya kamu bisa membantuku untuk menjaga Azriel jadi aku bisa masak dari tadi.” Imbuhnya dengan emosi yang sama.

“Kamu ini udah nggak bisa nyari duit, malah berani juga ngelawan aku.” Bentaknya , “Dasar istri tak berguna.” Bentaknya. Anya hanya bergeming. Ia sudah membuka mulutnya untuk melawan Davin, namun seketika terdengar suara jeritan dari arah teras rumah. Keduanya berlari ke arah teras. Sesampainya mereka berdua di sana, Azriel sudah tergeletak di halaman rumah dengan lengan berlumuran darah. Anya segera berlari ke arahnya. Melihat anaknya tergeletak dengan lengan yang berdarah membuat degup jantungnya seolah berhenti. Ia tidak tahu apa yang sudah terjadi. Ia panik dan menoleh ke arah Davin yang sudah ada di sampingnya. Mereka berdua segera mengecek kondisi Azriel. Azriel diam tak bergerak. Ia pingsan. Sepertinya ia terjatuh dari pagar. Mungkin tadi ia memanjat pagar dan terjatuh ketika Anya sedang berada di dapur. Tangannya terluka. Ada luka sayatan di bagian lengan atasnya. Anya segera menggendong Azriel. Ia menangis sambil mendekap Azriel. Ia merasa hari itu ia gagal menjaga Azriel. Mereka berdua segera bergegas membawa Azriel ke Rumah Sakit terdekat. Saat itu adalah pertama kalinya Anya dan Davin naik motor bersama setelah berbulan-bulan mereka berdua menjalani hubungan yang tidak sehat. Namun tak pernah ia sangka bahwa saat ini ia naik motor berdua dengan suaminya dalam kondisi Azriel terluka. Sesampainya di rumah sakit, mereka segera membawa Azriel ke UGD. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Azriel ditangani oleh seorang perawat muda. Perempuan itu membersihkan luka di tangan Azriel dan membalut lukanya dengan perban. Namun sampai saat itu Azriel masih belum sadar juga.  Perasaan Anya begitu hancur. Ia seolah merasa sendirian di saat yang begitu terpuruk seperti itu. Satu jam berlalu dan Azriel masih belum juga sadar. Mata Anya bengkak dan sembab karena ia tak berhenti menangis dan menyalahkan dirinya sendiri.

“Ini gara-gara kamu lalai menjaga Azriel, makanya dia sampai seperti ini. Seandainya kamu becus dalam menjaganya, hal seperti ini pasti tak akan terjadi.” Davin memarahi Anya. Beberapa orang yang sedang berada dalam UGD menoleh ke arahnya. Anya sebenarnya ingin melawan dan ingin menyalahkan Davin atas kejadian ini, namun ia mengurungkan niatnya karena di sana masih ada beberapa orang. Ia tak ingin memancing keributan di tempat seperti itu. Tanpa harus Davin yang menyalahkan dirinya, ia sudah tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri sejak tadi.

Bagaimana jika Azriel tak cepat sadar. Apa yang sebenarnya terjadi padanya. Berbagai pikiran mulai campur aduk di benaknya. Lantas bagaimana caranya membayar biaya rumah sakit, pikirannya mulai berputar tak karuan. Semua perasaan bercampur aduk dalam dadanya antara gelisah, ketakutan, khawatir, bingung dan marah juga menjadi satu. Ia marah pada dirinya sendiri yang tak mampu menjaga anaknya. Ia juga marah pada suaminya yang juga tak mampu menjaga Azriel. Ia marah pada kehidupan yang membuatnya mengalami kemiskinan tak berujung ini. Seandainya kondisi ekonominya baik-baik saja, akankan Davin tetap sehangat dulu? Ia tidak tahu siapa yang harus disalahkan dalam situasi ini. Satu-satunya yang harus disalahkan adalah aku, pikirnya. Ia menangis sesenggukan di sana. Ia merasa sendirian. Tak ada tangan yang memeluk bahunya untuk menenangkan. Tak ada kata-kata manis yang berusaha membuatnya kuat. Ia menangis sendirian.

Perawat wanita yang tadi membalut luka Azriel mendekatinya sambil menyentuh bahunya. “Bu, saat ini Azriel masih diperiksa oleh dokter. Mungkin satu jam lagi hasilnya akan keluar. Ibu yang sabar ya.” Nada suara wanita itu mengandung ketulusan dan keprihatinan yang mendalam. Anya hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu hasil diagnosa dokter tentang bagaimana kondisi Azriel. Satu jam bagaikan satu tahun bagi Anya. Ia begitu tak sabar menunggu hasil pemeriksaan dari dokter. Sementara di kursi sebelahnya, Davin duduk sambil bermain game di ponselnya. Masih seperti itu pikir Anya. Davin seolah tak peduli apa yang terjadi. Anya menoleh ke arahnya. Namun Davin tetap merespon, ia tetap fokus pada ponselnya. Seperti inikah lelaki yang kupilih untuk ku nikahi? Betapa bodohnya aku dulu memilih lelaki semacam ini, pikirnya. Mengapa ia dulu begitu bodoh dan keras kepala. Kini ia harus menanggung akibatnya sendirian. Selama mereka menunggu Azriel sadar, Davin tak sekalipun membahas bagaimana cara mereka membayar biaya rumah sakit dan perawatan Azriel nanti. Anya harus berpikir keras untuk mencari cara agar ia mampu membayar biaya rumah sakit Azriel. Anya benar-benar bertekad untuk mencari jalan keluar sendiri dari situasi ini. Ia harus mampu menghasilkan uang sendiri untuk biaya perawatan Azriel dan untuk kehidupan mereka ke depannya. Aku tak boleh diam saja dan menangisi keadaan, pikirnya. Aku harus bangkit, ujarnya dalam hati sambil mengepalkan tangannya. Dulu ia adalah wanita yang aktif. Namun setelah menikah ia menjadi ibu rumah tangga karena dulu ia percaya bahwa Davin akan memperlakukan dirinya bak ratu di rumahnya, namun ternyata keadaanya tidak seperti yang ia bayangkan. Saat ini ia memaki dirinya sendirinya atas kebodohannya. Beberapa tahun vakum dari dunia luar seolah telah membuat otaknya tumpul. Ia kini harus berpikir keras untuk memecahkan masalah ini sendirian. Kalau ia bekerja di luar rumah, lalu bagaimana dengan Azriel. Siapa yang akan menjaga Azriel, batinnya. Davin saja tidak bisa diandalkan dalam hal apapun. Dulu di awal menikah Davin masih bekerja di sebuah perusahaan, namun beberapa bulan kemudian ia terkena PHK. Setelahnya, ia membuka usaha kuliner. Namun karena persaingan bisnis saat ini begitu ketat. Usahanya tak berlangsung lama dan ia mengalami kebangkrutan. Setelah kejadian itu, ia mulai kecanduan bermain game online. Awalnya ia bermain game online hanya demi mengatasi kejenuhan. Namun lama-kelamaan ia mulai kecanduan dan seolah tak bisa lepas dari aktivitas itu. Lama-kelamaan ia malas bekerja dan tak lagi ada keinginan untuk berusaha mencari kerja ataupun usaha untuk memulai bisnis kecil. Pernah ada salah satu temannya yang menawarinya pekerjaan namun ia menolaknya dengan alasan pekerjaan itu tak cocok dengannya. Setelah itu ia sering menyalahkan Anya karena Anya terlalu bergantung padanya. Ia sering menghina Anya karena Anya tak bekerja di luar rumah. Bukannya tidak ingin bekerja, namun Anya tidak bisa meninggalkan Azriel. Ia tidak tega untuk meninggalkan Azriel bekerja. Pernah suatu hari, Anya melamar pekerjaan di sebuah toko untuk menjadi penjaga toko dan waktu itu ia diterima bekerja di sana. Namun saat hari pertama bekerja, Azriel menangis karena ditinggal olehnya. Keesokan harinya Azriel demam selama beberapa hari akhirnya Anya memutuskan untuk tidak lagi bekerja demi menjaga Azriel. Namun kini kehidupan

mulai mempermainkannya lagi. Saat ini Azriel terbaring tak sadarkan diri di UGD dan Anya tak memiliki uang untuk biaya pengobatannya nanti. Dia harus mencari jalan keluar untuk situasi saat ini. Mungkin saat ini adalah saat yang tepat bagi Anya untuk menceritakan kondisi rumah tangganya yang sesungguhnya pada orang tuanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!