“Azriel sudah tidur?” tanya Davin pada Anya.
“Ya, dia tidur awal.” Anya menjawab singkat seraya mencuci sisa piring kotor bekas makan malam. Sudah lama sekali mereka berdua tidak pernah makan bersama lagi. Biasanya Anya hanya menyiapkan malam suaminya dan membiarkan suaminya makan sendirian di ruang makan sementara Anya menyibukkan dirinya di ruangan lain untuk sekedar menghindari suaminya. Hubungan mereka berdua sudah sampai di titik benar-benar tidak sehat. Ia sudah lupa kapan terakhir kali mereka berdua berbincang hangat. Akhir-akhir ini perbincangan mereka hanya seputar tanya jawab singkat mengenai Azriel. Biasanya Anya akan makan malam
ketika dia sudah sendirian di dapur dan suaminya sudah bersantai di ruang keluarga.
Setelah semua pekerjaan rumah dirasa telah selesai, Anya masuk ke kamar anaknya. Ia mendekati ranjang dan duduk di samping tempat tidur anaknya seraya memandang wajah anaknya yang begitu polos. “Kalau bukan demi dirimu, mungkin mama sudah menyerah.” Ujarnya dalam hati. Ia mengelus rambut anaknya perlahan. Anaknya adalah hal terbaik yang ia miliki dalam hidup. Anya mengorbankan banyak hal dalam hidupnya demi memilih jalan yang kini sedang dilaluinya. Ia rela melepaskan kesempatannya untuk berkarir demi menjaga dan membesarkan anaknya. Bukannya ia tak memiliki pilihan yang lebih baik dari itu, namun ia rela melepaskan mimpinya untuk menjadi wanita karir demi membesarkan putra satu-satunya. Namun kini seolah kehidupan sedang mengujinya dari berbagai arah. Kini, kondisi ekonomi keluarganya sedang begitu terpuruk. Ditambah lagi suaminya kehilangan pekerjaan dan usahanya mengalami kebangkrutan.
Setelah beberapa saat berlalu, ia berjalan keluar dari kamar putranya dan menuju kamarnya sendiri. Di sana, suaminya sedang bermain game sambil bersantai seolah kehidupan mereka sedang baik-baik saja. Anya hanya menatap sekilas suaminya tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia segera naik ke atas tempat tidur. Tiba-tiba kamarnya menjadi gelap. Ia segera mengambil senter yang terbiasa ia letakkan di samping tempat tidurnya. “Mungkin pemadaman listrik.” Bisiknya entah kepada dirinya sendiri atau kepada suaminya. Suaminya masih saja tidak merespon dan masih melanjutkan bermain game di ponselnya. “Dia memang seperti itu, selalu tidak peduli kepada siapa pun dan apapun.” Pikirnya menahan kejengkelan. Anya segera mengintip ke luar jendela dari ruang tamu untuk memastikan apakah terjadi pemadaman atau tidak. Ternyata lampu tetangganya tetap menyala. Hanya rumahnya yang mengalami mati listrik.
“Yah, Cuma rumah kita yang listriknya padam.” Ujarnya pada suaminya.
“Oh,” jawabnya sambil melanjutkan bermain game.
Anya tak kuasa menahan jengkel dan mulai mendekati suaminya. “Coba kamu cek apa yang salah, kasihan Azriel takut gelap.”
“Ya, besok aku cek.” Ujar suaminya malas-malasan.
Anya tak kuat menahan emosi, “Kamu selalu begitu, cobalah untuk peduli!”
“Kamu pikir aku tak pernah memperdulikan dirimu?” bentak Davin dengan emosi yang membara.
“Kalaupun kamu tidak memperdulikan aku, cobalah untuk memperdulikan Azriel.” Bantahnya.
“Kamu pikir selama ini kamu dapat uang dari mana untuk makan kalau bukan aku yang bekerja?” cemooh Davin.
Anya berlalu pergi dari hadapan Davin sambil menahan emosi dan menghindari pertengkaran yang akan menguras energi serta emosinya. Ia segera berlari ke kamar Azriel untuk menyalakan lilin di sana. Ia masuk ke kamar Azriel seraya membawa lilin. Mungkin malam ini ia akan tidur di kamar itu. Lagi pula ia sudah tidak kerasan tinggal sekamar dengan suaminya. Ia termenung selama beberapa saat di dalam kamar yang hanya diterangi cahaya lilin itu. “Kenapa ia berubah begitu drastis?” Pikirnya sambil mengingat kembali kenangan bersama suaminya. Dulu Davin adalah sosok yang begitu hangat dan ceria. Namun sekarang ia berubah menjadi pribadi yang begitu dingin dan cuek dengan lingkungan sekitarnya. Mungkinkah kesulitan ekonomi yang begitu rumit ini telah merenggut sikap manisnya? Lamunannya terburai oleh suara Azriel, “Mama, kenapa gelap sekali?” rengeknya. Azril selalu membenci kegelapan. Itu sebabnya Anya merasa begitu marah ketika ia menyuruh Davin mengecek listrik namun hanya mendapat respon dingin dan sikap acuh tak acuh yang ditampakkan Davin kepadanya seolah membuatnya ingin menonjok muka suaminya yang menyebalkan itu. Ternyata cinta bisa berubah menjadi benci dalam waktu yang singkat.
“Sabar ya sayang, besok listriknya pasti normal lagi.” Ujarnya seraya memeluk Azriel. “Sekarang adek bobok lagi ya, mama jagain adek di sini.” Tambahnya.
“hu’um.” Gumam Azriel sambil bergelung di pelukan mamanya.
Beberapa saat berlalu, Anya mendengar suara dengkuran lirih dari anaknya. “Ia cepat sekali tertidur.” Pikirnya sambil tersenyum menatap wajah putranya dalam keremangan. Pikirannya kembali melayang. “Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki segalanya?” gumamnya dalam hati. Ia ingin bekerja namun tak tega untuk meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan perhatiannya. Namun jika ia tidak bekerja, apa yang akan terjadi pada kehidupannya dan kehidupan anaknya. Ia tidak rela jika harus melihat anaknya hidup dalam kemiskinan. Ia ingin berjuang keras untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya. Ia merasa bertanggungjawab untuk memberikan kebahagiaan untuk anak tercintanya. Walaupun ia adalah seorang tulang rusuk yang kini sedang terombang ambing oleh nasib yang kejam, namun ia harus dipaksa kuat oleh keadaan. Meski nanti ia harus menjadi tulang punggung untuk keluarganya, ia harus rela. Namun seolah bagian kecil dari hatinya menjerit ketika ia teringat bahwa lelaki pilihannya yang dulu ia perjuangkan kini berubah menjadi lelaki yang paling ingin ia hindari dalam hidupnya. Lamunannya terus membawanya kea lam bawah sadar hingga ia terlelap.
Suara kokok ayam yang bersahutan membangunkannya. Semalam ia terlelap di kamar Azriel. Ia menoleh ke sampingnya. Azriel belum bangun. Ia turun dari ranjang dengan sangat perlahan agar Azriel tidak terbangun. Seperti biasa, rutinitas pagi yang membosankan telah menunggunya. Ia bergegas ke kamar mandi. Kemudian ia menyeduh kopi untuk dirinya. Kopi adalah mood booster terbaik baginya. Sambil menunggu kopinya untuk manjadi hangat dan tidak terlalu panas, ia mengecek ruang tamu. Ternyata Davin tertidur di sofa dengan tangan masih menggenggam ponselnya. Ia kembali ke dapur dan melanjutkan pekerjannya. Walaupun ia tak lagi melakukan pekerjaan rumah dengan penuh cinta seperti dulu, setidaknya ia tetap melakukan tugasnya dengan baik. Tidak seperti Davin yang kini malas bekerja dan malah kecanduan game online. “Kenapa baru sekarang aku sadar bahwa aku salah memilih suami?” pikirnya. Namun ia sadar bahwa sekeras apapun ia menyalahkan kebodohannya di masa lalu, itu tidak akan merubah situasi sat ini. Yang harus ia lakukan saat ini adalah berfokus untuk mencari jalan keluar dari masalah yang menghimpitnya saat ini. Ia harus mencari jalan keluar dan harus segera memiliki penghasilan sendiri agar ia mampu menafkahi dirinya dan juga anaknya. “Terserah Davin mau bekerja atau tidak, yang penting aku harus bisa memiliki penghasilan sendiri agar aku bisa memenuhi kebutuhanku dan Azriel.” Pikirnya.
Ia mengingat seperti apa sakitnya dihina oleh mertuanya karena ia bergantung pada suaminya. Ia juga masih merasakan pedihnya dihina suaminya karena dia tidak berpenghasilan. Bukankan seharusnya dirinya memang tanggung jawab suaminya? Namun kenapa kini justru ia selalu disalahkan karena ia tak mampu membantu perekonomian keluarganya? Bukankah dulu Davin ketika menikah dengannya berjanji akan membahagiakannya? Kemanakah janji manis yang dulu terdengar indah di telinganya? Kenapa sekarang semuanya berubah menjadi hinaan dan cemoohan yang dilontarkan padanya karena ia tidak bekerja? Semua pikiran itu mengganggunya hingga ia tidak sengaja menyenggol gelas kopi yang masih belum diminumnya sampai gelas itu jatuh ke lantai dan bersuara keras. Semenit kemudian terdengar suara teriakan dari ruang tamu, “Suara apa itu berisik banget?” Rupanya Davin mendengar suara gelas pecah tadi dan mungkin ia terbangun karena kaget.
“Aku gak sengaja memecahkan gelas.” Anya balas berteriak dari dapur.
“Makanya hati-hati dong. Mengganggu orang tidur aja.” Balas suaminya.
Anya tak lagi menggubris teriakan suaminya. Ia membersihkan pecahan gelas dan melanjutkan memasak untuk sarapan. Biasanya Davin bangun ketika matahari sudah benar-benar tinggi. Dulu Anya selalu rajin membangunkan Davin setiap pagi. Namun belakangan ini ia tak lagi peduli jam berapa Davin bangun. Yang terpenting baginya hanyalah ia melakukan tugas rumah dengan baik. Selain itu ia tak peduli lagi apapun yang dilakukan Davin. Setelah semua pekerjaan dapur selesai, ia mendengar suara Azriel memanggilnya dari dalam kamar. Itu kebiasaan Azriel setiap pagi. Anaknya akan selalu memanggilnya ketika bangun tidur. Anya segera berlari ke kamar Azriel. “Selamat pagi sayang.” Ucapnya sambil tersenyum lalu mencium pipi Azriel.
“Mama…aku mau sarapan ayam.” Rengeknya “Aku kan sudah lama banget gak pernah makan ayam. Hari ini aku mau makan ayam ya ma, pleaseeee…” matanya penuh
permohonan.
“Oke sayang.” Ucap Anya. Namun dalam hatinya ia bingung bagaimana caranya ia membeli ayam sementara saat itu uang di dompetnya tinggal 20 ribu belum lagi urusan listrik ini belum selesai juga. Ia tak punya pilihan lain selain membangunkan Davin.
“Bangun, Azriel minta belikan ayam, uangku tinggal 20 ribu. Kamu ada uang?”
“Lho? Kalo gak ada uang ya udah gak usah beli ayam.” Ujarnya Davin sinis.
“Kamu ini bagaimana sih? Apa kamu rela anak kita nangis hanya karena gak bisa makan apa yang dia inginkan? Kamu seharusnya usaha dong, jangan hanya main game siang malam.” Ujar Anya penuh kejengkelan.
“Kalo kamu gak mau kita hidup miskin kayak gini, kenapa kamu gak berusaha juga buat bekerja? Kamu dari dulu selalu bergantung ke aku. Kamu ini istri yang gak tau terimakasih. Dasar perempuan gak berguna.” Ucap Davin dengan emosi.
Mendengar itu Anya berlalu dengan menahan air mata yang sepertinya tak tahan lagi untuk dibendungnya. Namun ia selalu bertekad agar dirinya tidak menangis di depan Azriel. “Bagaimana ini?” gumamnya dalam hati. Ia berjalan menuju kamar Azriel. Sesampainya di sana ia melihat Azriel sudah berganti pakaian dan tertawa riang melihat mamanya masuk ke dalam kamarnya.
“Ayo ma kita berangkat beli ayamnya yuk.” Ujarnya ceria.
Anya hanya mengangguk sambil tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments