Bab 3

Suara- suara keramaian orang berlalu lalang di jalanan yang menuju ke pasar tak lagi menarik perhatiannya. Satu-satunya hal yang ada dalam pikirannya adalah kesedihan dan luka hati yang semakin dalam sisa pertengkaran tadi pagi dengan suaminya. Tak terasa air matanya menetes. Ia sebisa mungkin menyembunyikan kesedihannya saat bersama Azriel. Namun saat itu, ia seolah tak kuasa menahan air matanya. Mungkinkah ia sudah terlalu lelah dengan hidupnya? Azriel tiba-tiba menarik tangannya, “Mama kenapa menangis?” ucapnya dengan sorot mata kesedihan. “Mama nggak menangis kok sayang, mama cuma kelilipan aja.” Jawab Anya seraya tersenyum. Mereka berdua melanjutkan perjalan ke pasar. Namun genggaman tangan Azriel yang terasa begitu hangat di tangannya justru membuat hatinya semakin terasa sakit. Kenapa Azriel harus terlahir dari orang tua yang belum bisa membahagiakannya? Anya menyalahkan dirinya sendiri atas takdir buruk yang sedang terjadi dalam hidupnya saat ini. Memiliki Azriel dalam hidupnya adalah sebuah anugrah terbesar dalam hidupnya namun ironisnya adalah ia merasa bahwa dirinya adalah seorang ibu yang tak berguna dan tidak bisa memenuhi kebutuhan anak semata wayangnya. “Mama, bukan kelilipan. Mama sedang menangis lagi.” Rengek Azriel, dan seketika itu juga Azriel menangis memeluk Anya. “Gpp kok sayang, mama gak akan nangis lagi.” Jawab Anya seraya menghapus air matanya dengan cepat.

“Aku nggak jadi beli ayam, pasti mama menangis karena uang mama habis untuk beli ayamku. Aku gak mau beli ayam goreng lagi. Aku nggak mau. Ayo kita pulang ma.” Tangis AZriel sambil menarik Anya dan mengajaknya berbalik arah untuk pulang. “Nggak kok sayang, uang mama masih cukup untuk beli ayam goreng Azriel.” Anya menggendong Azriel dan membujuknya untuk terus melanjutkan perjalanan menuju pasar. Namun Azriel menangis semakin kencang dan mengajaknya pulang. Kenapa Azriel begitu peka dengan perasaanku? Pikir Anya dalam hati.

Azriel terus menangis mengajak pulang. Akhirnya Anya memutuskan untuk membawanya pulang dan tidak jadi melanjutkan perjalanan ke pasar untuk membeli ayam goreng. Dalam perjalanan pulang,ia terus menggendong

Azriel. Sesampainya di rumah, ia masih tetap menemukan pemandangan yang taka sing lagi baginya, suaminya masih rebahan di sofa dengan ponsel di tangannya. Tak salah lagi, suaminya pasti masih belum melakukan apa-apa pagi itu selain bermain game online.

“Mana ayam gorengnya? Ayah boleh minta ayam gorengnya kan?” tanya Davin seraya tersenyum pada Azriel.

“Aku nggak jadi beli ayam goreng.” Anya membalas dengan dingin.

“Lho? Kenapa nggak jadi? Bukannya kalian tadi ke pasar untuk membeli ayam goreng? Uang belanja yang uda aku kasi ke kamu uda kamu habiskan buat apa aja? Kamu itu jadi istri kok boros sekali sih? Kamu gak mikir apa aku susah bekerja buat kalian, kamu malah boros uang belanja.” Omel Davin pada Anya.

“Lho, uang belanja 50 ribu yang kamu kasi kemaren lusa itu kamu pikir cukup untuk kita bertiga selama beberapa hari?” balas Anya sambil mendengus. “Uang belanja dari kau itu nggak cukup bahkan jauh dari kata tidak cukup. Kalo aku terus terusan hidup sama kamu, aku bisa mati kelaparan.” Tambah Anya sama ketusnya.

Plaaaaaakkk … !!!!!!!

Suara hp dibanting terdengar begitu keras di antara mereka bertiga. Azriel seketika menjerit menangis sambil memeluk erat mamanya. Anya mendekap Azriel lebih erat dan menyandarkan kepala anaknya di pundaknya. “Kamu keterlaluan.” Ucap Anya sambil menatap tajam Davin. “Kamu keterlaluan.” Ulangnya. Anya segera membawa Azriel pergi dari ruangan itu dan menuju kamar Azriel. Sesampainya di kamar Azriel, Anya tak tahan lagi untuk membendung tangisnya. Akhirnya ia menangis sesenggukan. Melihat mamanya menangis, tangisan Azriel pun semakin menjadi-jadi. “Azriel jangan menangis ya Nak.” Bisik Anya seraya mengelus rambut anaknya.

“Mama jangan nangis.” Balas Azriel sambil menangis sesenggukan.

Bukannya tidak ingin bercerai dari suaminya, namun setiap kali Anya berniat untuk bercerai dari Davin, Azriel selalu jatuh sakit seolah anaknya mengetahui apa yang dipikirkan Anya. Setiap kali Azriel jatuh sakit, Anya selalu mengurungkan niatnya untuk bercerai dari Davin. Ia rela menjalani kehidupan rumah tangganya  yang begitu tak tertahankan hanya demi anaknya. “Mama harus sabar ya.” Rengek Azriel. “Mama harus janji mama nggak boleh bertengkar lagi sama ayah.” Tambah Azriel. Anya hanya diam dan tidak memberikan janji yang ia tahu tak mungkin mampu ia tepati. Anya tahu betul selama ia masih tinggal bersama Davin, ia tak akan pernah mungkin mampu mengindari pertengkaran. Terkadang ia mengalah hanya demi menghindari pertengkaran. Namun seringkali Davin benar-benar di luar batas hingga Anya harus melawan. Apa yang harus ia lakukan? Ia terjebak dalam kehidupan yang dulu ia pilih sendiri. Dulu awalnya orang tua Anya tak merestui hubungan Anya dengan Davin. Namun Anya memaksa orang tuanya dan merayu mereka untuk merestui hubungan mereka. Hingga pada akhirnya tak ada pilihan lain bagi orangtuanya selain merestui hubungan mereka berdua. Itu adalah jalan yang Anya pilih dalam hidupnya, dan pilihannya kini membawanya ke dalam kehidupan yang penuh kepahitan. Ia tak bisa membagi beban itu kepada siapapun. Terlebih lagi kepada orang tuanya. Anya malu jika ia bercerita kepada orangtuanya tentang kondisi rumah tangganya saat ini. Ia takut orangtuanya menertawakan apa yang ia alami sekarang. Ternyata apa yang ditakutkan oleh orang tuaku dulu saat ini benar-benar terjadi, pikirnya dalam hati. Dulu orang tuanya sudah mengingatkan Anya bahwa Davin bukanlah pria yang sesuai dengan kriteria orang tua Anya. Orang tua Anya sudah pernah berkata padanya bahwa Davin bukan tipe laki-laki pekerja keras. Mereka berdua takut jika Anya menikah dengan Davin, nantinya Anya akan hidup dalam kesusahan. Dulu Anya membantah orangtuanya. Namun sekarang ia menyesal tidak mempercayai ucapan orang tuanya. Tapi apa boleh buat, semuanya sudah terlambat. Kini ia sudah terjerat ke dalam kehidupan susah yang memang ia rancang sendiri.

“Mama jangan berpisah sama ayah ya.” Tangis Azriel semakin pecah.

“Iya Nak.” Jawab Anya lirih.

Iya tahu betul bahwa dirinya kini harus rela berdarah demi buah hatinya tercinta.

Setelah beberapa waktu berlalu dalam keheningan, Anya menyuruh Azriel untuk bermain. Lalu Anya segera bergegas ke ruang tamu tempat Davin berada saat itu. Ia melihat Davin sedang mengecek hp yang tadi

dibantingnya.

“Aku bertahan dalam hubungan ini hanya karena demi Azriel.” Ujar Anya.

Davin tidak menjawabnya. Ia masih mengecek ponselnya. Penyesalan memang selalu datang di akhir pikir Anya. Ia segera meninggalkan ruang tamu dan menuju ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan rumahnya. Ah mana lagi urusan listrik masih belum kelar, pikirnya dalam hati. Ia duduk termenung sendirian di pintu dapur. Ia menangis sejadi-jadinya di pintu dapur sambil mengingat semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Hidup yang dulu ia kira akan menjadi pelabuhan bahagia untuknya dan suaminya kini ternyata menjadi tempat yang mengikatnya seolah ia terjerat dalam pusaran badai. Ia menumpahkan air matanya sampai sesenggukan. Masih adakah cinta untuk suaminya? Mungkin saat ini hatinya sudah mati. Mungkin bagi dia cinta satu-satunya hanyalah anaknya.

Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci muka agar matanya tidak sembab. Ia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapan orang lain. Ia hanya menangis saat sendirian. Aku tak boleh menjadi wanita lemah seperti ini, pikirnya. Ia segera meraih handuk di gantungan handuk dan segera mengeringkan wajahnya. Ia berjalan ke arah cermin dan mengamati wajahnya di sana. Dalam pantulan cermin, ia mengamati seorang wanita muda yang masih terlihat cantik seperti dulu namun sorot matanya telah memancarkan banyak kesedihan seolah selama ini hidup telah banyak mempermainkannya. Ia berkata dalam hati bahwa ia harus bangkit dan kembali menjadi perempuan yang mampu mengendalikan takdirnya lagi. Dulu ia adalah seorang perempuan cerdas dan mandiri. Namun cintanya yang buta pada Davin telah menumpulkan otaknya. Namun kini ia harus kembali menjadi perempuan yang jauh lebih kuat dari dirinya dulu. Aku harus bangkit dan kembali menjadi jauh lebih kuat dari sebelumya, ucapnya pada wanita di cermin. Ia berbalik dan berjalan menuju ke luar rumah. Ia bergegas menuju salah satu rumah tetangganya di sebelah selatan rumahnya untuk bertanya mengenai siapa kira-kira yang bisa menolongnya untuk memperbaiki listrik di rumahnya.

Ia menghampiri rumah Ibu Ribi dan kebetulan Bu Ribi sedang menyapu di halaman depan rumahnya.

“Permisi Bu Ribi,” Sapa Anya.

“Eh, selamat pagi mba’ Anya. Ayo masuk mba’.” Jawab Bu Ribi dengan ramah. Tetangga Anya yang satu itu memang sosok wanita paruh baya yang hangat dan suka membantu siapapun yang sedang butuh bantuan.

“ngga’ usah Bu, di sini aja.” Balas Anya seraya duduk di teras beliau. “Begini Bu, listrik di rumah saya mati sejak semalam. Mungkin ada kabel listrik yang bermasalah di rumah saya. Seingat saya Bu Ribi dulu pernah mengalami hal yang sama ya Bu, nah mungkin Bu Ribi bisa bantu saya untuk menghubungi teknisi listrik yang dulu pernah memperbaiki listrik di rumah ibu.”

“Oalah, ternyata gitu ya mba’ Anya. Iya nanti biar saya yang menghubungi teknisi listriknya ya, biar nanti dia langsung ke rumah mba’ Anya. Mungkin nanti siang teknisinya datang”

“Makasih banyak ya Bu.” Saya pamit dulu. Anya bangkit dari duduknya dan berpamitan pulang.

Ia kembali ke rumahnya dan menemui suaminya. “Aku sudah menghubungi teknisi listrik agar listrik di sini segera diperbaiki.” Ujarnya kepada suaminya.

“Oh, nanti kamu yang bayar ya.” Balas Davin malas-malasan.

Anya berlalu tanpa menjawab. Ia menuju ke ruangan lain untuk bersih-bersih. Menjadi ibu rumah tangga ternyata tak semudah yang ada dalam pikirannya dulu. Dulu ia mengira bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah

sebuah pekerjaan remeh yang tak berarti. Namun setelah ia menjalani perannya sebagai seorang ibu rumah tangga, ia baru sadar bahwa seorang ibu rumah tangga  adalah sosok yang harus serba bisa segala hal. Ia harus menjadi orang pertama yang bangun di pagi hari untuk menyiapkan segala keperluan anggota keluarganya. Ia juga yang harus tidur terakhir di malam hari untuk memastikan bahwa semua hal di rumah sudah berada pada tempatnya. Ia yang harus menjadi ibu untuk mengurus segala keperluan anaknya dan manjadi istri untuk mengurus segala keperluan suaminya. Tak ada jam libur. Tak ada gaji lembur. Bahkan seringkali keberadaannya dan pengabdiannya yang tanpa batas tak pernah dihargai di mata suaminya justru yang ia dapatkan adalah cemoohan seolah-olah ia adalah beban bagi suaminya. Ia mengerjakan tugas-tugas sehari-harinya sambil menunggu teknisi listrik datang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!