Kartun Jepang atau yang biasa disebut dengan anime, menjadi salah satu hiburan sekaligus teman sarapan yang tidak pernah Luis lewatkan. Cowok 22 tahun dengan tinggi 175 cm itu tengah duduk nyaman di sofa sembari menikmati roti bakar sisa semalam. Segelas kopi hitam dan rokok kesukaan tidak lupa. Jika tinggal bersama orang tuanya, saat ini pasti Luis tengah dimarahi bundanya. Bagaimana bisa seseorang sarapan hanya dengan roti sisa, kopi, dan rokok? Bunda Luis adalah definisi warga Indonesia sejati, yang mana belum makan jika belum mengonsumsi nasi. Sedangkan Luis, kental sekali dengan karakter ayahnya yang kebarat-baratan. Sarapan tidak harus nasi, ada banyak jenis makanan yang mengandung karbohidrat dan roti salah satunya.
Sedang fokus menonton anime masa kecilnya dulu, cowok berkulit cerah itu melirik nakas saat mendengar dering ponsel. Sebuah panggilan tanpa nama. Luis diam sejenak, mungkin saja itu salah satu dari client-nya.
Sebagai pekerja freelance, Luis tidak heran lagi dengan banyaknya nomor tanpa nama yang masuk ke ponselnya. Mereka para calon client Luis sudah diberi arahan pada beberapa akun sosial media Luis agar menghubunginya lewat email atau pesan whatsapp, hanya boleh mengirim pesan. Tapi beberapa ada juga yang kekeuh melakukan panggilan dan Luis benci itu. Apa mereka tidak membaca rules?
walau begitu, tidak sedikit yang Luis ladeni, tergantung mood-nya saat itu sedang baik atau buruk. Dan beruntunglah kali ini dengan santai Luis mengangkat panggilan itu. Belum sempat memberi salam, sebuah suara dengan Intonasi tinggi dan cepat mengagetkan indra pendengarnya.
"Luisss! Ini Bunda, cepat jemput di depan pasar."
Sejenak Luis menjauhkan ponsel dari telinganya, cowok itu heran dengan nomor baru itu.
"Luiiissss."
"Ya Bun, ini bunda ganti nomor apa gimana?" tanya Luis.
"Udah enggak usah banyak tanya, cepetan jemput Bunda!"
Panggilan terputus seketika. Luis mendengus kesal, Bunda selalu saja berbuat semaunya sendiri. Akhirnya, dengan setengah hati Luis meninggalkan zona nyaman itu. Dengan cepat mengeluarkan mobil dari basement. Melesat menuju pasar yang dimaksud bundanya.
Di lain sisi, wanita yang Kara tolong itu berulang kali mengucap terimakasih. Membuat Kara jadi kikuk sendiri. Kedua wanita berbeda generasi itu duduk berdampingan di tempat Kara meninggalkan barang belanjaan.
Untuk sesaat keduanya terdiam, Kara merasa canggung akan hal itu. Dalam hati berdoa agar Linda cepat datang dan mereka bergegas pulang. Kara lupa satu hal, tidak ada yang bisa membuat wanita cepat berbelanja kecuali rasa bosan. Walaupun tidak punya uang, melihat saja sudah cukup menyenangkan mata.
"Namanya siapa Nak?" Wanita itu memulai percakapan dan dengan singkat Kara menyebutkan namanya. Refleknya terdengar jutek, walaupun sebenarnya tidak. Kara hanya bingung dan sulit berkomunikasi dengan orang baru.
"Kuliah ya? Atau kerja."
Kara menggeleng. "Beban keluarga Bu."
Wanita itu kaget mendengar jawaban Kara yang terlampau jujur. "Heh, yang benar?" Ingin menyangkal tapi saat melihat Kara mengangguk, wanita itu jadi tidak enak hati. Sebenarnya dalam hati penasaran kenapa gadis muda di depannya memilih berdiam diri di rumah, tapi takut menyinggung perasaan. Lagipula ini pertemuan pertama mereka, tidak baik terlalu penasaran pada kehidupan seseorang.
"Nama Ibu Hapsari, inget-inget yaa. Siapa tau kita ketemu lagi." Wanita yang ternyata bernama Hapsari itu terkekeh diakhir kalimatnya. "Eh, itu sepertinya anak ibu sudah sampai."
Hapsari beranjak dari tempatnya, mengambil tas belanja dan beberapa kresek sayur.
"Mau saya bantu bu?"
"Tidak usah, nanti kamu capek," tolak Hapsari. wanita itu mengamati mobil anaknya yang tengah parkir dipinggir jalan sejenak. Lantas kembali menatap Kara. "Terimakasih ya, udah nolongin Ibu. Sampai ketemu lagi."
Kara mengangguk. "Hati-hati Bu," ucapnya. Gadis itu terus menatap kepergian Hapsari, memastikan masuk ke mobil dengan selamat.
"Orang kaya rupanya," celetuk Kara dalam hati. Entah mengapa gadis itu selalu men-judge seseorang yang memilki mobil berati orang kaya.
Tanpa Kara sadari, gerak-geriknya itu menarik perhatian seseorang. Lebih tepatnya anak Hapsari yang sedari tadi didalam mobil. Cowok itu terus memperhatikan Kara sebab merasa tidak asing dengan penampilannya. Seperti gadis hoodie di mini market yang semalam ditabraknya.
Tanpa basa-basi, Luis yang merupakan anak Hapsari itu bertanya pada bundanya. "Bun, itu yang pake hoodie terus maskeran siapa?"
Hapsari yang sedang mengecek barang belanjaan lantas menyipitkan mata, menatap Luis dan Kara bergantian. "Kara, dia yang nolongin bunda tadi."
Otak cerdas Luis lantas memutar moment saat ada nomor baru yang menelponya dan ternyata dari Bunda. Luis yakin jika nomor itu milik Kara. Tapi tentu saja bukan Luis namanya jika langsung mengatakan tujuan sebenarnya. "Hah?"
"Hah heh! Itu, tadi bunda nelpon kamu pake ponsel Kara... Buruan jalan, udah dikelakson Luisss."
"Siap Bunda!"
Di kursi kemudi, Luis tersenyum samar. Hari ini mood-nya bertambah baik. Kalimat Bundanya membuat Luis bersyukur. Baru semalam cowok itu tidak bisa tidur karena terbayang tingkah aneh Kara, sekarang nomornya sudah mampir di ponsel Luis. Dengan senang hati Luis menyimpan nomor itu walau tanpa diminta sekalipun.
"Jangan-jangan Kara ini jodohku. Duh, namanya seperti merk santan kemasan. Persis pula seperti tingkahnya, aneh."
"Kenapa ekspresimu seperti itu? Jangan-jangan kamu tau gadis tadi ya?" Hapsari yang merasakan perubahan mood anaknya, bertanya penuh curiga.
"Lahhh... "
"Lahh apa? Iya kan?" Belum sempat Luis meneruskan kalimatnya, Hapsari kembali menyela. Wanita paru baya itu terus saja mendesak anaknya agar mengaku. Namun sekuat apapun usaha Hapsari, Luis tetap lebih unggul dalam hal mengelak.
"Kemana Bun?" Luis mengalihkan topik pembicaraan dengan pertanyaan lain. Tentu hal itu membuat Hapsari mendengus kesal, susah sekali membuat anaknya berkata terus terang.
"Rumah baru, kamu udah tau kan?"
Luis mengangguk, cowok itu sudah pernah ke rumah itu sebelumnya. Tempat tinggal Bunda dan Ayahnya yang baru seminggu dilunasi. Tempat tinggal di kawasan sepi penduduk yang sama sekali tidak seru. Jauh dari tempat hiburan malam, tempat nongkrong anak muda. Untung saja diumurnya saat ini Luis sudah memiliki rumah sendiri, jika masih ikut orang tua, pasti dirinya tidak akan betah.
"Menurutmu gimana rumah yang sekarang Nak, lebih damai kan?" Tiba-tiba saja Hapsari meminta pendapat Luis tentang rumah mereka. Wanita itu sambil membayangkan suasana sepi yang membuat dirinya merasa tenang.
"Ya, tapi isinya hanya anak-anak dan orang tua. Bisa bosan Luis jika ikut Bunda tinggal disana. Tidak ada gadis cantik," jelasnya asal-asalan.
"Gadis cantik seperti Kara, ya?"
Luis mengedikkan bahu. "Mana tau? belum pernah liat wajahnya tanpa masker."
"Oalahem."
Perbincangan berhenti ketika mobil sampai di depan rumah baru mereka. Luis segera turun dan membantu Bundanya membawa belanjaan. memasukkannya ke dalam rumah.
Kegiatan itu tidak lepas dari perhatian seseorang, yang tak lain adalah tetangga depan rumah mereka. Siapa lagi kalau bukan Ibu Ana, yang kebetulan sedang menyiram sayuran di halaman rumah.
"Eh Bu, baru pindahan ya?" Suara nyaring Ibu Ana mengalihkan perhatian Hapsari dan Luis. "Semoga betah yaa," sambungnya.
Hapsari tersenyum simpuh, senang sekali baru datang sudah mendapat sambutan dari tetangga baru. "Aamiin. Semoga jadi tetangga yang asik tanpa huru hara ya Bu, mohon bantuannya."
Ibu Ana mengangguk, lantas mendekati mereka berdua untuk berjabat tangan. Meninggalkan kran air yang dibiarkan menyala.
"Saya Ibu Ana, tetangga paling ramah," ucapnya penuh percaya diri.
"Salam Ibu Ana, saya Hapsari." Hapsari membalas ukuran tangan Ibu Ana. "Oh ya, Ini Luis anak saya."
Pandangan Ibu Ana beralih menatap Luis, menilai cowok itu sambil tersenyum ramah. Luis membalas senyuman Ibu Ana tak kalah ramah.
"Luis Tante."
"Wahh kece banget anaknya Bu." Hapsari mengangguk bangga. Anak lelakinya memang luar biasa. "Beda sama anak saya yang kaya anak broken home," sambung Ibu Ana. Wanita itu sekilas membayangkan penampilan lusuh Kara saat di rumah.
"Terimakasih tante," ujar Luis yang dibalas anggukan oleh Ibu Ana.
Mereka berbincang-bincang sejenak, sedangkan Luis pamit undur diri dengan alasan memasukkan barang belanjaan. Ibu Ana dan Hapsari hanya ngobrol membahas hal random dan keduanya langsung akrab. Syukurnya, mereka ternyata satu frekuensi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
xrayyy
terlalu jujur🤨
2023-07-17
0
xrayyy
Luis bau 🧅
2023-07-17
0
Onichin
lah iya baru sadar
2023-06-16
0