Kicau burung mewarnai pagi, menyambut matahari yang dengan indahnya menampakkan diri. Membawa semburat sinar kuning kemilau, memantulkannya pada gumpalan awan yang terlihat selembut permen kapas.
Indah, netra Ibu Ana memandang langit penuh kekaguman. Ditambah sinar hangat menembus pori-pori kulit. Pagi ini adalah salah satu pagi terbaik yang Tuhan kirim untuk dunia. Bagaimana bisa? Seseorang melewati masa-masa indah seperti ini dan malah bergelung tenang di kasur empuknya?
Ibu Ana mendengus, kemudian berteriak sambil mendongak, menatap balkon kamar putrinya. "Kara. Jam berapa ini Naaak?"
Dari halaman rumah, Ibu Ana yang sedang melakukan pemanasan pagi berseru pada anak bungsunya. Yang ia yakini masih tertidur pulas. Merasa tidak mendapat respon, Ibu Ana kembali berulah, kali ini dengan melempar sandal berbahan karet ke balkon kamar Kara.
"Anak ini, apa ku nikahkan saja dia. Biar mampus." Ibu Ana menggerutu. "Biar tau rasanya bangun pagi kemudian mengurus rumah dan suami. Aish, benar-benar anak itu," imbuhnya kemudian.
Sedangkan di kamar, tepatnya dilantai dua, Kara menggeliat. Meregangkan otot serta menarik-narik tangan dan tubuh. Gadis itu kembali mencari posisi nyaman dengan netra menyipit. Mengamati apapun yang ada di depannya saat ini.
Korden polos berwarna putih tulang terlihat begitu tenang, secarik cahaya menembus lurus 45 derajat. Mengenai tanaman artificial di pojok ruangan samping standing mirror. Suara kipas angin dan jam dinding bersahutan membentuk irama menenangkan.
Perlahan, Kara membuka lebar netranya. Merasakan hembusan napas serta detak jantung yang berpacu seirama. "Jam berapa ini?" batinnya bertanya.
"Karaaaaaaaa!"
Gadis itu terlonjak, mengambil posisi duduk dengan cepat. Suara Ibu Ana yang menggelegar dari luar membuat degup jantungnya meningkat. Orang tua itu selalu saja mengagetkan Kara.
"Yaaaaa." Kara menyahut. Kemudian turun dari ranjang. Sebelum membuka pintu balkon, Kara menyibakkan korden. Membiarkan cahaya menerangi kamarnya yang suram. Gadis itu juga membuka jendela dan pintu lebar-lebar untuk mengganti sirkulasi udara.
Kara berdiri pagar pembatas, memandang ibunya dari atas. "Ibu enggak bisa kah? Suaranya lebih kalem sedikit?"
Dari bawah, Ibu ada yang sedang berkacak pinggang itu melotot. "Pelan-pelan malah tidurmu makin pulas, anak gadis kok bangun siang terus?"
"Kesempatan bu, sebulan sekali."
Ibu Ana tentu mengerti maksud dari kalimat anaknya itu. Tidak mengapa jika sedang datang bulan lantas malas-malasan, mood juga berpengaruh. Tapi masalahnya hampir setiap hari Kara bangun terlalu siang. Sehabis solat subuh, lanjut tidur lagi. Tidak sedikitpun gadis itu melakukan pekerjaan rumah. Bahkan yang lebih parahnya, Kara bisa bangun jam 11 siang.
Anak gadis macam apa itu, entah keturunan dari siapa. Padahal Ibu Ana dan suaminya tergolong rajin dan tipe morning people. Tapi anaknya yang satu itu malah...
"Alah, banyak alasan kamu ini. Cepat mandi, Istri abangmu itu minta ditemani ke pasar." Ibu Ana kembali mendumel.
"Ini masih pagi bu, memang sudah buka?" tanya Kara refleks.
"Pasar Kara, bukan supermarket!"
"Hemm."
Masih malas beraktivitas, Kara memilih berdiam diri di balkon. Membiarkan sinar hangat matahari menerpa tubuhnya, sembari menunggu nyawanya terkumpul sempurna. Pandangan Kara menyapu lingkungan sekitar rumahnya, sudah lama sekali gadis itu melewati waktu pagi seperti ini. Menikmati pemandangan indah pagi hari di lingkungan yang lumayan sepi.
Bagaimana tidak? tetangga sebelah kanan rumahnya ikut program transmigrasi dan mengajak pindah keluarga kecilnya di Kalimantan. Rumah mereka kosong dan dirawat saudara jauh yang datang ke sana seminggu sekali.
Sedangkan tetangga kiri rumahnya hanya ada seorang kakek-kakek yang ditinggal merantau anaknya di Papua, pekerja tambang mungkin. Kara sudah lupa. Yang pasti anak kakek itu jarang pulang.
Yang bersebrangan dengan rumah Kara adalah lahan kosong yang kini berubah menjadi tempat bermain. Di sampingnya pas, berhadapan dengan rumah Kara, rumah tidak berpenghuni. Pemilik asli rumah itu pindah ke ibukota dan menjual rumah lamanya, namun sampai saat ini belum ada yang mengambil alih. Dalam hati Kara berpikir mungkin rumah itu akan menjadi takdirnya kelak, karena sampai saat ini belum ada yang membeli. Mungkin saja, kan?
Impian menempati rumah yang ada di depan netranya hilang seketika saat sebuah bayangan berjalan tertangkap jelas oleh pandangan Kara. Jantung Kara memompa begitu cepat, merinding datang tak bisa dicegah.
Netranya masih berfungsi dengan normal. Bayangan samar dibalik jendela dengan Korden coklat muda itu jelas nyata. Bagaimana mungkin setan berkeliaran di pagi hari? Atau, apa itu jin yang menempati rumah tersebut? Jika benar, pasti Jin itu memiliki aura yang sangat kuat. Buktinya sampai bisa menampakkan diri?
Dalam waktu yang berdekatan, bayangan itu kembali muncul. Kara refleks berteriak sambil berlari ke ranjang, gadis itu meringkuk dibalik selimut sambil mengucap istighfar berulang kali.
Seumur-umur dirinya hidup, baru kali ini Kara melihat penampakan. Entah itu benar-benar penampakan atau bukan, tetap saja terlihat mengerikan. Ingin menangis tapi tidak bisa, menggerakkan tubuh apalagi. Rasanya jika sedikit saja badan bergerak, bayangan itu akan langsung menyergap. Membayangkan berbagai rupa mengerikan yang pernah dilihatnya di Internet membuat Kara menutup matanya rapat-rapat.
Suara panggilan dari Ibu Ana yang Suaminya pun sampai tidak terdengar. Rasanya telinga Kara sudah malfungsi. Padahal kedua orang tua itu khawatir saat mendengar teriakan Kara.
Ibu Ana dengan sigap membuka pintu kamar Kara, diikuti Hendra--suami Ibu Ana. "Nakk, heyy! Ada apa ini?" suara Ibu Ana terdengar khawatir.
"Karaaa! ibumu bertanya." Bapak Hendra menimpali sembari mengguncang tubuh Kara yang tertutup selimut itu.
Tidak sabar dengan perilaku putrinya yang keras kepala, Hendra menarik paksa selimut Kara, membuat gadis itu menyipitkan mata. Mengintip siapa yang ada disekelilingnya. Siapa tau hantu atau jin.
"Nakkk! Karaaa, kamu ini kenapa?" Ibu Ana kembali bertanya.
Kara menegakkan tubuh, duduk di atas ranjang sambil menetralkan tubuhnya. Netranya bersibobrok dengan netra Ibu Ana dan Hendra.
"Kenapa?" Ibu Ana mengulang.
"Masa aku liat penampakan." Kalimat datar itu terucap dengan lancar. Ada nada keraguan didalamnya, antara percaya dan tidak percaya.
Hendra mengerutkan alis, tidak percaya dengan penuturan putrinya itu. Hantu apa yang terang seperti ini menggangu manusia? Apa waktu malam belum cukup untuknya melakukan tugas menggoda manusia? Lagi pula sudah puluhan tahun Hendra tinggal rumah ini dan belum pernah sekalipun dirinya melihat penampakan. Lingkungan tempatnya tinggal juga tergolong aman, tidak ada tempat yang diyakini anker.
"Masa sih?" Ibu Ana ragu-ragu, suami istri itu saling berpandangan untuk sesaat.
Sedetik kemudian Ibu Ana meletakan punggung tangannya di dahi Kara, memastikan putrinya demam atau tidak. Barangkali karena itu Kara jadi berhalusinasi.
"Ibu ih, aku enggak bohong."
"Dimana kamu liat itu, Nak?" Kali ini giliran Hendra yang bertanya. Lantas Kara menunjuk ke arah balkon, tepatnya pada rumah kosong yang berhadapan dengan rumahnya.
Paham dengan maksud Kara, Hendra merasa lega. Pria parubaya berbalik badan, meninggalkan kamar anaknya dengan perasaan yang baik. Pagi-pagi sudah melawak. "Rumah depan itu sudah dibeli, tadi subuh Bapak ngobrol dengan pemiliknya di masjid," jelas Hendra sebelum menghilang dibalik pintu.
"Kara-kara, bikin orang tua panik saja," sambungnya sambil geleng-geleng kepala.
Sedangkan di dalam kamar, Kara masih menatap ke arah pintu dengan wajah cengo. Gadis itu tidak habis pikir, sekaligus lega. Untung bukan penampakan asli.
"Lain kali lebih teliti kalo liat apa-apa, jadi parnoan gini kan?" Ibu Ana memberi nasehat. Kara menatap Ibunya sedikit malu.
"Ngomong-ngomong Ibu baru tau kalo rumah depan udah ada yang beli. Seperti apa ya kira-kira orangnya? Semoga bukan tetangga yang nyebelin Ya, Kar." Ibu Ana mengganti topik pembicaraan. wanita itu tiba-tiba penasaran dengan pemilik baru rumah. Pasalnya beberapa hari ini Ibu Ana sama sekali tidak melihat ada orang yang berkunjung ke rumah itu.
"Aamiin."
"Nanti ibu bikinin kue buat tetangga baru. Sekalian kepo."
"Buu..." Kara menegur, biasanya kan penghuni baru yang mengirim makanan ke para tetangga. Kenapa Ibu Ana ini semangat sekali sih. Apalagi pengakuan terakhirnya itu. Kepo? yang benar saja. Kara tidak bisa membayangkan bagaimana tingkah ibunya nanti saat bertamu.
"Udah sana, kamu mandi. Takut istri Abangmu badmood."
...----------------...
Salam Typ
penulis amatir yang suka Typo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments