Setelah kepergian Ibu Ana, Kara bergegas ke kamar mandi. Gadis itu tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkan tubuhnya. Pagi hari bukan jadwalnya memakai lulur dan membersihkan daki. Malam hari tubuhnya tidak banyak mengeluarkan keringat. Jadi, tidak perlu terlalu bersih.
Soal outif, gadis itu tidak pernah pusing memadun padankan warna. Isi lemarinya simpel, hitam, putih, abu, dan coklat. Warna kalem lainnya amat sangat sedikit.
Pagi ini, setelah mengeringkan badan. Kara memakai manset hitam dengan bawahan Baggypants, gadis itu juga menambahkan hoodie hitam untuk menutupi tubuh kurusnya. Sedih sekali.
Setelah memastikan semuanya perfect. Kara mengambil dompet kecil dan ponsel. Dengan lincah, gadis itu menuruni tangga.
Di anak tangga terakhir, bertepatan dengan Hendra yang hendak berangkat kerja, juga Ibu Ani di belakangnya membawa bekal untuk suami. Kara menggoda keduanya dengan semangat.
"Genre apa ini? kenapa romantis sekali," ucap Kara, gadis itu mendekat untuk bersalaman dengan Hendra. Alibi saja, sebenarnya hanya ingin meminta uang jajan.
"Perasaan kita enggak miara hewan ya Pak, kok ada burung gagak disini?" Ibu Ani membalas kalimat Kara.
Yang diajak bicara tidak menyahut, Hendra sibuk membuka dompet, memilih lembaran uang untuk putri kesayangannya. Berbeda dengan Kara yang langsung melotot. Bagaimana mungkin Ibu Ani tega mengatai anaknya sendiri dengan sebutan gagak.
"Siapa yang gagak juga?" Tanya Kara, tidak terima dengan julukan gagak itu.
Ibu Ani menunjuk pakaian Kara dengan netranya. "Itu, bajunya hitam-hitam. Udah kaya gagak," jelasnya sambil terkekeh.
"Aku pake celana coklat kok. Lagian warna hitam itu netral, biar enggak pusing-pusing mix-mac warna." Kara beralasan.
Ibu Ani hanya tertawa mendengar alasan Kara.
"Eh eh eh, Apa ini." Tiba-tiba Kara bertingkah seolah dirinya terhina saat Hendra menyodorkan 2 lembar uang seratus ribuan. Namun tangannya tetap mengambil uang tersebut. "Kurang ini mah," sambungnya dengan lirih.
"Tidak tahu terimakasih kamu ini yaa." Saat Hendra hendak menarik kembali uang itu, Kara dengan cepat memasukkannya ke dalam kantung Hoodie.
"Apapun yang sudah diberi dan diterima, tidak bisa dikembalikan," ucap Kara.
Hendra mengerutkan bibir, memasang stigma face. "Jadi begituuu."
"Yapp!" Seru Kara. "Eh, emm dimana Kak Liana?" tanya Kara kepada Ibu Ani.
Liana adalah nama Istri dari Kakaknya Kara, sedangkan kakak Kara sendiri bernama Budi. Mereka menikah tiga tahun yang lalu dan saat ini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama David.
"Di teras, barusan sampai. Cepat sana," jawab Ibu Ani.
Kara mengangguk paham, gadis itu bergegas meminta salam kedua orang tuanya. "Terimakasih Pak," ucapnya pada Hendra. "Senang berbisnis dengan anda," sambung Kara. Kemudian berlari meninggalkan keduanya.
"Halah, bisnis apa?" Hendra menggerutu.
Di Luar, Linda sudah stay di motornya sambil bermain ponsel. Wanita itu langsung menyalakan starter begitu melihat Kara keluar dari rumah. Tanpa basa-basi keduanya langsung melaju menuju pasar.
Kara duduk di belakang dengan tenang. Sepanjang jalan hanya mengamati ruko-ruko dan jalanan yang masih sepi. Beberapa penjual gorengan terlihat tengah sibuk menata barang dagangannya. warna warni jajanan pasar itu menarik perhatian Kara. Ingatnya, sehabis dari pasar gadis itu mungkin akan mampir sebentar membeli jajanan kesukaannya.
Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di pasar dengan sepeda motor. Begitu sampai, Linda memilih parkiran terdekat agar tidak terlalu jauh menenteng-nenteng barang belanjaan nantinya. Keduanya berjalan depan belakang memasuki area pasar tradisional yang untungnya sudah mengalami perbaikan. Kara bersyukur dalam hati, walaupun ramai, setidaknya aman dari genangan air mematikan yang dapat membuatnya bergidik jijik.
Kara terus membuntuti Linda ke sana kemari membeli kebutuhan beberapa sayur juga bumbu dapur. Hewan laut segar dan daging ayam tidak ketinggalan. Bau-bauan pasar yang bervariasi membuat Kara mulai pusing, gadis itu memang tidak tahan dengan bau yang terlalu menyengat dan campur aduk. Perutnya terasa mual, ingin muntah tapi tidak bisa. Rasanya seperti ingin jatuh saja, tapi sebisa mungkin ditahan.
Astaga, baru beberapa menit berjalan Kara merasa tubuhnya sudah serapuh ini. Tidak ingin mengambil resiko, Kara pamit pada Linda untuk menunggu di luar. Duduk di pelataran ruko sambil membawa barang yang sudah dibeli.
"Bisa-bisanya baru sedetik duduk, tubuhku sudah kembali segar. Memang paling pas tinggal di hutan ini. Udara segar dan sejuk, cocok untuk tubuhku yang masih steril." Batin Kara.
Gadis itu mengamati suasana jalan raya yang mulai ramai. Mengamati tukang parkir yang sibuk menata kendaraan, penjual jamu yang sedang meracik minuman untuk tukang becak dan ibu-ibu, dan masih banyak kegiatan disekitar pasar yang menarik untuk dinikmati.
Lalu lintas yang kebanyakan diisi para pelajar juga menarik perhatian Kara, gadis itu seakan kembali ke masa sekolah 2 tahun yang lalu. Berboncengan dengan Luna teman terdekatnya. Ngebut dijalan sepi, menjaga jarak dengan gerombolan motor pelajar laki-laki, dan merekam sunrise di jalan pesawahan. Indah sekali saat moment itu dibayangkan. Masa-masa dimana dirinya tidak begitu pusing memikirkan masa depan. Belajar dan bermain. Memang dari dulu Kara tidak banyak bergaul, tapi semenjak lulus sekolah gadis itu lebih-lebih tidak pernah bergaul. Tiba-tiba saja menjadi super introvert bahkan terkesan anti-sosial. Kemampuan berkomunikasi Kara juga menurun, pun dengan kecakapan merangkai kalimat.
Sedang Asik membayangkan masa lalu, Kara di buat penasaran dengan tingkah wanita parubaya, mungkin seusia Ibu Ani. Entah hanya Kara yang sadar atau lingkungan yang terlalu cuek. Wanita yang sedang berdiri di pinggir jalan itu terlihat aneh. Di bilang sedang menunggu angkutan umum, tapi sudah ada beberapa angkot yang lewat selalu diacuhkan.
Wanita itu sibuk bermain ponsel seperti ingin menghubungi seseorang tapi tidak bisa. Pandangannya juga kadang menyapu sekitar, seperti mengharap kehadiran seseorang. Sedetik kemudian kembali fokus pada ponselnya.
Hati kecil Kara tergugah, otaknya mengirim perintah untuk mendekati wanita itu dan menanyakan keadaanya.
"Em, bu. Itu, ada yang bisa saya bantu?" Suara Kara sedikit gemetar, gadis itu merutuk dalam hati kenapa begitu lancang. Bagaimana bisa langsung menawarkan bantuan tanpa basa-basi?
"Bodoh." Batin Kara mengumpat. Kara bahkan meninggalkan belanjaan Linda di depan ruko tanpa pikir panjang. Bagaimana jika ada orang jahil yang mengambil barang belanjaan itu? Sedetik kemudian berbagai macam penyesalan menghinggapi relung hati Kara.
Tapi syukurlah gadis itu tidak akan malu, niat baiknya menawarkan bantuan ternyata tepat sasaran. Wanita itu terlihat antusias dengan tawaran Kara.
"Eh, Nak, ini ponsel Ibu sepertinya habis kuota. Ibu mau menelpon putra ibu, nyuruh dia jemput tapi nggak bisa." Wanita itu mulai bercerita.
Kara mengangguk paham. "Pake ponsel saya aja, Bu," tawar gadis itu. Dan lagi-lagi gadis itu salah bicara.
Wanita di pinggir jalan bersyukur, "alhamdulillah. ya udah kamu catat nomornya ya... "
Baru saja ingin menolak, wanita itu sudah membacakan nomor ponsel putranya. Padahal maksud Kara ingin membuka hotspot supaya tidak perlu menyalin nomor, kontaknya pun tidak akan tersebar. Namun Kara kebingungan mencari kalimat yang cocok. Akhirnya dengan terpaksa, gadis itu menyalin nomor putra si wanita. Tanpa meminta nama, Kara menyimpan nomor itu dengan nama 'melon.'
"Fitur hotspot di ponselku sepertinya menangis, merasa tidak berguna."
...-----Typ, penulis amatir yang sedang menunggu tukang paket datang*....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
xrayyy
kaya aku pas upacara hari senin Typ, dilapangan lemes giliran minggir kena angin langsung sembuh
2023-07-17
0
xrayyy
Bisnis😭
2023-07-17
0
calliga
Cemangat nulis nya thor
2023-07-15
0