~6 tahun kemudian~
Sosok bocah laki-laki berdiri di depan kaca besar. Mengeringkan rambut basahnya dengan handuk kecil. Decakan kesal beberapa kali terdengar karena kipas angin yang membuat rambutnya berantakan.
"Mamaaa, tolong matiin kipasnya. Rambutku kayak diserang tornado," teriak bocah itu sambil mendongak menatap kipas angin. Layaknya musuh, ia melotot berharap benda tersebut akan berhenti dengan sendirinya.
"Ish, Mama mana sih? Bentar lagi kan aku mau sekolah."
Dengan hentakan kaki keras, bocah bernama Bumi itu melangkah keluar kamar. Mencari Mamanya yang ternyata sedang ada di halaman, menjemur pakaian. Pantas saja tidak menjawab saat ia panggil tadi.
"Loh, kok kamu disini? Uda jam setengah 7 nak, ayo siap-siap," tutur Arin, menggandeng tangan sang anak sambil membawa ember untuk di letakkan di kamar mandi.
"Kipas anginnya ganggu aku ngeringin rambut, Ma. Nih liat, rambutku kayak orang abis naik kebo gila," Bumi mengerucutkan bibir.
"Hahaha. Makanya, kalo disuruh potong rambut tuh nurut. Mama ngga tanggung jawab ya kalo dimarahin sama Bu Guru. Masa hari pertama sekolah, rambutnya panjang kek cewek," ceramah Arin.
"Ini keren tau. Mama aja yang ngga tau fashion," Bumi berdecak kesal. Kembali ke kamar untuk menyisir rambut.
Arin sendiri hanya geleng-geleng kepala. Ia mematikan kipas angin dan bergegas untuk ganti baju. Tidak mungkin ia memakai daster untuk mengantar Bumi ke sekolah.
Karena umur sang anak yang sudah menginjak 5 tahun, Arin memutuskan untuk mendaftarkannya di tk yang tak jauh dari rumah. Awalnya sang anak menolak mentah-mentah.
Tapi entah apa yang dijanjikan oleh Disa, Bumi jadi semangat untuk sekolah. Semoga saja dia betah disana. Ia sedikit resah karena Bumi yang jarang keluar rumah. Bermain dengan teman seumuran di kawasan ini pun hampir tidak pernah.
Setelah berganti pakaian, Arin menghampiri sang anak. Dia masih sibuk di depan kaca, membenarkan rambutnya yang entah mau diapakan.
"Ayo sayang. Uda jam berapa ini? Nanti telat loh," tutur Arin. Mengambil tas Bumi dan memasukkan buku dan rubik.
"Bentar Ma. Aku belom make pomade," Bumi meletakkan sisirnya di kasur dan melangkah menuju rak meja belajar.
Mata Arin sontak melotot saat Bumi mengeluarkan sesuatu dari sana. Sejak kapan dia punya pomade? Apa jangan-jangan ini ulah Dani?
Tentu saja Arin langsung merampas benda itu. Memasukkannya asal ke dalam tas tangannya. "Ngga boleh. Kamu tuh masih kecil. Ngga usah pake begituan nak."
"Yaaah Mama. Aku kan pengen keren kayak Om Dani. Boleh ya? Please," mohon Bumi sambil menampilkan puppy eyes.
"Sekali ngga tetep ngga. Sini, Mama kuncirin rambutnya."
Bumi menyimpan kembali pomade pemberian Om Dani. Melangkah pasrah ke arah Mama. Pupus sudah harapannya untuk tampil macho di hari pertama sekolah, huft.
Setelah siap, Arin memasangkan tas di punggung sang anak. Menggandengnya untuk keluar rumah. Mereka tidak boleh telat. Ia ingin mengajarkan kedisiplinan pada Bumi.
Sosok pria yang turun dari motor membuat Arin melirik tajam. Padahal ia sudah bilang akan mengantarkan Bumi ke sekolah sendiri. Lagian jarak antara sekolah dan rumah lumayan dekat.
"Om Daniii," teriak Bumi heboh. Dia berlari melewatinya untuk memeluk sang Om.
See? Inilah yang ia takutkan jika anaknya sudah bertemu dengan Dani. Pasti dia akan manja dan berakhir minta diajak jalan-jalan. Padahal kan mereka sudah hampir telat.
"Halo jagoan. Duh ganteng banget ponakan Om. Uda siap sekolah? Atau mau jalan-jalan dulu?" Dani menggendong bocah itu. Merapikan anak rambut Bumi yang sedikit berantakan karena diterpa angin.
"Dan, ini uda mau telat. Lo jangan jadi kompor deh. Lagian kan gue uda bilang mau jalan kaki aja ke sekolah. Deket kok dari sini," tutur Arin, berdecak kesal karena Dani yang malah sibuk mengelus pipi anaknya.
"Jalan sendiri aja sono. Gue ngga mau anak gue kecapekan ya. Kita naik motor aja yuk."
Dani menatap sahabat pacarnya dengan sensi, menurunkan Bumi dan langsung menaiki motor. Ia sampai ngakak karena Arin yang malah berjalan cepat ke arahnya dan duduk di boncengan motor tanpa izin.
"Kata mau jalan," ucap Dani dengan nada mengejek.
"Lah lo nyulik Bumi. Gue jamin, lo ngga bakal bawa dia langsung ke sekolah. Pasti muter-muter ngga jelas dulu," omel Arin. Memukul pundak Dani agar memberikan helm padanya.
Dani meringis pelan, mengelus pundaknya yang terasa panas. "Aduuh, hobi banget sih mukul gue. Lo tuh jangan keras-keras sama anak. Kasihan Bumi kalo terlalu dikekang."
"Tuh Ma dengerin. Lagian telat bentar juga ngga bakal dimarahin," Bumi ikut buka suara. Senang rasanya karena Om Dani selalu ada dipihaknya. Tidak seperti Mama dan Aunty Disa yang suka ngomel.
"Mama pengen kamu disiplin nak. Jangan ikutin sifat molor Ommu ini. Pokoknya mulai besok, kita berangkat ke sekolah jalan kaki. Ngga ada yang namanya jalan-jalan sebelum sekolah." putus Arin final.
Bumi mendesah keras. Jika Mama sudah berbicara panjang tanpa henti, itu tandanya beliau sedang marah. Baiklah, ia akan menurut. Lagian ia masih bisa jalan-jalan sepulang sekolah.
Benar kan?
Senyum lebar terlukis indah di bibir Arin. Melihat banyaknya anak beserta orangtua yang memasuki sekolah taman kanak-kanak, membuatnya berbunga-bunga.
Ia turun dari motor. Merapikan seragam Bumi yang sedikit kusut. Wajahnya begitu sumringah, terlalu senang karena akhirnya sang anak bisa bertemu dengan banyak teman seusianya.
"Ma, Om Dani ikut masuk kan?" Tanya Bumi pelan. Ia menatap Mama dengan penuh harap.
"Ngga bisa sayang. Om Dani kan harus kerja. Nanti kalo telat terus dimarahin sama bosnya gimana?" Arin berusaha memberikan pengertian.
"Tapi aku pengen dianter sama Mama Papa kayak mereka," Bumi menatap sendu ke gerbang sekolah. Entahlah, rasanya ia jadi iri.
Dani tersenyum, menggandeng tangan Bumi dengan erat. "Meskipun Mamamu ngga ngizinin, Om bakal tetep nemenin kamu kok. Ayo masuk."
Arin mengangguk saat Dani memberi kode padanya untuk mengekori. Ucapan Bumi tadi membuat hatinya teriris. Tidak, ia tidak sakit hati.
Tapi Arin merasa iba pada sang anak. Di saat banyak anak seusianya menerima kasih sayang dari kedua orangtua, tapi Bumi malah hidup berdua dengan dirinya.
Untung saja Dani selalu berusaha memberikan kasih sayang pada sang anak. Dia sudah seperti Papa yang selalu sigap. Menuruti semua kemauan Bumi tanpa meminta imbalan.
Tak hanya dia, bahkan Disa pun sudah seperti Mama kedua bagi Bumi. Ucapan terima kasih memang tidak akan cukup untuk membalas semua kebaikan mereka.
*****
"Ma, sampe kapan kita disini? Aku bosen tau," gumam Bumi. Memeluk lengan sang Mama sambil menatap lelah teman-temannya yang berlarian.
"Belum ada sejam nak. Kamu maen sana, kenalan sama temen-temen," perintah Arin. Ia memberi isyarat dengan dagu agar Bumi mendekat ke arah teman barunya.
"Kan uda perkenalan tadi. Pulang aja yuk, aku ngantuk," rengek Bumi.
Arin mengembuskan nafas keras. Sejak memasuki sekolah, Bumi sama sekali tidak antusias. Dia malah terlihat lesuh dan malas. Aaah, ia punya ide.
"Disana ada rubik segitiga, kamu kan belom punya. Yakin mau pulang sekarang?" Tutur Arin semangat. Nada suaranya sengaja ia naikkan agar Bumi tergiur.
"Beneran Ma?"
Ia mengangguk mantap. Melihat wajah Bumi yang langsung sumringah, membuat bibirnya tersungging lebar. Ia jadi heran, kenapa sang anak hanya menyukai mainan itu.
Arin seringkali membelikan Bumi aneka mainan. Mulai dari mobil-mobilan, robot, bahkan puzzle. Tapi tak ada satupun dari benda itu yang disentuh.
"Hei, malah ngelamun. Noh liat anak lo berantem gara-gara rebutan rubik," bisik Dani. Pria itu menyenggol lengan Arin lumayan kencang.
"Hah? Berantem?"
Mata Arin melotot. Disana terlihat jelas Bumi yang tengah merebut sebuah rubik dari tangan bocah laki-laki. Dia berteriak kencang sambil menendang kaki temannya.
Astagaa, sejak kapan Bumi jadi sebar-bar ini?
"Nak uda nak. Lepasin ya. Kalo mau maen harus gantian," lerai Arin. Menarik pelan sang anak dan membawanya ke dalam pelukan.
"Ngga mau. Aku dulu Ma yang ambil rubik itu. Tapi dia malah ngerebut dan dorong aku sampe jatuh," Bumi menjelaskan runtutan kejadian sambil terengah-engah.
Dia terlihat begitu emosi dengan kilatan mata menyala. Oh god, ini hari pertama sang anak bertemu dengan teman seusinya. Tapi kenapa malah jadi begini?
"Aku kan uda bilang ngga sengaja," sanggah bocah itu sambil memeluk rubik segitiga.
"Ya uda mana, balikin rubikku!!" Pinta Bumi. Melepas paksa pelukan Mama dan kembali mendekat ke arah bocah menyebalkan itu.
Bocah laki-laki itu mundur. Menggeleng cepat tanda tak setuju. "Enak aja. Siapa cepat dia dapat. Suruh siapa tadi kamu jatuh segala."
"Ada apa ini? Kenapa kalian berantem?" tanya seorang guru dengan suara lembut.
Arin bernafas lega saat salah satu guru menghampiri mereka. Akhirnya, selesai juga sesi adu bacot. Ia bingung harus melakukan apa karena ini pertama kalinya Bumi bertengkar.
"Kalo mau maen rubik, harus gantian ya, ngga boleh rebutan. Tadi siapa dulu yang ambil rubiknya?" Bu Guru itu menatap dua bocah bergantian.
Bumi mengangkat tangan. Ia tersenyum puas saat Bu Guru memberikan rubik segitiga padanya. Senyumnya semakin lebar karena sang musuh terlihat kecewa.
"Sekarang salaman ya. Sekalian kenalan. Ayo."
Dengan malas, Bumi menyodorkan tangan. "Nabil Bumi Attaki," tutur Bumi dengan wajah datar.
"Aku Langit Fir... Papaaaa."
Bumi hanya diam saat tangannya dilepas begitu saja oleh Langit. Jika tau akan dikacangin, ia tidak akan mau berbaikan dengan dia.
Arin sendiri kini tengah terdiam. Ia merasa ada kejanggalan disini. Pertama kali melihat bocah bernama Langit, batinnya langsung mengatakan bahwa dia sangat mirip dengan sang anak.
Ditambah lagi nama mereka yang berkebalikan. Bumi dan Langit.
Dani yang sejak tadi duduk sambil menatap pertengkaran dua bocah, kini ikutan mendekat. Dahinya mengernyit bingung saat menyadari ada sesuatu yang aneh.
"Rin, bocah itu kenapa mirip banget sama Bumi?" Tanya Dani to the point.
"Gue juga mikir gitu Dan. Tapi mungkin ini cuma kebetulan," Arin berusaha mengelak. Padahal di dalam hatinya terselip sedikit rasa panik.
"Mana namanya mirip lagi. Besok coba lo bujuk Bumi buat potong rambut. Gue jamin, muka dia mirip banget sama Langit. Perasaan gue tiba-tiba jadi ngga enak."
Benar juga ucapan Dani. Besok ia akan minta bantuan pada Disa untuk mengajak sang anak potong rambut. Lagian rambut gondrong seperti itu membuat Bumi mudah berkeringat.
"Bu, Langit izin pulang duluan ya. Soalnya ada acara mendadak," tutur pria yang dipanggil Papa oleh Langit.
"Iya Pak, silahkan. Oh iya, besok Pak Attaki harus menemani Langit disini. Soalnya ada beberapa hal penting yang mau kita sampaikan pada semua wali murid."
"Baik Bu. Kalau begitu saya pamit."
Arin refleks menatap Dani. Matanya melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"Attaki? Gue ngga salah denger kan?" Tanya Arin dengan bibir bergetar.
"Rin, kayaknya kita harus nyelidikin cowok itu," Timpal Dani cepat.
Arin hanya bisa mengangguk. Tubuhnya masih syok karena tidak menyangka akan mendengar nama itu. Ia harap, semoga apa yang ada di otaknya tidak terbukti benar.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments