Bab 2. Diusir Dari Rumah

Arin keluar kamar dengan tubuh lemas. Seminggu sudah ia habiskan mengurung diri di kegelapan. Menangis dan meratapi nasib yang begitu sial.

Tujuh hari bukan waktu yang sebentar, tapi rasa sakit dan nyeri di bagian bawahnya masih terasa seperti baru. Arin berusaha memaksakan diri agar bisa berjalan dengan normal. Pasti akan menjadi bencana jika Mama sampai curiga.

Sejak kejadian dirinya dilecehkan secara biadab oleh manusia bernama Fahreyza, Arin sama sekali tidak bicara. Bahkan ia meminta izin pada Mama untuk bolos kerja.

Tentu saja hal itu tidak disetujui oleh beliau. Gajinya akan dipotong karena libur sembarangan tanpa alasan yang jelas. See? Mama memperlakukan dirinya sebagai karyawan, bukan anak.

Bahkan beliau sama sekali tidak menanyakan keadaannya. Arin merasa sendirian di dunia yang kejam ini.

"Baguuus, seminggu ngga keluar kamar eh tiba-tiba muncul di meja makan. Jangan harap bisa makan sebelum bersih-bersih dapur. Sana!!" Teriak Mama tak santai.

Tak ingin mendebat, Arin kembali bangkit. Mendesah keras karena melihat cucian piring dan alat masak yang bejibun. Bukan pemandangan biasa karena memang Mama, kakak, dan adiknya amat benci untuk cuci piring.

Arin mencoba menyemangati diri sendiri. Ia menggulung bajunya hingga siku dan mulai menyalakan keran. Rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang, membuatnya meringis tipis.

Ok tahan, jangan sampai ia membuat gerak-gerik aneh.

"Nih, cuciin sekalian," perintah Vina yang seenak jidat meletakkan piringnya diatas tumpukan piring kotor.

"Harus banget gue yang nyuci?" Arin melirik Kak Vina sekilas dan kembali melanjutkan kegiatannya.

"Lo ngga liat kuku gue uda cantik? Lagian abis ini gue mau nge-date. Kan ngga lucu kalo tangan gue bau makanan basi," Vina tak terima. Ia menghabiskan banyak uang untuk mempercantik kukunya.

"Dan makanan basi ini bekas makanan lo. Jadi, mending lo cuci sendiri. Gue bukan babu yang bisa seenaknya lo suruh-suruh," jawab Arin tegas.

Jika kalian pikir ia adalah wanita lemah yang gampang ditindas, maka itu salah besar. Ia menuruti ucapan Mama sebagai wujud hormat dan berbakti.

Tapi berbeda lagi dengan kakak dan adiknya. Ia akan memperlakukan mereka seperti apa yang mereka lakukan padanya.

"Lo mau gue aduhin Mama?" Ancam Vina, kedua tangannya bertumpu pada pinggang.

"Silahkan. Gue juga bisa ngaduh ke Mama kalo lo yang nyuri uang florist bulan lalu," jawab Arin skakmat.

"LO..."

"Apa? Gue bener kan? Denger ya kak, sekali lagi lo semena-mena, gue bakal kasih rekaman cctv itu ke Mama," Arin memotong ucapan sang Kakak. Tidak sopan memang, tapi ia sudah lelah karena selalu diremehkan.

Vina melotot, mendorong tubuh Arin agar menjauh. "Ck, minggir lo."

Karena kesal, Arin memilih untuk mengalah dan kembali masuk ke kamar. Niatnya yang ingin makan, malah digantikan dengan rasa mual yang begitu menyakitkan.

Apa ini gara-gara telat makan selama seminggu kemarin?

"Mau kemana kak? Mama nyuruh lo buat nyuci baju gue," Nasya memegang tangan Kak Arin, menghalanginya untuk masuk ke kamar.

"Ngga bisa nyuci sendiri? Tinggal masukin ke mesin cuci Sya," ucap Arin datar. Sebenarnya adiknya tidak terlalu menyebalkan, tapi karena Mama yang selalu membelanya, membuat Arin sedikit cemburu.

"Bisa sih. Tapi..."

"Gue lagi ngga mood. Jadi please, jangan bikin gue marah."

Arin melepas genggaman tangan Nasya, menatapnya sekilas dan kembali masuk ke kamar. Ia mengambil hp yang sudah mati total entah sejak kapan.

Mengisi dayanya untuk mengecek apakah ada manusia yang sadar jika dirinya sedang tidak baik-baik saja. Tepat setelah hp menyala, muncul beberapa spam dari Disa, sahabatnya.

Jika begini, Arin merasa sedikit tenang. Setidaknya masih ada orang yang peduli padanya.

Senyumnya semakin lebar saat melihat nama Disa di layar. Tentu saja ia langsung mengangkat panggilan itu. Rindu juga karena seminggu tidak bertukar kabar dengannya.

"Alhamdulillah, akhirnya diangkat juga. Lo kemana sih Rin? Lupa ya kalo punya sahabat? Gue khawatir tau ngga," tutur manusia di seberang sana.

"Sorry Dis, gue..."

Arin menutup mulutnya. Membanting hp ke kasur dan berlari menuju kamar mandi. Ia memuntahkan semua isi perutnya yang masih kosong. Memegang wastafel dengan erat karena kakinya yang mulai lemas.

Dirasa perutnya sudah mulai baikan, Arin kembali ke kasur. Mengambil hpnya karena panggilan yang masih tersambung dengan Disa. Ia sampai tersenyum tipis mendengar gadis itu yang berteriak beberapa kali memanggil namanya.

"Rin, Arin. Halo? Ada orang ngga sih? Duh, nih anak kemana coba."

"Halo Dis, sorry ya gue abis dari ka... Huweeek."

Lagi-lagi Arin berlari ke kamar mandi. Perutnya terasa semakin sakit, rasanya seperti ada yang menusuk dari dalam. Belum lagi kepalanya yang terasa amat pusing.

Oh god, ada apa dengan tubuhnya? Apa jangan-jangan... Tidak, tidak mungkin. Ia baru kali ini melakukannya, jadi tidak mungkin setokcer itu kan?

Pasti ini karena Arin telat makan. Tapi kenapa firasatnya berkata lain?

Arin mendekatkan hp ke telinga. Terdiam karena mulutnya yang terasa kelu. Tangannya sampai bergetar, bingung harus berkata apa pada sang sahabat.

"Rin, lo ngga apa-apa kan? Mau gue beliin bubur? Atau kita ke rumah sakit aja? Siap-siap, gue jemput sekarang," tanya Disa. Terdengar jelas suara dia yang begitu panik.

"Gue boleh nitip sesuatu?" Suara Arin bergetar. Ia bimbang harus bagaimana mengatakan hal itu pada Disa.

"Apa? Geprek? Ngga ya. Sebelum lo sembuh, jangan harap bi..."

"Testpack," gumamnya pelan. Meskipun ia ada di kamar, tapi Arin takut ada yang mendengar ucapannya.

"Ok. Nanti gu... APA? TESTPACK?" Teriak Disa di seberang sana.

Arin mengangguk pelan meskipun Disa tidak bisa melihatnya. "Gue bakal ceritain semuanya ke lo. Tapi please, jangan sampe ketahuan Mama kalo lo beliin itu buat gue."

"Tunggu disana. Gue bakal ngebut."

Arin mengangguk pasrah. Begitu panggilan terputus, ia mengirim pesan pada Disa agar nanti langsung masuk ke kamarnya. Ia ingin istirahat sebentar karena tubuhnya yang melemah.

Semoga saja, hipotesanya tadi tidak terbukti benar. Jika iya, Arin tidak tau lagi sehancur apa masa depannya nanti.

*****

Arin terjatuh di lantai kamar mandi. Menatap testpack ditangannya yang menampilkan dua garis biru. Tidak, tidak mungkin. Pasti alat ini rusak, iya kan?

Dengan sekuat tenaga, ia memaksakan kakinya untuk menghampiri Disa. Gadis itu terlihat gelisah, menatapnya dengan wajah pucat.

"Rin..." panggil Disa lembut.

"Beliin testpack lagi, Dis. Pasti ini rusak. Ngga mungkin garis dua. Kita cuma ngelakuin sekali Dis. Tolong kasih tau gue kalo..."

Disa menarik Arin ke dalam pelukannya. Memenangkan gadis itu yang menangis hebat. Badannya sampai bergetar dengan suhu tubuh yang mulai naik.

Tidak mungkin alat yang ia beli sebanyak 10 buah itu rusak. Semua testpack menunjukkan garis dua. Dan itu tandanya, sahabat satu-satunya ini hamil.

Oh god, Disa tidak tau apa yang terjadi pada dia seminggu ini. Ia merasa sangat bersalah karena tidak ada di sisinya.

"Dis, ini gi-gimana? Gue ha-harus apa? Kalo Mama tau, gue pasti diusir da-dari sini. Gue ngga mau Dis, gue..." Arin tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia terlalu syok.

"Dengerin gue, gue bakal bantu lo. Kita besarin anak itu bareng-bareng. Mau kan?" Disa melepaskan pelukan, memegang wajah sang sahabat untuk memberi kekuatan.

"Tapi..."

BRAK

Suara bantingan pintu yang tiba-tiba, membuat Arin refleks bersembunyi di balik punggung Disa. Air matanya turun semakin deras saat menyadari bahwa pelakunya adalah Mama. Ya Tuhan, bagaimana ini?

"KALIAN BILANG APA TADI? ANAK? SIAPA DIANTARA KALIAN YANG HAMIL? JAWAB!!!!" Teriak Sulis penuh emosi.

Disa meneguk ludahnya dengan susah payah saat Tante Sulis mendekat ke arahnya. Ia semakin panik karena beliau mengambil beberapa testpack yang tercecer di lantai.

Disa yang panik pun langsung buka suara. "Tan, ini salah paham. Tadi kita..."

"Ini punya kamu kan Rin? Ayo jawab!" Sulis memotong ucapan Disa. Ubun-ubunnya terasa terbakar karena terlalu emosi.

"Ma, aku..."

"Vina bilang ke Mama, seminggu lalu kamu keluar dari Hotel Happy dini hari. Kamu kesana untuk nganter pesenan bunga atau cosplay jadi ******? JAWAB!!" Sulis kembali berteriak. Wajahnya sampai memerah dan panas.

"Aku bisa jelasin Ma. Ini semua ngga seperti yang ada di pikiran Mama."

Dengan sesenggukan, Arin mendekati Mama, memohon pada beliau untuk mendengar penjelasannya. Ini bukan salahnya, ia adalah korban.

PLAK

Sulis menampar pipi Arin kencang. "Dasar anak ngga guna. Mama besarin kamu biar ngangkat derajat kita. Tapi apa sekarang? Kamu malah jadi aib keluarga. Sekarang juga, beresin barang-barang kamu dan pergi dari sini. CEPETAN!!"

"Ma, jangan usir aku Ma. Aku mohon," Arin terduduk di lantai. Memeluk kaki Mama agar memikirkan ulang ucapannya.

"Mama kasih waktu sampai malam ini. Tolong pergi jauh dan jangan nampakin wajah lagi. Mama malu punya anak ****** kayak kamu," ucap Sulis.

Tangis Arin semakin menggema saat Mama menendangnya hingga tersungkur. Beliau sama sekali tidak melihatnya dan langsung keluar kamar.

"Dis, gue ha-harus gimana? Gue..."

Disa kembali membawa Arin ke pelukannya. "Lo tenang aja ya. Gue ngga bakal ninggalin lo. Mending sekarang kita beres-beres. Lebih baik kita pergi dari sini.

Gue uda ngga kuat liat lo selalu disakitin sama Tante Sulis. Tolong kali ini aja percaya sama gue, kita bakal baik-baik aja tanpa keluarga lo."

Arin mengangguk lemah. Memeluk sahabatnya dengan erat. Jika tidak ada Disa disini, mungkin ia akan melakukan hal gila yang membahayakan nyawanya.

Masa depannya sudah benar-benar hancur sekarang. Entah apa yang terjadi nanti, Arin akan mencoba melewatinya dengan lapang dada.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!