THE BOSS'S BABY

THE BOSS'S BABY

Bab 1. Awal Dari Kehancuran

"Rin, tolong ambilin stok lily di ruang penyimpanan."

"Uda abis Ma. Tadi dibawa semua ke kantornya Pak Mail," jawab Arin dengan tangan yang sibuk merangkai buket.

Hari ini florist milik keluarganya amat ramai pembeli. Apalagi jika bukan karena acara wisuda di kampus yang tak jauh dari sini. Tak hanya semua macam jenis lily, tapi mawar merah pun sudah habis terjual sejak pagi tadi.

Untung saja salah satu karyawan langsung gerak cepat untuk mengambil mawar ke produsen karena pihak sana juga mengalami overload.

"Loh kamu gimana sih? Mama kan uda bilang sisain buat pesenan Jeng Nafisa. Terus gimana ini? Mana jam 10 mau diambil," Sulis menaikkkan nada suaranya pertanda kesal.

"Tante Nafisa kan pesen buat hari Senin, Ma. Ini masih Minggu," ucap Arin mengingatkan.

"Ya ampuun, kenapa ngga bilang dari tadi? Mama uda panik tau ngga."

Arin hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ia sudah khatam dengan sifat Mama yang seringkali heboh jika florist sedang kebanjiran pelanggan.

"Rin, ada paket tuh. Uangnya uda Mama siapin di laci belakang paling atas," teriak Sulis.

Ia mengangguk lemah. Meminta maaf pada pelanggan yang berdiri tepat di hadapannya karena pekerjaannya harus diundur untuk menerima paket. Arin jadi heran, padahal disini ada banyak karyawan, tapi kenapa selalu dirinya yang disuruh-suruh?

"Paketnya aku taruh di meja belakang ya," tuturnya ramah. Meskipun Arin memendam kekesalan, tapi ia harus tetap sopan.

"Kamu ngga baca isi paketnya? Itu flower wrap. Ngga liat tuh uda mulai menipis?" Mama menunjuk rak di pojok depan dengan wajah sinis.

"Tapi aku lagi layanin pelanggan Ma," jawabnya lembut. Menatap pelanggannya yang masih menunggu di depan etalase.

Sulis menatap sang anak datar. "Biar dilayanin sama yang lain. Kamu urus itu dulu."

Tak ingin membuat Mama kesal, Arin bergegas menata wrap sesuai dengan jenisnya. Kegiatannya terpaksa terhenti saat seorang pria berpakaian santai terlihat bingung di depan deretan bunga segar.

"Permisi mas, butuh bantuan?" Tanya Arin dengan suara lembut.

Arin hampir berteriak saat menyadari bahwa pria itu memiliki ketampanan yang tak manusiawi. Baru kali ini ia melihat pria dengan wajah yang begitu simetris dan terlihat sempurna.

Ok tenang, ia harus professional.

"Saya butuh buket bunga mawar merah," ujar pria itu dengan mata yang meneliti semua bunga.

"Maaf Mas, tapi mawar merahnya masih dalam perjalanan. Kira-kira sampai sa..."

"Untuk malam ini. Ada jasa antar kan?" Tanya pria itu memotong ucapannya.

"Hah? Gimana? Oooh ada mas. Mari silahkan masuk."

Pria itu mengekorinya masuk ke florist. Tentu saja Arin langsung menuju meja khusus pemesanan, mencatat pesanan tersebut. Pikirannya sedikit tergoncang karena bau harum yang begitu maskulin.

Astaga, jika tidak sedang bekerja, pasti Arin sudah dibuat mabuk kepayang. Ditambah lagi dengan dada manusia itu yang amat lebar. Rasanya ia tengah dipanggil-panggil untuk bersandar disana.

Arin berdiri di balik etalase. Memberikan daftar harga pada pria itu. "Kami ada beberapa ukuran buket Mas. Mulai dari yang kecil, medium, dan besar. Untuk bunganya, mau dikombinasi dengan bunga lain atau..."

"Yang medium. Baby breath, cukup buat pemanis aja. Jam 7 malam uda harus diantarkan ke Hotel Happy atas nama Fahreyza."

Ia mengangguk paham. Memasukkan pesanan tersebut ke tablet agar pembayarannya bisa segera diproses oleh karyawan yang bertugas sebagai kasir.

"Baik Mas. Silahkan lakukan pembayaran di kasir."

Setelah selesai melayani pria itu, Arin bergegas menghampiri truk yang berhenti tepat di depan florist. Banyaknya jenis bunga yang berdatangan, membuat senyumnya melebar.

Sebagian besar bunga ini akan dijadikan buket untuk dikirim ke kantor Pak Mail. Ia juga tidak tau ada acara apa di perusahaan tersebut, yang pasti pesanan buket beliau amatlah banyak.

"Mbak, uda dikasih tau kan kalo anggrek bulannya cuma ada 5?" Tanya salah satu pria setelah menurunkan semua bunga pesanannya.

"Uda kok Mas. Makasih ya."

Arin menyerahkan tugas untuk menata bunga pada 2 karyawan. Ia sendiri kembali berkutat untuk menata wrap. Karena tidak hati-hati, ia tidak sengaja menyenggol bahu salah satu pelanggan dan...

"AAAAHHH!"

Ia yang tadinya menutup mata, sontak melek saat tidak merasakan sakit di bagian tubuhnya. Sosok pria yang memeluk pinggangnya erat, membuat nafasnya tertahan.

Oh god, apa-apaan ini? Bagaimana bisa manusia setengah dewa tadi berada sedekat ini? Tubuhnya tidak bau kan? Mata Arin langsung melotot saat merasakan pegangan tangan di pinggangnya melonggar.

BRAK

"Aaaaawwww, kok dilepasin sih? Sakit tauuuu!!!" Teriak Arin kencang. Ia sampai mengusap pantat yang mencium lantai terlebih dahulu.

Bukannya meminta maaf, pria itu malah menatapnya datar dan langsung pergi begitu saja. Kurang ajar. Ia pikir, dia adalah pangeran. Tapi ternyata sosok manusia kejam dan tak berperikemanusiaan.

Memang benar kata pepatah, don't judge a book by the cover.

*****

Arin memarkirkan sepeda ontelnya di depan sebuah hotel mewah. Ia sempat takjub karena ternyata tempat ini lebih indah jika dilihat dari dekat. Lokasinya memang lumayan dekat dengan florist. Meskipun begitu, ia sekalipun tidak pernah menginap disini.

Jangankan menginap, masuk saja tidak pernah.

Ia masuk ke Hotel Happy dengan mantap. Menatap manusia di sekitar yang wara-wiri entah ada urusan apa. Arin sedikit deg-degan, takut diseret karena dikira penyusup.

"Permisi mbak, saya mau anter pesanan bunga buat Pak Fahreyza," Arin meletakkan buket di meja resepsionis. Tangannya lumayan lelah karena sejak tadi bekerja tanpa henti.

"Tadi Pak Fahreyza uda pesen sama saya, katanya mbak disuruh anter langsung ke kamarnya," ucap salah satu resepsionis.

"Hah? Serius mbak? Duuh, ngga bisa mbak aja ya? Saya uda capek banget ini mbak, sumpah," mohonnya sambil menyatukan jari. Punggung Arin sudah sangat merindukan kasur.

"Aduh ngga bisa mbak. Saya ngga mau kena sembur sama beliau. Kamarnya nomor 1909 ya mbak."

"Kena sembur? Dih emangnya dia siapa? Pemilik hotel ini apa gimana?" Tanyanya pada diri sendiri.

Arin mengangguk pasrah. Dengan berat hati, ia mengambil buket itu dan melangkah menuju lift. Awas saja jika Mama tidak menaikkan gajinya. Ia akan protes.

"Kalo bukan karena karyawan florist pada sibuk, ogah banget gue ngirim bunga ini buat si tampan nyebelin itu," gumamnya kesal.

Padahal tadinya Arin ingin langsung pulang dan rebahan. Tapi Mama memaksanya untuk mengirimkan pesanan bunga milik pria bernama Fahreyza ke Hotel Happy.

Sebenarnya Arin senang sih karena bisa melihat wajah rupawan itu lagi. Tapi mengingat kejadian tadi, membuatnya sedikit dongkol. Menolong kok setengah-setengah, dasar tidak ikhlas.

"1909? Nah ketemu. Duh, nyari kamar uda kayak nyari jodoh."

Tok tok tok

Arin mengetuk pintu tiga kali. Namun ia sama sekali tidak mendengar sahutan dari dalam sana. Oh god, kemana sih dia? Dia tidak tau apa kalau kakinya ini sudah amat lemas.

Ia yang hendak mengetuk lagi, sontak mundur saat pintu tiba-tiba terbuka. Terlihat sosok pria dengan pakaian yang sudah acak-acakan.

Rambutnya berantakan, mata sembab dengan wajah yang memerah. Arin mencium bau alkohol yang begitu menyengat, bahkan mengalahkan wangi parfum maskulin.

Bibirnya terasa kelu saat pria bernama Fahreyza itu menariknya cepat untuk masuk ke kamar. Arin yang masih terkejut, hanya bisa diam. Menatap matanya yang entah, seperti penuh dengan kesedihan.

"Malam ini aja. Gue mohon. Gue butuh seseorang disini," ucap pria itu. Suara parau yang begitu dalam, membuat tubuh Arin merinding.

"Ma-maaf Mas, saya kesini cuma mau nganter pesanan bunga. Jadi, bisa lepasin tangan Mas di lengan saya?" pinta Arin dengan suara gemetar.

"Gue bakal bayar berapapun asal..."

"LO PIKIR GUE ******? HAH?" teriak Arin penuh emosi.

PLAK

Tanpa pikir panjang, Arin menampar pria itu kencang. Mendorong dia hingga terjatuh di lantai dan meletakkan bunga di laci dengan tak santai.

Ia yang hampir menyentuh pintu, terpaksa mundur karena tubuhnya yang tiba-tiba ditarik ke belakang. Pria itu membantingnya ke kasur, menindihnya dengan raut wajah datar.

Tentu saja hal itu membuat Arin menangis. Ia berteriak kencang, memanggil semua keluarga dan temannya untuk meminta bantuan. Tapi nihil, itu semua sia-sia dan ia tidak akan selamat.

"Gue bakal buktiin, kalo gue ngga sepolos itu. Dan lo, jadi saksi atas keganasan gue," pria itu tersenyum smirk sambil mendekatkan wajahnya.

"To-tolong lepasin gu... Hmmmpptt..."

Bibir kenyal dan lembab yang berhasil menyentuh bibirnya, membuat tangis Arin semakin histeris. Tubuhnya yang ringkih dan lemah karena lelah, tidak kuat untuk menyingkirkan si bangsat ini.

Satu yang pasti, mulai besok kehidupan Arin akan berubah 180 derajat.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!