"Ampun Mas, ampuuun. Sakiiiit."
Rey menulikan telinga. Ia tetap melanjutkan aktivitasnya, menikmati tubuh perempuan itu dengan ganas. Bayangan tentang wanita yang bercumbu mesra dengan sepupunya, tak berhenti berputar di otaknya.
Ia semakin mempercepat gerakannya. Menikmati inci tiap inci moment yang baru pertama kali ia rasakan.
****, ia tidak menyangka jika rasanya seperti terbang ke lapisan langit teratas.
"Tolong berhenti. Sakiiit. Tolooong," ucap gadis itu lirih. Suara tangisnya masih terdengar memenuhi kamar hotel. Bahkan tangan dan kakinya masih sibuk bergerak kesana kemari seolah ingin melepaskan diri.
Tidak, ia tidak akan berhenti. Terlalu sayang jika ia mengakhiri kenikmatan ini sekarang.
"Ssstt, nikmatin aja. Lo lihat kan sekarang? Gue juga bisa bersikap ganas seperti si bangsat Zidan."
Tangan Rey bergerak ke pipi gadis itu. Menyeka air matanya yang masih mengalir deras. Ia menatap bibir mungil di depannya, tersenyum tipis dan mulai menyerangnya.
"Hmmpt, cukup Mas. Saya capek, tolong berhenti. Sakiiit."
Suara tangisan yang semakin menjadi membuat Rey menghentikan aktivitasnya. Ia melepaskan diri dari gadis itu, menatapnya sekilas dengan dahi yang mengernyit bingung.
Sebentar, siapa dia? Kenapa wajahnya begitu asing?
Rey mengucek mata. Pengelihatannya tetap sama. Dia bukan Karina. Tapi bagaimana bisa dia ada disini? Pandangan Rey turun ke bagian bawah gadis itu.
Menutup mulut karena menemukan darah segar di bawah sana. Apa yang ia lakukan? Kenapa Rey merusak seorang gadis di saat dirinya tak sadar? Sungguh kelewatan.
Ia yang panik pun tentu saja langsung mendekati gadis itu. Membantunya untuk duduk dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang sudah ternodai dengan darah.
Gadis itu masih sesenggukan, sesekali meringis pertanda merasakan sakit yang luar biasa. Sadar bahwa bagian bawahnya masih terekspos, ia langsung mencari celana dan memakainya.
"Maaf. Saya benar-benar ngga sadar uda lecehin kamu. Sekali lagi saya minta maaf," ucap Rey penuh penyesalan.
Melihat gadis itu yang menangis semakin pilu, membuat Rey bingung. Refleks, ia memberikan sapu tangan di sakunya dan kemudian berlari keluar. Ia harus meminta bantuan pada resepsionis wanita untuk membawa gadis itu ke dokter.
Rey akan bertanggung jawab 100 persen atas kelakuan biadabnya tadi.
"Mbak, mbak tolong. Saya ngga sengaja merkosa cewek. Tolong bawa dia ke rumah sakit sekarang," tutur Rey panik. Ia menatap 2 resepsionis wanita bergantian.
Matanya beberapa kali ngeblur. Bahkan kakinya terasa lemas karena berlari terlalu heboh. Maklum, ia masih dibawah pengaruh alkohol.
"Apa Pak? Bapak bilang apa tadi?" Tanya salah satu dari mereka dengan mata melotot.
"Uda mbak nanti aja saya jelasin. Ayo ikut saya. Dia masih telanjang mbak, makanya saya ngga bisa langsung bawa dia ke rumah sakit."
"I-iya Pak."
Memastikan 2 resepsionis tadi mengekorinya, Rey langsung berlari sempoyongan memasuki lift. Ia harap-harap cemas. Tubuhnya sampai banjir keringat.
Begitu lift terbuka, ia melangkah ke kamarnya. Membuka pintu dengan tak santai.
"Tolong bantu dia pake ba... Loh, kok ilang?" Rey mengedarkan mata ke seluruh penjuru kamar. Tapi nihil, bukannya menemukan perempuan itu, penglihatannya malah semakin buram.
"Mana Pak? Cewek itu dimana?"
"Tadi ada disini. Saya ngga bohong. Kamu liat sendiri kan ada bercak darah di selimut itu," ia menunjuk benda yang terjatuh di lantai. Disana tercetak jelas noda merah dan cairan miliknya.
"Terus gadis itu sekarang dimana Pak? Kena... Pak, Pak Fahreyza..."
Rey sudah tidak sanggup menahan kakinya. Sang kepala teramat pusing dengan mata yang sudah tidak bisa diajak kompromi. Ia terjatuh di lantai dan...
Hening
Bunyi detik dari jam di nakas meja memenuhi seisi ruangan. Rey mencoba mengatur nafasnya yang tak karuan. Menatap langit-langit, memastikan bahwa ia masih ada di kamarnya.
"Mimpi itu lagi, huft."
Rey bangkit, melangkah menuju dapur. Padahal itu hanya bunga tidur, tapi tenggorokannya amat kering kerontang.
Ia membuka kulkas, mengambil sebotol air mineral dan meneguk isinya hingga setengah. Rey mendesah keras, ia baru sadar jika baju dan dahinya penuh dengan keringat.
"Mimpi buruk lagi?"
Suara dari belakang, membuat Rey menoleh. Disana terlihat Mama yang menatapnya dengan khawatir.
"Aku ngga apa-apa Ma. Uda biasa kok," jawab Rey sambil tersenyum. Ia tidak mau beliau khawatir.
"Mau ke psikilog aja? Uda 6 tahun loh kamu selalu mimpi buruk. Mana tiap bangun selalu pucet dan banjir keringat. Mama takut kamu kenapa-napa sayang."
"Ngga usah. Lagian itu bukan mimpi buruk Ma. Aku cuma ngerasa bersalah aja, makanya sampe sekarang selalu mimpi itu."
Nur mendesah pelan, menarik tangan sang anak untuk duduk di sampingnya. Ia menyentuh dahi Rey, dan yeah seperti biasa. Dia selalu demam setelah didatangi mimpi itu.
"Kamu mimpi apa sih nak? Kenapa ngga pernah mau cerita sama Mama? Siapa tau kan Mama bisa bantu cari solusinya."
"Aku bisa nyelesaiin masalahku sendiri. Mama percaya kan sama aku?" Rey memegang tangan Mama, meyakinkan beliau bahwa ia baik-baik saja.
"Kayaknya Papa tau gimana caranya biar mimpi itu ilang," timpal Hasan. Sejak tadi, ia memang menguping pembicaraan istri dan anak tengahnya.
"Gimana Pa?" Tanya Mama antusias.
"Nikah. Rey tuh cuma butuh pendamping hidup. Dia uda kelamaan tidur sendirian. Jadi gimana? Kamu mau kan ketemu sama anak rekan kerja Papa?"
"Ngga. Aku ngga mau nikah," jawab Rey singkat, padat, dan jelas. Harusnya Papa paham karena ia seringkali membahas masalah itu.
"Umurmu hampir kepala 3 Rey. Mau sampe kapan ngejomblo cuma gara-gara mimpi buruk itu? Papa butuh penerus, butuh cucu."
"Cuma Papa bilang? Papa ngga tau apa yang terjadi di masa lalu. Jadi please, jangan paksa aku."
Rey menghentakkan kaki menuju kamar. Setiap membahas tentang pernikahan, otaknya selalu panas karena emosi. Bagaimana bisa ia menikah saat wanita yang ia rusak sampai sekarang belum ketemu?
Ia tidak tau bagaimana kabar dia sekarang. Rey ingin minta maaf sekaligus bertanggung jawab. Jika dia tidak berkenan, setidaknya ia tau bahwa wanita itu baik-baik saja.
Rey tidak berhak bahagia sebelum bertemu dengannya.
Tok tok tok
Sosok pria yang memasuki kamarnya, membuat Rey menoleh. Mendesah keras karena Papa pasti menyuruh sang Abang untuk menenangkannya.
Padahal ia hanya butuh waktu sendiri.
"Masih mikirin cewek itu?" Tanya Fajri. Menarik kursi kerja dan duduk tepat di hadapan Rey.
"Gue ngga bakalan bisa lupa Bang. Sampe kapanpun, gue tetap ngerasa bersalah. Gue uda bolak balik ke florist, keliling kota itu sampe pagi. Tapi semuanya sia-sia. Gue ngga dapetin satu jejak pun tentang dia. Gue harus apa Bang?"
Fajri membawa sang adik ke dalam pelukannya. Ia paham bagaimana perasaan dia. Enam tahun ini, Rey menghabiskan waktunya untuk mencari wanita itu.
Jika sudah lelah, dia akan berubah menjadi manusia gila kerja. Lupa makan dan tidur. Tak jarang Rey berakhir sakit dan tepar di ruang kerjanya tanpa satu orang pun yang tau.
"Gue uda sering bilang kan bakal bantu lo? Jadi jangan terlalu maksain diri. Lo baru aja sembuh Rey. Kasihan Mama, beliau selalu khawatir sama kesehatan lo."
"Thanks Bang. Meskipun bantuan lo ngga guna, tapi gue bersyukur lo bisa jaga rahasia itu," Rey melepaskan diri dari Bang Fajri, tersenyum tipis karena dia yang malah berdecak kesal.
"Bangsat lo. Dah lah, nyesel gue ngehibur kodok alaska. Oh iya, jangan lupa hari ini lo disuruh Papa buat ngecek TK Mulya. Catet juga tuh fasilitas apa aja yang kurang," ucap Fajri mengingatkan.
Sebentar, Rey tidak salah dengar kan? TK Mulya? Serius ia harus mengecek kesana? Kenapa Papa tidak menyuruh Bang Fajri atau anak buahnya saja sih?
"Harus banget gue?"
"Ya terus siapa? Pagi ini gue ada meeting sama pemegang saham. Emang lo mau gantiin?" Tawar Fajri. Ia yakin, adiknya akan menolak mentah-mentah.
Rey menggeleng cepat. Sudah cukup ia mengurus bisnis pribadinya. Ia tidak mau ikut campur dengan perusahaan keluarga.
"Gue cuma ngecek ya. Awas aja kalo ada tambahan kerjaan. Gue minta bayaran."
Fajri memberikan jempol. Mengembalikan kursi ke tempat semula dan bangkit untuk bersiap ke kantor. Ia tidak boleh telat karena meeting kali ini amat penting.
Sebentar, ia lupa mengatakan sesuatu pada Rey.
"Oh iya, Langit sekolah disana. Gue harap lo ngga bikin ulah saat ketemu Zidan, good luck."
Zidan? Oh god, kenapa Rey baru ingat bahwa anak dari pria brengsek itu sekolah disana? Harusnya tadi ia memilih ikut serta dalam meeting pemegang saham Perusahaan Attaki Group daripada bertemu dengan dia.
Semoga saja Rey bisa menahan emosi untuk tidak menonjok wajah si bangsat itu.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments